Dimuat di Inilah Koran, edisi 2 April 2013
Sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia tidak
luput dari penanaman nilai-nilai dan norma agama, agama apapun itu. Berbagai
macam upaya pengintegrasian agama dan sains telah coba diterapkan di berbagai
jenjang pendidikan, namun sampai saat ini faktanya masih banyak bukti-bukti
kegagalan hasil proses transformasi manusia di sebuah pabrik yang bernama
pendidikan. Masih banyak orang yang berpendidikan tinggi, prestasinya tidak
diragukan lagi, akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan karakternya
sebagai manusia berpendidikan. Orang-orang semacam ini hanya cerdas secara
intelektual akan tetapi rapuh secara spiritual dan humanitas.
Sebagai agama
mayoritas di negeri ini, pendidikan Islam tentu ikut andil bahu-membahu dalam
upaya menyukseskan sistem pendidikan di Indonesia. Bahkan tujuan pendidikan
nasional pun hendak membentuk manusia-manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dengan demikian, internalisasi
nilai terhadap siswa merupakan poin utama dalam tujan pendidikan di Indoensia.
Dari aspek
tujuan diatas, kalimat tersebut tentu sudah cukup menjadi sebuah visi suatu
sistem pendidikan yang ideal. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kata-kata
diatas masih sulit untuk diimplementasikan kedalam aktivitas belajar-mengajar
di kelas, dalam buku theologi pendidikan dikatakan bahwa tujuan pendidikan
tersebut masih bias. padahal pengimplementasian ini sangatlah penting supaya membentuk
budaya positif bagi siswa, dimana kelak
ketika sudah dewasa, budaya ini akan
membentuk suatu karakter permanen dalam diri siswa, sehingga tujuan pendidikan pun
perlahan akan terwujud dengan sendirinya.
Selain itu,
dari tujuan pendidikan diatas dapat ditarik sebuah pengertian, bahwa aspek
keimanan, ketakwaan, akhlak mulia menjadi point utama tujuan pendidikan di
negeri ini, oleh sebab itu saat ini pendidikan karakter tengah menjadi trend
dan memiliki nilai jual tinggi terhadap “pasar” pendidikan di Indonesia.
Sehingga menyedot minat dan perhatian masyarakat yang tidak sedikit walaupun
biaya yang dikeluarkan cukup tinggi.
Permasalahan
lain adalah, disaat pendidikan karakter menjadi persolana inti dunia
pendidikan, tidak adanya standar proses, dan standar baku dari hasil proses
pendidikan karakter ini, beberapa bentuk evaluasi yang ada saat ini, semuanya
hanya berupa tes-tes yang hanya mengukur aspek kognitif siswa, sehingga mau
tidak mau siswa akan digiring kedalam penguasaan mata pelajaran untuk mengejar
nilai akademik belaka.
Di beberapa
sekolah, ada yang sudah mencoba menerapkan pendidikan karakter ini dengan
menciptakan pembiasaan baik secara simbolik maupun berupa aktivitas siswa. Sebagai
contoh, pembiasaan memakai busana muslim dihari jumat, pembacaan ayat suci
al-quran setiap hari sebelum memulai kegiatan belajar-mengajar, pesantren
kilat, shalat berjamaah dan lain-lain, kesemuanya itu hanya masih berada pada
tataran pembiasaan aspek ritual saja yang bersifat shaleh individual. Sementara
penanaman aspek-aspek sifat-sifat dasar
seperti jujur, tanggung jawab, berani, ulet dll masih menjadi barang langka
dalam diri seorang siswa. Padahal justru sifat-sifat seperti inilah yang akan
membuat siswa bisa survive ketika sedang berada dilingkungan yang tidak
mendukungnya sekalipun. Seorang siswa yang rajin mengerjakan tugas akan menjadi
biasa dan sudah sepantasnya manakala ia hidup dilingkungan kondusif, tapi siswa
yang tetap dapat hidup rajin dalam lingkungan yang tidak kondusif, maka itulah siswa
yang hebat.
Siswa semacam
ini tidak akan bermasalah ketika ditempatkan dilingkungan seperti apapun,
karena karakternya sudah melekat permanen dalam hidupnya. Dia akan hidup
mandiri, mudah bergaul, luwes dan senantiasa berjiwa pembelajar, sehingga siswa
yang demikian memiliki karakter kesalehan individual dan sosial sekaligus
secara seimbang. Tujuan sistem pendidikan diatas diharapkan akan terinternalisasi
kedalam setiap pribadi siswa dan insan pendidikan.
Terlepas dari
agama yang dianut oleh setiap orang, sifat dasar tersebut seharusnya dimiliki
oleh setiap individu, karena sifat-sifat tersebut merupakan kebenaran universal
yang wajib dimiliki oleh setiap individu apapun latar belakangnya. Faktor
keteladanan dari pendidik baik itu orang tua di rumah atau guru di sekolah
perlu adanya penanaman hakikat keimanan itu sendiri sejak dini kepada anak.
Dengan
demikian, seorang siswa dituntut untuk memadukan anasir (jamak dari unsur)
kesalehan secara utuh, aspek keimanan dan ketakwaan seseorang seharusnya tidak
hanya ter-ekspresi lewat perilaku dan aspek ritual saja, sementara disisi lain
masih ada aspek sosial yang akan menentukan keharmonisan hubungan seseorang
dengan manusia lainnya dimuka bumi ini.
Apabila kondisi
ini sudah tercipta, maka akan terbentuklah sebuah tatanan masyarakat yang memiliki
kemandirian dan memiliki integritas, dimana setiap individu akan turut
berkontribusi dalam memajukan kesejahteraan umum, menuju keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Wallahu a’lam.
Boleh lah keren2.... sepuluh Jempol gajah deh buat bu Ustadzah..... hehhe
BalasHapus