Manusia diciptakan memang penuh dengan keberagaman, baik
sifat, warna kulit, bahkan sampai potensi yang Tuhan ciptakan untuk manusia,
juga sangat beraneka ragam, ada manusia yang pandai olah raga, bermain music,
menciptakan teknologi, trainer, pembisnis, dan lain sebgainya.
Semua keahlian yang telah di anugrahkan oleh Tuhan,
merupakan karunia yang patut kita syukuri, tidak ada satu manusia pun yang
lahir ke dunia ini tanpa dibekali anugrah Tuhan yang bernama potensi, Tuhan
mungkin menciptakan manusia yang cacat secara fisik, (tuna netra, tuna grahita,
tuna runggu, tuna wicara) dan sejumlah kekurngan fisik yang lainnya, namun
Tuhan Yang Maha Pengasih tak pernah alpa, senantiasa menciptakan manusia dengan
potensinya sekaligus, sehingga, sekalipun ada manusia cacat secara fisik, tidak
berarti manusia itu tidak bisa berkarya.
Setiap orang di dunia ini, berhak mencapai titik
keberhasilannya masing-masing, bergantung pada kecerdasannya masing-masing. Pakar
Pendidikan, Munif Chatib mengatakan dalam bukunya Orangtuanya Manusia “Tidak
ada kelebihan satu kecerdasan atas satu kecerdasan yang lain”. Itulah sebabnya
kenapa manusia saling membutuhkan satu sama lain, semua kecerdasan manusia
bersifat sederajat dengan kriteria masing-masing.
Dengan demikian, diperlukan suatu cara untuk mengasah
potensi-potensi emas tersebut, dalam hal ini pendidikan-lah yang berfungsi
sebagai sarana peradaban untuk saling mewarisi kehebatan antar generasi
manusia, pendidikan sejatinya merupakan wadah yang mampu mengarahkan seseorang
menjadi manusia yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing, sehingga
mampu berkarya dan berkontribusi bagi bangsa.
Namun faktanya, dunia pendidikan saat ini terutama di
Indonesia, belum mampu menjadi institusi yang mampu mewadahi heterogenitas
potensi manusia tersebut, sebagai contoh, siswa yang unggul dalam mata
pelajaran matematika dianggap siswa yang cerdas dan mendapat penghargaan yang
luar biasa di lingkungannya, sementara siswa yang unggul dalam pelajaran bahasa
Indonesia atau olah raga belum tentu mendapatkan apresiasi sebesar itu. Masih
ada dikotomi penghargaan terhadap bakat siswa, sehingga munculah predikat murid
bodoh, murid pintar, murid biasa-biasa saja, semua klasifikasi itu muncul
akibat kurangnya pemahaman hakikat perbedaan manusia itu sendiri.
Wajah dunia pendidikan di Indonesia saat ini, sibuk
memberikan standar terhadap calon siswa-siswinya, terutama di lembaga-lembaga
pendidikan yang konon katanya “sekolah faovorit”, hanya siswa yang memenuhi
standar kognitif tertentu-lah yang berhak masuk ke sekolah tersebut. Lantas,
bagaimana nasib siswa yang unggul dalam bidang afektif dan psikomotor, mereka
biasanya mengambil “plan B” yaitu mengambil sekolah di kluster 2, dan
seterusnya. Nyaris tidak ada “sekolah favorit” yang mau menerima siswa yang
memiliki kemampuan-kemampuan tersebut.
Sistem kasta semacam ini hanya akan menanamkan sifat
diskriminasi terhadap siswa yang tidak lolos standar dan sifat merendahkan
orang lain bagi siswa yang lolos standar, karena merasa diri lebih baik
dibanding orang lain. Pada hakikatnya, semua manusia sama. Prinsip persamaan
hak yang selama ini digembar-gemborkan, rupanya belum mampu memoles rupa
pendidikan bangsa ini, karena dikotomisasi dan kastanisasi kecerdasan masih
terjadi, baik dalam hal latar belakang ekonomi siswa, tingkat daya pikir siswa,
bahkan sampai bakat siswa yang bahkan Tuhan pun tak pernah mendiskriminasinya.
Klasifikasi semacam ini tak berhenti sampai di saat seleksi
masuk saja, ketika sudah resmi di terima di sekolah dimaksud pun, siswa-siswi
ini akan di klasifikasi kembali menjadi kelas A, kelas B dan seterusnya,
siswa-siswi yang menempati kelas A, biasanya lebih tertutup di banding kelas B,
mereka lebih serius belajar, kompetisi yang ketat di dalam kelas, menuntut
mereka belajar lebih keras di banding anak-anak se-usianya, mereka nyaris tidak
punya banyak teman dan terkesan “anti social”.
Perlu adanya kesadaran dan pemahaman dari para pendidik baik
pendidik di rumah maupun disekolah, untuk lebih memaknai hakikat perbedaan itu
sendiri, berbeda disini berarti berbeda penyikapan, berbeda arahan dan berbeda
cara (mtode pembelajaran). Pendidik hendaknya mampu mengajar siswa-siswinya
sesuai gaya belajar anak didiknya, bukan sebaliknya, murid yang harus mengikuti gaya mengajar
gurunya. Perlu di fahami, bahwa siswa yang memiliki kesulitan terhadap suatu
mata pelajaran, itu merupakan tugas pendidik untuk memahamkannya.
Jika prinsip persamaan hak sudah teraktualisasi dalam
pribadi pendidik, maka setiap anak akan merasa bahagia dan tidak akan merasa di
diskriminasi, semua orang akan merasakan keindahan hidup dan merasakan hakikat
dirinya sebagai manusia. Manusia yang memiliki kelebihan, kesemuanya merupakan anugrah Tuhan, dia tidak
pernah menanam saham sedikitpun atas kelebihannya, jadi sikapi sewajarnya, dan
manusia yang memiliki kekurangan, apapun itu jenis kekurangannya, dia tidak
pernah me-request sedikitpun kepada Tuhan atas kekurangannya, oleh
sebab itu hargailah dia semestinya, kelebihan dan kekurangan semata-mata
merupakan cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia yang bersangkutan dan
manusia-manusia yang ada di sekitarnya. Bukan dipandang sebagai perbedaan
negative yang kelak menjadi bibit-bibit diskriminasi.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar