Pasca
UN kemarin, seluruh anak-anak SMA kelas XII pasti sedang harap-harap cemas
(H2c) menanti saat-saat mendebarkan, dimana hasil jerih payah siswa selama
bertahun-tahun, akan ditentukan oleh ujian nasional yang hanya diselenggarakan
selama tiga hari, dimana alat ukurnya hanya kognitif, alat ukur yang sangat
cocok bagi bangsa yang “menuhankan” logika.
Maka
tak heran, jika banyak siswa yang stres dan sakit karena terlalu lelah belajar.
negara, sekolah dan orang tua mereka menuntut untuk lulus, lebih tepatnya lulus
standar evaluasi ANEH tersebut. Aku heran dengan kebijakan pendidikan negara
ini, setiap mata pelajaran mencantumkan tiga ranah kompetensi sebagai acuan
keberhasilannya, afektif, kognitif dan psikomotor, tapi anehnya kenapa hanya
aspek kognitif saja yang diteskan kepada siswa, sungguh malang nasib
siswa-siswa yang unggul dalam aspek afektif dan psikomotor, mereka terpaksa
harus mengikuti evaluasi pasar tersebut, bakat-bakat emas mereka tidak
diberikan penghargaan se-sen pun.
Gagalnya
penyelenggaraan UN kemarin, cukup menjadi bukti ketidak efektifan UN sebagai
acuan standar kelulusan, apalagi jika dihadapakn dengan hari kelulusan nanti,
siswa-siswa yang dinyatakan tidak lulus (naudzu billah), akan stres berat
karena merasa dirinya tidak memiliki harapan untuk menatap masa depan, begitu
kata Bondan Prakoso.
Ditambah
lagi soal-soal SNMPTN/SBMPTN yang semakin menggenapkan ketegangan anak-anak
bangsa ini. Mereka berlomba-lomba memasuki universitas-universitas yang konon
terbaik di negeri ini. Mereka belajar dari pagi buta hingga malam gulita demi
kalimat “SELAMAT ANDA DITERIMA DI .............. Universitas
...................”. Sekarang permasalahannya adalah, apakah dengan tes SNMPTN
tersebut bisa menjamin semua calon mahasiswa tersebut untuk sukses setelah
lulus? Saya tidak perlu susah payah menjawab pertanyaan konyol itu. Simak saja
cerita ngaler-ngidul ini.
Ketika
saya kuliah menginjak smester VIII, karena sudah tidak ada lagi mata kuliah dan
kebetulan saya membutuhkan uang saku tambahan, akhirnya saya memutuskan untuk
mencari pekerjaan sebagai penghasilan tambahan, karena sebagai guru privat,
waktu itu penghasilan saya memang jauh dari cukup untuk membiayai semua
kebutuhan-kebutuhan saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Dan puluhan surat
lamaranpun saya layangkan ke kantor pos, walaupun hanya bermodal ijazah SMA dan
IPK sementara semester VII, aku tak peduli, dengan penuh optimis, aku berikan
surat itu pada pak pos.
Hingga
akhirnya, ada sebuah perusahaan baju muslim yang mengabariku lewat sms bahwa
aku dipanggil untuk test pertama, dan sesampainya aku di alamat perusahaan itu,
ada dua keanehan yang membuat aku terperangah.
Pertama, HRD
sekaligus Owner perusahaan tersebut menjelaskan bahwa perusahaan miliknya
adalah perusahaan yang bergerak dibidang produksi dan penjualan busana muslim.
Jadi jika kelak kami diterima disana kami akan ditempatkan sebagai Kiyusi atau Quality
Controler, penjelasan itu kami dengar dengan seksama, sampai akhirnya HRD
aneh tersebut menyerahkan beberapa lembar kertas, tentu anak SD-pun tahu, apa
isi kertas tersebut. Dan lagi-lagi kami dites, dari 100 soal yang ada di kertas
soal tersebut 70 diantaranya merupakan soal matematika dan sisanya bahasa
inggris. Soal matematikapun di buat sangat beragam, mulai dari soal aritmatika,
al jabar, test logika, diskriminan dll
Hati
kecilku bertanya pada saat itu, apa hubungan mesin jahit dengan aritmatika, apa
hubungan bahan katun dengan kalkulus, apa hubungan gunting dengan al jabar.
Sialnya pertanyaan-pertanyaan itu tak sempat kuutarakan pada HRD aneh itu,
mungkin karena faktor “M” (money), jadi aku belaga bodoh saja pada saat
itu..haaaa GR.
Dengan
jurus tembak, itung kancing dan tentu saja insting yang kuat, akhirnya aku
selesai mengerjakan 100 soal tersebut.
Kedua, secara
kebetulan pada saat sebelum masuk ruangan tes, aku berkenalan dengan seorang
calon peserta tes lain. Ku tanyakan padanya nama, asal dan aktivitasnya.
Jawabannya sungguh mencengangkan, teteh tersebut ternyata baru satu tahun lulus
dari sebuah universitas yang sangat ternama di kota Bandung, tentu saja
kutanyakan apa jurusan kuliahnya dulu, ah paling teteh tersebut jurusan tata
busana atau akuntansi begitu gumamku, dan dengan suara agak terbata-bata beliau
menjawab, saya dari jurusan Biologi. OMG, kok bisa teh ngelamar kesini? Kan
sayang ilmunya? Demikian pertanyaan ku memberudul seperti tak kan pernah
menemukan hari esok untuk bertanya lagi, dengan suara parau dia menjawab, yah
mau gimana lagi, yang penting mah dapat kerjaan aja, soalnya aku malu sama
keluarga, nganggur udah hampir setahun. Dan Spppp mulutku langsung terkunci,
aku menahan diri untuk bertanya lebih jauh, karena hawatir menyinggung
perasaannya. Namun, teteh tersebut akhirnya melanjutkan kisah hidupnya tersebut
tanpa ku bertanya, teteh itu bilang dia sudah mengirimkan beratus-ratus surat
lamaran ke berbagai perusahaan, hanya saja sampai detik ini belum ada panggilan
satupun dari ratusan lamaran tersebut.
Mendengar
lanjutan kisahnya tersebut, aku bisa merasakan guratan pasrah di wajahnya,
beban moral yang ditanggungnya pasti sangatlah besar, belum lagi tuntutan
keluarganya, hufh............... aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam dan
membayangkan bagaimana jadinya jika hal itu terjadi padaku.
Almamater
yang dulu menjadi kebanggan itu, kini hanya lembaran aib yang terlalu privasi
untuk diceritakan. Aku sangat memahami perasaannya, itulah sebabnya aku tak
sanggup menanyakan lebih jauh dari apa latar belakangnya.
Kembali
ke laptop, dari kisah yang saya ceritakan diatas terutama di kasus kedua, saya
berani menyimpulkan bahwa universitas favorit sekalipun, ternyata juga tidak
memberi jaminan mahasiswanya untuk sukses dan memiliki kwalitas tinggi ditengah
masyarakat pasca lulus nanti.
Pidi
Baiq bilang : “Dulu, nama besar kampus disebabkan oleh karena kehebatan
mahasiswanya. Sekarang, mahasiswa ingin hebat karena nama besar kampusnya”.
(At-Twitter: 17)
Jadi
yang harus diperbaiki kita saat ini adalah, niat kita untuk belajar di suatu
tempat itu apakah karena kita pure ingin belajar? Atau karena kita ingin
numpang beken doang? Dan tentu saja menjadi buah bibir tetangga di kampung
halaman, guru di sekolah dan tentunya teman-teman semasa SMA?
Jika
niatnya hanya ingin untuk gengsi saja, maka STOP RIGHT NOW. Karena eksistensi
kamu di kampus tersebut hanya akan menjadi hiasan kelas saja bahkan jadi kesed
kampus. Selain itu, orang-orang yang memiliki motivasi kuliah semacam ini hanya
akan menguras harta orang tuanya saja, sementara prestasi dan kontribusinya
NIHIL.
Jadi
sekarang pertanyaannya adalah, dimana letak kwalitas hidup kita? Dikampus/
sekolah yang kita tempati? Atau dalam diri kita sendiri?.
Dan
lagi-lagi pertanyaan ini akan saya jawab dalam 2 SKS dibawah ini. Haaaaaa. Boong
deng..Cuma mau update-in status orang aja ko.
Pada
suatu hari nan cerah, kulihat tombol notification di fb ku memunculkan
angka 1, itu menunjukan bahwa ada seseorang yang mengomentari atau me-like
status ku atau teman-teman fbku yang pernah ku komentari, dengan sigap ku klik
angka 1 itu, dan tampaklah sebuah kata-kata indah yang hanya bisa diutarakan
oleh orang yang sangat bijak, bahkan menurutku kebijaksanaan orang ini jauh
melebihi Mahatma Ghandi, amat sangat bijak. Begini statusnya
“kwalitas
dirimu berasal dari dirimu sendiri, bukan dari sekolah atau kampus yang kamu
masuki”
Cssssssss....kata-kata
itu menyihirku. Langsung saja ku gerakan telunjuk kanan ku untuk segera menekan
tulisan yang ada di bawahnya. LIKE. Jarang-jarang loh aku suka status orang. Haaaaaaa..
MasBuLoh..! MasSitoh..! MasBuDi..! dan Mas-Mas yang lainnya.
Teman-teman,
tentu kita semua tahu, bagaimana riwayat hidup Lee Myung Bak, sang mantan presiden
Korea Selatan, yang terlahir dari keluarga pemulung. Lee Myung Bak kecil akan
membongkar tumpukan sampah manakala perutnya berbunyi tanda lapar. Calon orang
nomer 1 Korea Selatan ini memakan nasi bekas rupanya. Akan tetapi dengan
semangat belajar yang membabi buta dan prestasinya yang cetar membahana,
akhirnya Lee berhasil meraih pendidikan hingga perguruan tinggi, menjadi
president Hiyundai dan menjadi presiden di negeri Gangnam Style itu periode 2008-2012.
Jadi
yang penting itu, punya semangat belajar, bukan tempat belajar. Tapi tetep yah,
target tidak boleh yang ecek-ecek, di pendaftaran SNMPN nanti, jangan lupa masukan
jurusan yang benar-benar menjadi passion kamu, giatlah belajar,
hilangkan kesombongan dan keegoisan yang masih bersarang di hatimu, karena itu
tidak dibutuhkan dalam jiwa seorang pemimpi. Niatkan ambisi belajar mu dari
sekarang. Maka diterima atau tidak nanti, tidak akan jadi masalah. Karena kita
akan terus belajar dan tetap berkarya.
Saat
ini, mungkin kita terpaksa jika harus ikut logika pasar semacam tadi, semoga
suatu saat, kita bisa merubah sistem pendidikan ini menjadi lebih manusiawi dan
ber-adab.
Gantungkan
mimpimu..! Bangunlah wahai singa yang tidur..! Allah pasti membantumu..!
Wallahu
a’lam
Boleh lah Mantappp.. Tak Kasih Spuluh Jempol Gajah deh buat teh Afaf....
BalasHapus