Dibeberapa
sekolah atau perguruan tinggi yang cukup bonafide di kota bandung, bahkan
mungkin di Indonesia, semuanya nyaris kompak memberikan syarat-syarat tertentu
(tes masuk) kepada calon siswa atau calon mahasiswanya. Siswa yang mencapai
grade tertentu dinyatakan lulus dan yang kurang dalam grade tersebut berarti
tidak lulus, atau dalam bahasa yang lebih halusnya dinyatakan “belum bisa
bergabung dengan sekolah atau kampus yang dimaksud”. Dari tes-tes semacam
inilah muncul istilah murid bodoh, murid pintar, murid jenius, murid normal
dll.
Pemberlakuan
tes semacam ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun di Indonesia, yah
barangkali semenjak Alfred Binet mencetuskan teori Intelligence Quotient
(IQ) nya, menurut Binet kecerdasan seseorang ditentukan oleh seberapa tinggi IQ
nya, pendeknya IQ= MA/CA x
100. pendapat Binet ini telah
lama dimentahkan oleh para pakar pendidikan, karena faktanya IQ bukanlah faktor
utama penentu kecerdasan seseorang. Akan tetapi anehnya, walaupun teori Binet
ini sudah lama dimentahkan, kenyataanya praktek pendidikan di Indonesia masih saja menjadikan IQ sebagai standar kecerdasan
seseorang.
Pendapat
Binet ini kemudian disempurnakan oleh Daniel Goleman dengan teori Emotional
Quotient-nya (EQ), kemudian Paul Scholtz dengan Adversity Quotient-nya
(AQ) dan disempurnakan lagi oleh Howard Gardner dengan teori Multiple
Intelligence-nya (MI). Dari urutan perkembangan pemikiran diatas, telah
jelas banyak penemuan penting terkait faktor kecerdasan seseorang, dunia
pendidikan sudah selayaknya lebih berkembang dalam sistem standarisasi guna
evaluasi input atau output pendidikan itu sendiri. Tapi anehnya
masih saja tes kognitif menjadi hobi para pemangku kebijakan sistem pendidikan
di Indonesia untuk dijadikan standar kecerdasan seseorang.
Logikanya,
wajar apabila sutau lembaga pendidikan berhasil (Sec. Kognitif) mencetak
outputnya menjadi output terbaik apabila inputnya sudah disaring dan dipilih
berdasarkan standar yang ditetapkan, bisa dikatakan, lembaga pendidikan seperti
ini adalah lembaga pendidikan yang egois, eksklusif dan lebih parahnya mereka
namakan sekolah ini dengan sebutan sekolah terpadu. Terpadu, tentu saja terpadu
bagi setiap orang yang memiliki kecerdasan tinggi bernama IQ. Pendeknya
best
input + best process = best output (wajar)
Lantas
bagaimana nasib anak-anak yang mereka beri gelar bodoh atau normal? Dengan
dalih IQ nya dibawah rata-rata. Siapa yang akan bertanggungjawab atas gelar
kebodohan mereka. Anak-anak ini tentunya akan dimasukan ke sekolah biasa-biasa saja,
Sekolah yang berada pada grade cluster 2, cluster 3 de el el..
Ada
satu sekolah yang cukup high class di Bandung (sepengetahuan penulis),
sebut saja SMA X, yang dengan sukarela dan penuh kesadaran merekrut siswanya
tidak melalui tahap tes, yang menjadi syarat disekolah ini adalah siapa yang
paling cepat mendaftar, dialah yang akan mendapat hak untuk belajar di sekolah
tersebut, dengan proses yang baik, kurikulum yang baik, dan penanganan murid
yang baik, apapun bakat murid akan difasilitasi di sekolah ini, mereka semua
dihargai dan disayangi oleh gurunya tanpa melihat seberapa tinggi IQ-nya.
Walhasil,
disekolah ini tumbuh berbagai macam individu dengan berbagai bakat yang
menonjol, para siswanya ada yang unggul di bidang sains sehingga mereka sering
meraih penghargaan dari pemerintah karena berhasil meraih juara pada ajang
perlombaan, demikian juga pada bidang seni musik, lomba pidato bahasa asing
dll, tanpa meninggalkan aspek spiritual sebagai kewajiban mereka. Bahkan
sesekali prestasi mereka jauh melampaui siswa-siswa yang berasal dari sekolah
(baca-best input) itu, artinya sekolah ini menginput siswa tanpa memberikan
standar, akan tetapi mereka memberikan pengajaran dan pembiasaan yang baik,
sehingga outputnya pun sangat baik. Pendeknya,
Normal Input + Best process = Best Output (Luar Biasa)
SMA X ini merupakan satu contoh nyata
bagaimana pendidikan itu memanusiakan manusia, mereka tidak mencetak robot,
tapi menciptakan manusia yang memiliki integritas apapun potensinya, karena
disekolah ini tidak ada anak bodoh, semua siswa di sekolah ini pintar.
Sistem
pendidikan di Indonesia sudah saatnya, membuka diri dan melepaskan keegoisannya
dalam pelaksanaan kebijakan dan pembelajarannya. Hendaknya semua pihak yang
terlibat dalam dunia pendidikan lebih open minded, untuk menghargai
semua yang diciptakan Allah dengan penuh prasangka baik (husnudzan),
tidak ada sesuatupun di dunia ini yang diciptakan Allah melainkan dengan maksud-Nya,
tiada yang sia-sia, kekurangan seorang mukmin merupakan pelajaran (baca hikmah)
untuk mukmin lainnya. No bodies perfect, begitulah terminologi
Barat menafsirkannya.
Semoga
kurikulum 2013 yang akan diberlakukan tahun ajaran baru ini membawa angin segar
bagi perubahan sistem pendidikan Indonesia menjadi lebih baik, sehingga
menghasilkan output pendidikan yang berkwalitas dimana setiap orang merasa
dihargai sehingga menciptakan iklim saling menghormati satu sama lain.
*Inspired from :
Sekolahnya Manusia- Munif Chatib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar