Aku
adalah seorang yang memiliki banyak karakter buruk, dulu mungkin karakter buruk
itu hanya bibit, namun semua menjadi tumbuh subur seiring dengan budaya
jahiliyah disekitarku yang membiarkannya berkembang biak dan beranak pinak.
Sifat
paling buruk yang melekat dalam tubuh penuh dosa ini adalah sombong, merasa
hebat, merasa mandiri, dan cepat berburuk sangka kepada orang lain, hal itulah
yang menjadikanku sulit untuk mendapat teman. Dan lebih parahnya, aku nyaman
dengan ketidak hadiran teman dalam hidupku, tidak ada masalah bagiku jika tidak
ada orang yang menemaniku, daripada banyak teman malah tambah banyak membuat
dosa. Begitu alibiku.
Aku
dulu senang dengan sesuatu yang membuatku sibuk sendiri, seperti memasak,
menulis, beres-beres dan mendesain di corel. Aku senang dengan semua hal itu.
Aku tidak ada masalah dengan orang-orang, tapi orang-oranglah yang punya
masalah denganku.
Semasa
SMA-ku dulu, aku tidak memiliki begitu banyak sahabat, mungkin mereka malas
berteman denganku karena aku yang terlalu perfeksionis, dan sekali lagi. AKU
TIDAK PEDULI. Apalagi saat itu prestasi akdemiku melejit bahkan sampai rangking
satu di sekolah.
Begitu
aku menginjak bangku kuliah, budaya itu masih saja melekat dihidupku. Banyak
orang yang tidak menyukaiku, semakin banyak dan semakin banyak. Teman sekelas,
teman kosan, bahkan sampai kakak tingkat, mereka semua membenciku.
Suatu
ketika aku pernah memiliki teman sekosan yang sangat jorok, Dia menaruh handuk
bekas pakai di mana saja, menyimpan gayung di lantai kamar mandi, menumpuk
cucian, malas cuci piring, dsb. Sementara aku adalah orang yang harus serba
perfect. Tak jarang kami sering bentrok, dari mulai beradu mulut sampai perang
dinginpun pernah kami rasakan, hingga akhirnya kuliah kami lulus dan kami
terpisah. Namun, Allah Yang Maha Pengampun menyadarkanku, betapa buruk sifatku.
Tuhan, aku lelah dengan sifatku.
Bertahun-tahun
belajar Islam, mungkin hanya sampai di otak dan mulutku, tak pernah sampai ke
hatiku apalagi sampai seluruh organ tubuhku untuk dilaksanakan. Ilmu agama yang
se-abreg hanyalah koleksi otak semata.
Perlahan,
akupun mulai sering berdoa kepada Allah dalam sujudku, suapaya Allah Ar-Rahiim
menganugrahkan aku akhlak yang baik dan lemah lembut, memiliki banyak teman dan
senang bersosial. Sesekali aku bentrok dengan teman, sesekali akupun mampu
menahan amarah dan mengalah.
Aku
terus-menerus berdoa kepada Allah SWT, agara Dia memberiku akhlak seindah
akhlak Rasulullah. Yang senantiasa mampu menyunggingkan senyumnya dalam situasi
sesulit apapun. Perlahan tapi pasti, doa itu sedikit demi sedikit terwujud.
Akupun
mulai memahami konsep ikhlas dalam berteman. Ikhlas yang aku fahami bukan hanya
sekedar rela. Namun lebih dari itu, ikhlas yang kufahami adalah mampu menerima
kelebihan dan kekurangan teman kita dalam keadaan senang maupun terpaksa.
Suatu
hari aku pernah kembali di anugrahi Allah teman yang tidak begitu bisa dalam
memelihara kebersihan. Namun apa yang terjadi? Tidak ada lagi bentrokan, aku
tidak lagi mengambil pusing kondisi. Aku akan membersihkannya jika aku mau, dan
jika aku tidak mau maka aku diam saja, tidak ada perang mulut, apalagi perang
dingin.
Semakin
bertambah usia, aku semakin memahami bahwa fungsi senyum itu sangat penting,
aku pun mulai terbuka dengan teman-teman baruku, mereka nyaman denganku dan
akupun nyaman bersama mereka.
Sahabat..
Terimalah
kekurangan teman kita dengan penuh rasa keimanan, jika kita mampu untuk merubah
sifat jelek teman kita, maka rubahlah dengan cara yang makruf, lengkapi
kekurangannya dengan kelebihan yang ada pada kita. Namun jika tidak, janganlah
kita menggerutu dengan kekurangannya, apalagi menjauhinya. Karena semua itu
dari Allah. Daripada kita terus-menerus menggerutu dengan sifat buruknya, maka
focus pada keburukan sendiri itu akan seribu kali lebih baik.
Bertoleransi
dengan kekurangan orang lain adalah kunci persahabatan, berkata dan berbuat
halus merupakan sikap yang tak hanya disenangi oleh manusia, namun juga Allah. Senyum
yang tersirat dibibirmu akan menjadi magnet persaudaraan.
Dengan berbekal
pemahaman ini, akupun bisa akrab dengan semua orang. Dari mulai sahabat
sekantor sampai tukang batagor depan SD sebelahpun, aku ajak ngobrol dan
berkenalan. Kurasa hidupku lebih bermakna dan bersahaja. Aku bisa menghargai
kelebihan dan kekurangan orang lain dalam waktu 7 tahun. Waktu yang tidak
singkat, namun cukup untuk memahamkan orang bodoh sepertiku mengetahui kulit
dari apa yang disebut ikhlas.
Sungguh cantik
cara Allah menyadarkanku dan memberiku ilmu tentang toleransi (tafahum) dalam
berteman dengan sesame muslim dan seluruh manusia di bumi ini. Sungguh,
kalaupun aku terlahir sebagai orang kaya raya, secerdas Zukerberg dan secantik
Ann Hathway. Tidak ada sedikitpun kewenangan untuk bersikap angkuh dan merasa
lebih baik dari orang lain.
“Rabbanaa dzalamnaa
angfusanaa, wainlam tagfirlanaa, watarhamnaa, lanakuunanna, minal khaasiriin”
Maha Suci Allah dari Apa Yang aku sekutukan.
Berfikir melangit dan berakhlaklah membumi.
Metamorfosa hidup..
Maaf jika aku belum bisa menjadi orang
baik.
Sudut
kosan
Antapani,
29 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar