Aku masih ingat betul,
saat itu aku masih seorang anak ingusan, polos dan natural, saat itulah pertama
kalinya aku merasakan sakitnya berpisah dari orang tua, lulus sekolah dasar,
aku memang dimasukn ke pondok pesantren oleh orang tua ku, dengan system asrama
tentu saja, karena jarak tempuh sekolah-rumah sangat jauh.
Menjelang lulus SD, aku
merengek sejadi-jadinya kepada orang tuaku, agar aku di sekolahkan di sekolah itu
(Al-Qomariah), orang tuaku menyetujuinya dengan berbagai syarat dan
pertimbangan. Aku senang setengah mati, sampai akhirnya hari itu pun tiba, hari
dimana aku akan menjadi bagian dari sekolah itu, aku bangun di pagi buta, bersiap-siap berangkat ke sekolah baru,
sekolah SMP ku (baca-MTs), aku sudah menge-pack
barang-barangku sejak hari kemarinnya, karena aku ingin segera pergi, berangkat
menuju sekolah baru dan tinggal di asrama, aku ingin cepat-cepat pergi dari
rumah, karena di rumah, aku seringkali bertengkar dengan kakak sulungku, kami
seperti tom and jerry, jika berdekatan
maka secara otomatis, akan ada keributan. Dan yang lebih mengecewakan lagi,
ibuku pasti membelanya, terang aja, itu karena aku malas membantu pekerjaan rumah.
Hari itu, senin 9 Juli
tahun 2001, tepat pukul 5 pagi, aku di antar oleh ayahku pergi ke sekolah
baruku, kami pergi bersama teman-temanku yang lain, yang juga hendak memasuki
sekolah baru itu, dan tentu saja di antar oleh orang tua masing-masing, kami
ramai-ramai pergi berjalan kaki di pagi hari, jarak sekolah-rumah adalah 2 jam
perjalanan dengan berjalan kaki, atau sekitar 6 km, kami semua kompak berjalan
kaki, karena minim dan mahal nya angkutan, jika menggunakan ojeg, biaya yang
harus di keluarkan adalah sebesar Rp. 15.000, sedangkan uang jajan ku saja
hanya Rp. 3.000/minggu. Nyaris tak masuk akal, jika kami harus pergi
menggunakan ojeg.
Di perjalanan, aku
bahagia sekali, aku tertawa, lari kesana-kemari, sementara para orang tua,
berada agak jauh di belakang, mereka asyik mengobrol, begitu juga kami, kami
sibuk membayangkan kebebasan seperti apa yang akan kami dapatakan tatkala jauh
dari orang tua kami, perjalanan yang sungguh menyenangkan, hamparan kebun teh
yang luas, semakin membuatku bahagia, suara gemuruh air terdengar dari
kejauhan, oh ternyata, kami juga melewati aliran sungai yang sangat indah,
sungai Cibagong namanya, ekstrim memang, tapi penuh kenangan, sungguh
pemandangan yang mahal, yang tak bisa ku beli, walau aku sudah mampu mencari
uang sendiri.
Sampai di sekolah, aku
masih bahagia, aku takjub melihat bangunan semegah itu, dan aku akan sekolah di
gedung tersebut, hah.. sungguh masih tak dapat ku percaya, aku semakin
bersemangat, aku dan temanku berlari sejadi-jadinya, ingin segera melihat dan
menginjakan kaki di tempat tersebut. Rasa bahagaia bercampur bangga, itulah
perasaanku saat itu, tampak PRIMITIF. mirip seperti suku pedalaman yang baru
pertama kali datang ke kota. ahhh, aku tak peduli, (that’s my expensivest
experience I ever had)
Dan akhirnya, aku menginjakan
kakiku di tempat itu, aku langsung menemui temanku yang juga tetanggaku yang
sudah lebih dulu sekolah disitu, aku menyapa mereka sambil bersalaman (baca-sun
tangan), beberapa jam tak terasa, aku sangaaaaaaaaattttttttt bahagia, tapi kebahagiaan
itu sayangnya tak berlangsung lama, saat itu bapak ku memanggilku, hendak pamit
pulang, aku tiba-tiba terdiam, merunduk, mata ku berkaca-kaca, aku bingung, apa
yang aku rasakan, bukankah aku dulu selalu ingin jauh darinya supaya aku bebas
bermain sepuasnya, tanpa harus ada yang memarahiku jika aku memanjat pohon, dan
tak ada yang memarahiku jika aku malas mandi. Bukankah dulu aku ingin jauh dari
orang tua, kakaku dan adiku?. Tiba-tiba bapak ku memeluku, dan dia bilang, “sok
nya, sakolana cing bageur, cing soleh, cing pinter”, aku masih bisa menahan air
mata ku, karena aku masih bingung dengan perasaanku, lalu bapak ku pun pergi
meninggalkanku, kulihat punggungnya dalam-dalam saat membelakangiku, aku
mengejarnya, tapi aku mundur, dia melambaikan tangan nya, aku lari ke lantai
dua mesjid, supaya aku bisa melihatnya lagi, dan aku melihatnya, dia semakin
menjauh-menjauh-menjauh, semakin lama ku lihat, punggungnya membelakangiku,
semakin jauh dan semakin mengecil dan hilang dari pandangan. Air mataku
mengalir bak air terjun Niagara, aku lari menuju kamar mandi, karena malu jika
ada orang yang melihat, aku masuk kamar mandi, dan aku menangis sejadi-jadinya.
Kebiasaan itupun
berlanjut, seminggu tinggal di asrama, rasanya seperti setahun, setiap sore
pulang sekolah, aku pergi ke kamar mandi dan menangis, rutinitas yang berlangsung
hampir sebulan lamanya, padahal, setiap seminggu sekali, aku di perbolehkan
pulang, tapi setiap minggu itu juga aku menangis, meratapi nasibku yang hanya
terpisah 6 km dari orang tua ku. Subahanallah betapa cengengnya aku saat itu.
Minggu berganti bulan,
bulan berganti semester, aku pun terlahir normal kembali, seperti sedia kala,
kembali pada sifat aslinya, sulit di atur, boros, dan malas. Aku sering pulang
sekolah sebelum waktunya, menghabiskan
uang jajan seminggu dalam waktu dua hari, tidak mengerjakan tugas, merokok,
mabal dan tentu saja sering di hukum, aku tidak sedikit pun merasa bersalah,
aku baik-baik saja menjalani hukuman demi hukuman, semua jenis hukuman sudah
aku coba, mulai dari memungut sampah, membersihkan kamar mandi, mengepel masjid
yang luasnya 100 m2 , di jemur
bersama tiang bendera di bawah terik matahari dan lain sebagainya. Aku
tetap percaya diri.
Sampai akhirnya, hari
itu pun tiba, hari yang mengubah paradigma berfikirku sampai saat ini, hari
yang mungkin tak ada orang yang menyadarinya, kalau hari itu seorang anak
manusia yang gemar menentang peraturan, berubah 1800, hari itu guru
pelajaran Bahasa Inggrisku (Bpk. Dede Imam Purnama) masuk ke kelas kami, tak
disangka tak di duga, tiba-tiba saja Pak. Dede menyuruh kami maju satu per
satu, untuk membacakan sebuah cerita panjang berbahasa inggris, tak ada seorang
pun yang bisa melakukannya, entah karena Pak. Dede sedang punya masalah, atau
memang kami kelewat nakal, tiba-tiba beliau marah besar di kelas kami, beliau
bilang sudah sejak seminggu yang lalu dia menugaskan tugas untuk menghafal
cerita itu, tapi tak ada satu orang pun yang menyadarinya. Bahkan orang paling
rajin di kelaspun, tak tahu-menahu soal tugas itu. Beliau pun akhirnya berbaik hati memberikan
kesempatan untuk menghafal cerita itu dalam waktu semalam, besok kami di tes story-telling satu per satu.
Judul kisah itu “The Merchant and The Tiger”, cerita
sepanjang 2 halaman dengan huruf times new roman dan jarak spasi 1,5 itu, harus
di hafal dalam 1 malam saja, hffhhhh,, rasanya, metode menghafal tingkat
dewa-pun tak akan mampu menaklukan kisah itu. Tapi, ada suatu keajaiban saat
itu, berbeda dari biasanya, sepulang sekolah aku langsung pergi ke lantai 2
mesjid yangmerupakan tempat paforitku, guna menghafal kisah harimau sialan itu,
aku menghafal sekuat tenaga, sampai larut malam, dan bahkan sampai aku
memimpikan harimau itu, sampai aku bangun di pagi buta, masih saja cerita itu
menjadi teman shalat subuhku bahkan menjadi teman sarapanku, berkat usahaku
menghafal yang begitu membabi-buta, akhirnya aku pun berhasil menghafal semua
kisah dahsyat itu.
Jam pelajaran bahasa
inggris pun tiba, tepat pukul 10.30, pasca istirahat, kelas kami berubah
menjadi tempat yang lebih menyeramkan dibanding penjara, rasanya waktu itu
ruang kelas kami lebih mirip dengan ruang eksekusi mati Sadaam Husain, apalagi
setelah Pak. Dede tiba, suasana kelas jauh lebih mengerikan, dan beliaupun
mulai menantang kami dengan kata-kata heroiknya, “yang berani, silahkan maju lebih
dulu” begitu kata-katanya. Satu orang teman ku maju, dan dia lolos, namanya
Ervan Khaidir, dia legenda rangking 1 sejak kami masuk di sekolah itu,
selanjutnya temanku yang kedua maju, dan dia juga berhasil lolos, namanya Pipit
Fitriani, dia teman sebangku ku, dia adalah temanku yang paling rajin dan
paling expert dalam membuat
karya-karya fiksi dan desain, selanjutnya hitungan pun berhenti, tak ada lagi
yang berani maju, yang tersisa hanya orang-orang yang pasrah membersihkan
toilet dan mengepel mesjid, aku meragukan diriku sendiri, apakah aku berani
menerima tantangan ini, aku berdiri perlahan dan maju, aku gemetar dan hampir
tak percaya dengan apa yang aku lakukan, sang “Queen of Punishment” sedang
bermimpi menghadap “King of Rule” that was Mr. Dede Imam Purnama.
Perlahan mulutku
berbunyi, menceritakan kisah misterius itu, begini redaksinya “one day, a tiger
was walking near a well,………………”. baris
demi baris, paragraph demi paragraph, dua halaman selesai. Dengan susah payah,
ku selesaikan story telling itu,
What…! I can’t belive it, what’s that???? Aku Berhasil Lolos, Subahanallah, aku
pun duduk, aku tak percaya itu aku, ku rasa aku sedang dalam kondisi tidak
waras, tapi itulah kenyataan nya, AKU LOLOS. Setelah aku duduk, ada satu
temanku lagi yang berhasil maju dan
menyelesaikan cerita itu dengan baik, dia adalah Rizki Pratama, orang paling
usil di seantero kelas, yang tidak lain adalah keponakan dari guru Geografi
yang juga menjabat sebagai wali kelas kami. Setelah itu, tidak ada lagi yang
berani maju ke hadapan King of Rule. Selain kami ber-empat, semua di tugaskan
menuju toilet dan masjid untuk kemudian membersihkannya. Sementara kami?..Kami
hanya terdiam dikelas, aku termangu dan masih tak percaya dengan semua ini.
Tiba-tiba saja, Pak.
Dede keluar kelas, beliau mengumpulkan seluruh siswa-siswi SMA (baca-Aliyah)
dalam satu kelas, kemudian beliau memanggil kami ber-empat dan mengajak kami
masuk ke kelas itu, aku bingung, apa pula ini??. Pak. Dede tampak sangat excited, beliau meminta kami ber-empat
berdiri di depan kelas itu, dan menceritakan kembali kepada kakak-kakak kelas
kami, sebagaimana yang tadi kami lakukan di kelas kami. Sejenak aku berfikir,
dan menatap beliau dalam-dalam, ingin sekali ku-ungkapkan “Sir, have you lost,
your mind?”. Tapi, apa boleh buat, kami pun melakukannya. Beliau tampak
sumeringah, saat kami bercuap-cuap menceritakan sang saudagar dan harimau
sialan itu di depan kelas. Seteleh story
telling selesai, kami pun di persilahkan untuk beristirahat keluar untuk
melaksanakan shalat dzuhur, dan kami pun pergi menuju masjid.
Ketika hendak
melaksanakan shalat dzuhur, aku bermaksud mengambil air wudlu ke tempat wudlu
di masjid itu, dan.. kulihat pemandangan yang begitu menyedihkan. Disana ada
teman-teman sekelasku yang sedang bercucuran keringat membersihkan toilet, aku
merenug sejenak. Aku berfikir, mungkin seperti inilah orang melihatku, saat aku
sedang melaksanakan hukuman ketika melakukan pelanggaran aturan sekolah, aku
baru sadar, betapa menyakitkannya ada di posisi bersalah, mulai saat itu aku
tidak pernah lagi ingin merasakan hukuman. Aku perlahan berubah menjadi anak
rajin, nilai-nilaiku berangsur membaik, bahkan aku sempat merasakan jadi juara
kelas (Rangking 1). Ternyata, enak juga jadi anak baik. Tidak usah membuang-buang
waktu untuk menjalani hukuman.
Buat adik-adik kelasku,
rajin-rajinlah belajar, jangan sia-siakan waktu hanya untuk hal-hal yang hanya
membuang waktu dan potensimu saja. Niscaya kita akan bisa berfikir dewasa,
visioner, dan semoga orng tua dan guru kita bangga dengan prestasi kita. Be
delegent ! and you will save.. hehehehheeh
Thanks a lot for Mr.
Dede Imam Purnama and all my teachers in my lovely school MTs dan MA
Al-Qamariah. We always missing you, and proud of you. May you be shaded by His
Mercy.
Oh Allah, ampunilah
dosa guru-guru kami, berikan mereka keberkahan usia dan rizki, jadikanlah
keluarga mereka keluarga yang bahagia, berikanlah mereka kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. Amin ya robbal ‘alamiin.
ingatan nya panjang bener
BalasHapus