Pepatah tua Inggris
mengatakan “You Are What You Eat”
yang artinya kurang lebih, kamu adalah apa yang kamu makan. Mungkin pepatah ini
terdengar sedikit lebay dan terlalu simple untuk dibahas. Namun bagi saya,
kata-kata ini sangat tajam dan memiliki makna filososfis yang dalam.
Pepatah ini bagi saya bukan
hanya kata-kata bijak untuk pola hidup sehat saja, mungkin segelintir orang
hanya mentafsirkan pepatah ini dengan kondisi badan kita adalah apa yang kita
konsumsi, sehat dan tidaknya kita adalah bergantung kepada apa yang kita
konsumsi, dalam hal ini adalah makanan dan minuman. Tafsir ini tidak salah,
hanya sayang, jika ditafsirkan terlalu sempit.
Bagi saya, pepatah ini
bermakna dua sisi: pertama, yaitu menjaga asupan makanan dan minuman ke tubuh
kita, tidak berlebihan dan tidak kekurangan, seperti cukup sayur, cukup buah, cukup
cairan, cukup karbo dll. Bagi yang suka makanan manis, hendaknya tidak terlalu
berlebihan mengkonsumsi makanan manis, begitu juga dengan mereka yang suka dengan
makanan asin seperti saya. Jangan berlebihan!
Terlepas dari sahih atau
dlaifnya hadits tentang berhentilah makan sebelum kenyang. Namun alasan medis
begitu kuat bahwa Nabi Saw menyuruh kita membagi “space” lambung kita menjadi tiga bagian: Spertiga untuk makanan,
sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara. Jika makanan yang kita konsumsi
lebih dari sepertiga space lambung, maka akan melebihi kapasitas enzim
pencerna, sehingga tidak akan mampu diserap dengan sempurna. Dan akan
menyebabkan fermentasi, salah cerna dan menimbulkan gas.
Artinya, kesehatan kita
akan sangat bergantung dengan apapun yang kita konsumsi. Jika kita merasa yang
kita konsumsi kurang baik tapi tidak terjadi dampak apapun pada tubuh kita, hal
ini mungkin saja berdampak pada efek jangka panjang tubuh kita. Ketika masih
muda merasa kuat dan seperti tak terjadi apa-apa, namun saat usia mengingjak 40
tahun, semuanya mulai terasa sakit. Naudzubillah.
Sebagai muslim, tentu saja
kita ingin dikaruniai Allah usia yang berkah, sehat dan kuat. Sehingga tidak
ada satu macam ibadahpun yang kita lewatkan karena kita mampu melaksanakan
seluruhnya. Itulah alasan Allah lebih mencintai muslim yang kuat (sehat)
daripada yang lemah (sakit-sakitan).
Ketika jatuh sakitpun ada
dua kemungkinan, apakah penyakit yang kita derita adalah murni pemberian ujian
dari Allah, atau justru malah buah dari keteledoran kita dalam mengkonsumsi
segala jenis makanan tanpa memperhitungkan kondisi tubuh. Jika penyakit yang
kita derita adalah murni ujian dari Allah, maka apapun keputusan Allah itulah
yang terbaik, namun jika penyakit yang kita derita adalah karena buah dari
keteledoran, maka mulailah untuk memerbaiki pola hidup anda, supaya penyakit
itu jauh dari kehidupan anda.
Makna kedua pepatah you are what you eat untuk saya adalah
makna pesan moral dari pepatah tersebut. Tindakan dan perkataan yang keluar
dari segenap tubuh kita, itulah kita sebenernya. Masih bingung? Oke, saya
jelaskan lagi.
Apakah anda sering melihat
orang yang senang berganti status setiap jam, meng-ekspos apa yang dia rasakan
dan dia alami setiap detik. Mending kalau yang di-updatenya kata-kata motivasi atau quotes yang berguna, tapi kalau
yang di update status adalah masalah
pribadinya kan mulai berabe tuh.
Salah seorang kenalan saya
ceritanya senang sekali meng-update kesuksesannya,
dari mulai dia masuk S2 sampai dia lulus dan bekerja di sebuah kantor
pemerintahan. Mungkin motifnya baik yah, untuk membagi kabar bahagia, namun tak
disangka ternyata kos-kosannya kemalingan akibat update foto dia lagi makan di sebuah restoran mewah di Kota Bandung.
Orang jadi tahu kali ya, kalo dia emang banyak duit dan tajir maha daya.
Kasus lain adalah berasal
dari kisah seorang klien di Psikolog sekolah saya, dia bercerita bahwa ada
kliennya yang dirampok kemudiann diperkosa gara-gara membuat status “home alone nih” di facebook. Mungkin
jika temannya yang baik membaca status seperti itu tidak jadi masalah, tapi
kalau ternyata yang membaca ststus tersebut adalah temannya yang punya niat
jahat, hayoo gimana…?
Kisah-kisah di atas semoga
bisa dijadikan hikmah yaa buat kita, status itu adalah perkataan kita loh
teman, jadi jika kita senang mengeluh, bersumpah-serapah, meng-ekspos prestasi
kita sendiri di media social (ria) itulah cerminan jiwa kita, jauh dari
kebergantungan kepada Allah. Dimana letak penghambaan kita terhadap Allah,
dimana Rasulnya selalu mencontohkan untuk bersikap, tawadlu dan hanya berkeluh
kesah pada Allah saja.
Saya teringat nasihat A
Agym yang bunyinya: “Mulutmu itu seperti teko, jika isinya air putih, maka
ketika dituangkan akan keluar air putih. Dan jika isinya air kopi, maka yang
dituangkan adalah air kopi”. Begitu juga dengan mulut kita, jika hati dan
fikiran kita isinya baik, maka yang keluarpun adalah kata-kata dan tindakan
baik, namun jika isi hati dan fikirannya buruk, maka kata-kata yang
dikeluarkannyapun jauh dari nilai-nilai ketwadluan.
Rasulullah bersabda: “Jika
kita bersedekah dengan tangan kanan, maka tangan kiri jangan sampai tahu”
Dari hadits di atas
jelaslah, bahwa jika kita melakukan kebaikan harus disembunyikan, jangan
dikatakan pada siapapun apalagi sampai diekspos di media social yang berpeluang
dibaca oleh ribuan pasang mata. Terlebih lagi jika ada masalah, ada seorang
istri yang menjelek-jelekan suaminya di media social. Astagfirullah.. dia
menyebarkan aib suaminya kepada teman-teman media sosialnya. Rasa lega datang
ketika ada yang me-like atau
mengomentari dengan penuh rasa iba kepadanya, namun apakah dia sadar jika Allah
tidak ingin menutupi aib seseorang yang suka menyebarkan aib orang lain.
Pergunakanlah media social
dengan bijak, media social adalah alat untuk hidup bersosial, bukan untuk
menjadikan kita anti social, berkeluh kesah, bersumpah serapah, meng-ekspos
kesuksesan pribadi (ria) apalagi sampai menyebarkan aib orang.
Untuk itu, mari kita jaga
perbuatan dan perkataan kita dengan terus menerus mengkaji ilmu Allah,
mempraktekannya dan membagikannya. Jangan sampai ilmu itu hanya menjadi
“koleksi otak” saja. Jadi You are what
you eat adalah Apa yang kita katakan dan lakukan adalah apa yang kita
fahami. Semua yang kita konsumsi harus halalan tayyiban, baik konsumsi yang
masuk ke perut apalagi konsumsi yang masuk ke pikiran kita. Sehingga berbuah
menjadi kata dan aksi positif.
Dunia maya atau dunia
nyata, kita tetaplah kita, yang suatu
saat akan dimintai pertanggungjawaban atas umur kita.
“Rabbanaa
dzalamnaa angfusanaa wainlam tagfirlanaa watarhamnaa lankuunanna minal
khaasiriin”
Antapani. 10 Mei
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar