Hari ini adalah
hari jumat, lebih tepatnya H-4 Ramadhan 1434 H, selesai sudah aku menghatamkan
novel legendaris Jepang yang berjudul Totto Chan, sebuah novel yang bercerita
tentang betapa pendidikan itu sangat mempengaruhi cara berfikir dan cara
pandang seseorang.
Novel yang diberi
judul “Totto Chan, Gadis cilik di jendela” itu telah berhasil merebut
perhatianku, dua bulan yang lalu, aku melihat buku itu tergeletak di kosanku,
aku cuek saja melihat buku itu, tidak ada yang special dengan buku itu, begitu
pikirku. Tapi pada suatu malam, sepulang kerja aku biasanya menyalakan tv untuk
menemani waktu istirahatku, malam itu ada yang berbeda, aku merasa agak sedikit
bosan jika setiap malam terus menerus menonton televisi, malam itu aku putuskan
untuk mengerjakan sesuatu yang lebih produktif, malam itu aku ingin sekali
membaca buku, tapi masalahnya buku apa, ku lihat di lemari buku ku, sudah tak ada
lagi tanda-tanda buku yang menarik untuk di baca, semuanya sudah kulahap, tapi
sesaat kemudian pandanganku tertuju pada sebuah buku di sudut ruangan yang
tergeletak begitu saja, mungkin punya teman se kosanku, kulihat cover buku itu
sudah lusuh, berdebu, dan kertasnya sudah mulai menguning.
Kulihat judulnya,
Totto Chan : The Little Girl at the Window, karena tidak ada pilihan lain, ku
buka saja buku itu, ku baca halaman pertama, masih lempeng saja aku menanggapi
nya, halaman kedua mulai enak dibaca, halaman ketiga aku tersihir, halaman ke
empat aku excited, sampai di halaman
terakhir, aku rasa aku beruntung pernah membaca buku itu, aku beruntung
mengenal sosok Totto Chan yang telah dengan senang hati menceritakan Sosaku
Kobayashi dan Tomoe Gakuen untuk ku.
Buku setebal 271
halaman itu, telah meninggalkan kesan yang mendalam di hatiku. Jujur saja, aku
menangis membaca salah satu bagian dalam buku itu, persis ketika Totto Chan
dikeluarkan di sekolah yang pertamanya, tanpa sadar air mataku pun mengalir,
aku teringat masa kecilku, saat itu aku kelas 1 SD, aku tidak bisa mengerjakan soal
matematika yang diberikan oleh guruku di kelas, aku tertunduk, aku sama sekali
tidak bisa mengerjakannya, hanya aku dan satu temanku yang tidak bisa
mngerjakannya, karenanya kami di hukum, kami berdua harus jalan bebek sambil
mengelilingi bangku teman-teman sekelas kami, aku malu sekali saat itu, sangat
malu, ingin sekali aku menangis, hanya tak bisa, hukuman itu telah membunuh
karakterku. Sejak saat itu, aku benci guruku, aku muak belajar dengannya, aku
benci matematika, bahkan sampai saat ini. Padahal sebelum kejadian itu, aku
selalu semangat belajar matematika. Itulah matematika dimataku, ia tidak lebih
dari imajinasi monster mengerikan yang terlalu sia-sia untuk di fikirkan.
Menurutku,
seharusnya buku Totto Chan itu dijadikan bacaan wajib para guru, orang tua dan
pemangku kebijakan pendidikan, dimanapun mereka berada. Agar mereka yang
mengatasnamakan diri sebagai pendidik, menjadi lebih faham bagaimana menyikapi
anak yang sedang berada dalam masa perkembangan. Ketidak mampuan nya dalam
memahami sesuatu merupakan tanggung jawab pendidik untuk memahamkannya, bukan
untuk di ejek, di tertawakan apalagi di permalukan di depan umum.
Sosok Mr.
Kobayashi dalam buku itu merupakan sosok pendidik yang sungguh-sungguh memahami
cara bagaimana mendidik anak, terutama cara menyikapi anak yang sedang ada
dalam masa pertumbuhan. Sungguh beruntung murid-murid Tomoe. Di sekolah itu,
murid-murid di perlakukan sebagai mana mestinya, mereka sangat disayangi dan
dihargai, apapun kemampuannya. Tidak ada kastanisasi kecerdasan di sekolah itu,
semua murid di berikan penghargaan dan ksempatan yang sama untuk menunjukan
potensi diri masing-masing.
Proses belajar
mengajar di sekolah itu berlangsung menyenangkan setiap hari, tidak ada
tekanan, tidak ada intimidasi apalagi diskriminasi. Rasanya, ingin sekali aku
menjadi bagian dari sekolah itu, sekolah yang membentuk manusia-manusia yang
memiliki kwalitas dan kemampuan yang unggul di bidangnya masing-masing.
Mereka yang lulus
dari Tomoe, adalah orang-orang yang sukses dan memiliki kontribusi penting bagi
lingkunganya. Seperti itulah seharusnya pendidikan melahirkan generasinya,
bukan menciptakan para pengangguran intelek, atau menghasilkan lulusan yang
sibuk mengirim lamaran kerja setelah mereka wisuda, mendapat pekerjaan, masuk kerja
jam 8 pulang jam 5, terjebak pada rutinitas, menunggu tanggal gajian, dan
pensiun. Begitu seterusnya, mungkin sampai mati, pendidikan ini akan di cetak
menjadi siklus diorama yang membosankan.
Padahal hakikat
pendidikan jika di tarik ke dalam sejarah Islam, merupakan sarana untuk
menghantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, tidak ada dikotomi
dan tidak ada kelebihan satu pelajaran atas pelajaran yang lain, semuanya
penting dan memiliki fungsi masing-masing. Bisa kita bayangkan, jika dunia ini
hanya penuh dengan ahli fisika, bukankah sangat serius? Atau, jika dunia ini
hanya di penuhi dengan musisi, tentu dunia ini akan tampak sangat melankolis
dan lebay; atau jika dunia ini hanya di penuhi oleh ustadz, rahib dan pendeta,
tentu dunia ini akan tampak sangat fiktif karena kondisi pemahaman manusia yang
sudah begitu melangit.
Islam sebagai
agama yang sangat sempurna, memberikan arahan bagaimana kita bisa mengimbangi
semua aspek kehidupan (dunia dan akhirat). Masa ke khalifahan Harun Al Rasyid,
bisa dijadikan bukti atas ungulnya pendidikan Islam, keberhasilan khalifah
dalam memimpin rakyatnya pada masa itu, menjadi bukti keberhasilan Islam
memadukan kekuatan umatnya sehingga menjadi penguasa adi daya di dunia namun
tetap konsisten kepada orientasi akhirat.
Sesungguhnya kita
ummat Islam, memiliki sejarah yang jauh lebih revolusioner di banding Tomoe
Gakuen, kita punya siroh nabi dan sahabat yang bisa kita pelajari kapan pun.
Pola pendidikan ideal yang tercermin dalam kehidupan Rasulullah, sejatinya
menjadi petunjuk berharga dalam diri setiap muslim. Bukan hanya menghafal
deretan do’a berbahasa arab yang tak sedikitpun kita tidak tahu maknanya.
Aku ingin
menangis, melihat ajaran Islamku diaplikasikan oleh orang lain yang bukan
muslim.