Di negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia ini,
rasanya ustaz sudah lebih dari cukup mendapatkan dukungan atau rekomendasi dari
kami rakyat muslim Indonesia. Dan wajar saja jika seorang ulama seperti ustaz, digadangkan
menjadi cawapres. Toh ummat Islam memiliki saham terbesar atas kemerdekaan
negeri ini.
Ustaz, bukankah dalam Islam tidak ada dikotomi ibadah di
masjid dan ibadah dalam berpolitik. Semuanya memiliki derajat kemuliaan yang
sama. Justru kalau dulu terlanjur “para ulama kembali ke pesantren” karena
politik para sekuleris atau sibuk dengan khilafiyah, lalu dari manakah
kebangkitan itu akan muncul kalau bukan dari bumi mayoritas muslim ini.
Entah mengapa, doa rakyat Palestina selalu terlantun untuk kebaikan
rakyat Indonesia, mungkin inilah jawabannya ustaz. Tak mengapa jika ustaz
merasa tak pantas, dulupun Ummar bin Khatab merasa tak pantas, biarlah Allah
yang memantaskan.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi
alam semesta) selalu menjadi pelopor persatuan bangsa bahkan dunia. Sejak
kedatangan Nabi Muhammad saw ke Madinah, masyarakat Islam terbiasa hidup rukun
dengan berbagai ras, suku dan agama lain. Di Madinah dulu Rasulullah menjamin
kemanan Yahudi dan Nasrani selama mereka patuh pada aturan kemanan pemerintahan
Madinah. Lalu jika bisa bersatu, mengapa harus berpisah?
Negeri ini dulu dijajah atas motif agama dari Eropa sanah,
maka dengan motif agama pula dulu para orang tua kita mempertahankannya. Islam
terbukti sebagai agama pembangkit nasionalisme. Itulah sebabnya Bung Tomo terus
bertakbir untuk mengajak rakyat melawan penjajah. Dan itulah juga sebabnya di
kemudian hari ulama dan santri dibunuh secara sadis pada kudeta Madiun oleh
aktivis PKI.
Itulah mengapa ulama selalu dijauhkan dari rakyatnya, semata
hanya agar rakyatnya tumbuh menjadi rakyat tuna-politik dan membiarkan para
penjajah bercokol di negeri yang subur ini. Asal tahu saja, sebesar apapun
beasiswa dan sebanyak apapun awardee di negeri kincir angin sana, tetap
tak akan mampu mengembalikan kerugian materi negeri ini yang sudah dirampas
secara paksa selama ratusan tahun oleh mereka.
Ustaz, bukankah dari dulu yang melawan ketidak adilan negeri
ini adalah para ulama. Bukankah dari zaman penjajahan Portugis juga Fatahillah
yang berhasil mengusirnya? Buakankah Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Ahmad
Matulesi, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan,
Hasyim Asy’ari dulu juga mereka yang memimpin perlawanan? Bukankah dari dulu
hanya para ulama yang bisa menjawab tantangan para penjajah, saat penjajah
membawa VOC kita memiliki Sarekat Dagang Islam, saat penjajah mendirikan Sekoleh
Eropa maka jawaban ulama adalah mendirikan sekolah Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad
Dahlan atau sekolah kautamaan istri oleh Nyai Dewi Sartika. Bukankah ulama
selalu memberikan rapid respon yang solutif atas setiap permasalahan
penjajahan di negeri ini?
Ustaz, sudah cukup kita dikhianati saat Linggar Jati, Renvile
dan Roem-Royen. Belum lagi jasa para pendahulu kita yang dikubur, seolah muslim
di masa lalu tidak memiliki andil apa-apa di negeri ini, sekalipun islam yang
menjadi pelopor tapi jasanya tak pernah dicantumkan, dihargai, dikenang apalagi
dipelajari.
Ustaz, abaikan orang yang bilang ulama yang ngomongnya ‘idealis’
cuma gara-gara “gak kebagian”. Kebagian apa? Kebagian emas? Emasnya kan udah
‘dihibahkan’ ke penjajah. Kita tidak butuh kekayaan kalau cuma untuk sejahtera
secara pribadi, jika dakwah ini berbayar dan harus ‘kebagian jatah’ maka
seharusnya para nabilah yang jadi orang-orang terkaya di muka bumi ini bukan
Qorun.
Negara ini kuat karena rasa persatuan agama rakyatnya ustaz,
jika bukan karena agama mayoritas ini, maka Indonesia sudah terpecah dari dulu
menjadi serpihan pulau yang dinamakan negara seperti di Eropa sana atau seperti
negara-negara jajahan Inggris yang hari ini sudah dipecah hanya karena
keyakinan mereka berbeda (India, Pakistan, Srilanka).
Ustaz, sudah cukup dari dulu ulama kita dijauhkan dari
masyarakatnya. Masih ingatkah ustaz, saat Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang
hanya karena penjajah takut kalau kesadaran nasionalisme rakyat Aceh bangkit?
Masih ingatkah ustaz, saat Imam Bonjol dibuang ke Minahasa atau saat Pangeran
Diponegoro dibuang ke Manado? Semua itu selalu dilakukan agar masyarakat tidak
punya kesadaran nasionalisme.
Saat ini, penjajah tidak akan bisa membuang ulama. Percuma,
penjajah membuang seratus ulamapun kami rakyat masih bisa menyaksikan karyanya
pada buku atau ceramahnya di Youtub dan instagram. Niat hati menciptakan news
imperialism tapi malah jadi blunder.
Ustaz, tahu gak? konon negara ini jika diukur dari Sabang
sampai Merauka, maka ukurannya akan tepat terbentang dari Perancis sampai
Bagdad. Negara macam apa yang terbit mataharipun harus menunggu tiga waktu
yaitu Waktu Indonesia Timur (WIT), Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan Waktu
Indonesia Barat (WIB).
Ingin rasanya saya menulis kembali jeritan jiwa Ibu Kartini
saat beliau selesai membaca Tafsir Al Quran.
Wat zijn wij toch stom, toch dom, om
een leven lang. een berg schatten naast ons te hebben et het niet te zien, niet
te weten.
Alangkah bebalnya, bodohnya kami
tiada melihat, tiada tahu bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan (Al Quran)
disamping kami.
Wij zochten niet bij demenschen
troost wij klemden ons vast aan Zijn hand.
Kami tidak perlu mencari pelipur hati
pada manusia, kami hanya berpegang teguh pada Tangan Allah.
Sumber:
Api Sejarah
Jilid 1 dan 2. Ahmad Mansur Surya Negara. Surya Dinasti Press. Bandung.