By the way, berbicara zaman tahun 80 an, itu adalah suatu
decade dimana Indonesia belum lama pulih dari mimpi buruk panjang yang bernama
perang, anak-anak memiliki hak sepenuhnya untuk menikmati masa kecil mereka, di
masa itu kami bebas mengeksplor alam yang Tuhan sediakan untuk umat manusia,
belum ada gedung-gedung pencakar langit, tidak ada cluster di dunia
pendidikan sehingga semua orang punya hak yang sama. Kami tidak mengenal full
day school, tidak ada anak SD yang pergi les, apalagi bermain gadget.
Kami saat itu adalah sekumpulan anak manusia yang puas bermain dan
mengeksplorasi alam pemberian Tuhan.
Aku di masa itu, selalu sibuk bermain. Setiap sepulang
sekolah aku ceburkan badanku tepat ke dalam sungai bersih itu. Meskipun
kedalamannya tidak sesuai dengan tinggi badanku dan teman-temanku, namun
kedalaman itu tak bisa mengubah semangatku untuk bermain, sembari tak lupa
mengambil beberapa kerang air tawar untuk ku mainkan di rumah.
Pegunungan yang dipenuhi pohon-pohon besar membuat dahan-dahan
kering yang diterpa angin turut berjatuhan, dahan-dahan kering itulah yang kami
jadikan kayu bakar, kami semua memakai tungku untuk memasak. Kompor alami
dimana sambil memasak kami juga bisa membakar singkong sebagai makanan
pengantar sebelum kami makan nasi berikut sambal terasi dan juga ikan asin yang
dibakar. Nyaris tanpa minyak, kata kolesterol adalah sebuah kosa kata yang tak
dikenal di daerahku saat itu.
Jika musim panen padi tiba, maka kami anak-anak kecil pergi
ramai-ramai menghampiri orang tua kami disawah, membawakan padi hasil panen
mereka, menunggu jemuran padi itu sampai pipi kami ikut memerah dan matang,
jika padi sudah kering maka disimpan di lumbung-lumbung padi rumah kami. Sampai
musim menanampun tiba, semua orang berbondong-bondong membajak sawah, kami pasukan
anak desa tak lupa turut meramaikan dengan berburu belut sawah sampai sore
bahkan sambil hujan-hujanan.
Sorepun datang, sambil menunggu waktu magrib tiba, kami
saling mendatangi rumah satu sama lain untuk mengajak bermain bersama, segudang
permainan tradisional khas sunda, pasti akan selalu kami mainkan. Dan aku rasa,
permainan itu jauh lebih menarik dan mencerdaskan kami dibanding play
station dan game online seperti sekarang.
Demikian masa kecil kami berlalu dengan penuh kesibukan, pagi
sekolah SD, siang sekolah agama dan malam mengaji, kami sangat sibuk memuaskan
diri bereksplorasi, berpetualang dengan alam, kami tidak mengenal kata les,
psikologi, therapy apalagi sekolah inklusi.
Namun awal 90-an kotak ajaib itu muncul juga, kami mulai
betah tinggal di rumah, menyaksikan acara-acara televisi yang menghibur dan
menarik, mulailah kami mengenal ninja hatori, sailormoon, trio kwekkwek,
tralala-trilili, wiro sableng, si buta dari goa hantu dan kera sakti, dll.
Namun semua itu masih sejalan dengan pola permainan masa kecil kami, lagu-lagu
anak, film-film anak yang semuanya semakin menambah harmonisme dunia kami
sebagai bocah ingusan. Sungguh masa kecil yang sangat menyenangkan.
Sekarang, zaman sudah jauh berubah, pandangan orangtuapun
sudah tak se-simpel dulu yang bisa membiarkan anak-anak bermain kapan saja. Aku
berada pada masa dimana populasi anak berkebutuhan khusus (ABK) jauh berkembang
pesat, aku berada pada masa dimana sekolah-sekolah inklusi tak mampu lagi
menampung anak-anak korban kesibukan orang tua mereka, aku berada pada masa
dimana anak tak punya ruang untuk bergerak, mereka anak-anak malang itu
menghabiskan waktu sehari penuh duduk manis di dalam ruangan yang bernama full
day school, dilanjutkannya les-les setelah sekolah sampai badan mereka
lelah dan tak sempat shalat magrib apalagi belajar membaca AL-Quran.
Aku berada pada masa dimana anak-anak yang libur sekolah
berdiam diri di rumanya, asyik bermain game dari gadget yang
dibelikan oleh orang tua mereka, mereka jauh dari alam, beberapa dari mereka
memiliki IQ yang tinggi namun jomplang jika dibandingkan mental dan kecerdasan
social se-usia mereka yang harus mereka miliki.
Lantas apa maksud Allah menjadikan dunia ini begitu tak
berpihak pada mereka anak-anak malang, tidak ada yang harus digugat dari takdir
Tuhan, tidak juga ada yang salah dengan ketetapan-Nya, Tuhan sudah memberikan
masalah berikut solusinya.
Dimasa ini, kita sebagai generasi muda yang pernah merasakan
bagaimana indahnya menikmati masa kecil tanpa banyak ketakutan, dituntut untuk
menciptakan sebuah oase kebahagiaan bagi anak-anak ditengah arus pengaruh
teknologi yang membombardir kecerdasan alami mental, intelektual dan spiritual
anak.
Dimasa ini pula, kita dituntut untuk mengembalikan pola
pergaulan anak-anak agar bisa sesuai dengan masa perkembangan biologis dan
psikologisny. Anak-anak di masa ini, bermain di rumah sendiripun
berbahaya, terlebih jika televise terus
dinyalakan, informasi beritapun sungguh sangat mengkhawatirkan, hanya sedikit
muatan informasi prestasi anak negeri yang diekspos, sisanya hanya berisi
informasi criminal yang semakin menginspirasi masyarakat lemah iman untuk
berbuat yang serupa, tayangan-tayangan gossip dan tak lupa
sinetron-sinetron khas anak muda yang penuh dengan habit berpacaran dan
permusuhan yang selalu diketengahkan. Tak heran jika remaja zaman sekarang
cepat tumbuh dewasa secara biologis namun jauh dari dewasa secara psikologis.
Dibalik itu, anak-anak di masa sekarang ini jika bergaul
dengan teman, justru semakin mengkhawatirkan. Tak sedikit siswa-siswi SD yang
menggunakan nama binatang sebagai spasi dalam pembicaraannya, kata-kata kasar
seolah terdengar lebih gaul dan bersahabat.
Seperti buah simalakama, serba salah. Terlebih jika kedua
orang tua bekerja, tidak punya back ground pemahaman agama dan ilmu parenting
yang baik, maka tunggulah kehancurannya.
Jika dulu tahun 90-an awal kami menonton televisi berjam-jam,
hal itu nyaris sedikit bahkan taka da ekses yang ditimbulkan pada diri
anak, karena berita-berita di televise pada masa itu, hanya menayangkan harga
beras, cabai dan bahan-bahan pokok dalam negeri jauh dari berita pembunuhan,
korupsi apalagi kekerasan seksual.
Dalam Islam sendiri, manusia lahir dalam kondisi fitrah
artinya memiliki potensi dan kecenderungan lebih besar untuk berbuat baik, anak
jauh lebih mudah diarahkan berbuat baik dibanding orang dewasa yang sudah
memiliki berbagai macam referensi pemahaman. Artinya, orang tua harus memiliki
kemampuan spiritual dan skill yang jitu untuk membentuk pemahaman karakter
anak, mengapa dia harus jujur, mengapa dia harus bertanggung jawab, mengapa dia
harus disiplin, mengapa dia harus menghormati orang lain. Semua itu difahamkan
oleh orang tua kepada anaknya dengan berbagai metode baik yang berupa
portofolio, simulasi atau contoh langsung dari orang tua, bagaimana mereka menyikapi
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.
Allah SWT berfirman:
“Dan hendakhlah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
(QS An-Nisa: 9)
Ada beberapa hal penting yang perlu diketengahkan dalam
rangka membentuk pribadi anak yang memiliki karakter di tengah arus kebebasan
seperti sekarang ini, dimana hal utama dari yang paling utama adalah menjadi
orang tua yang memiliki pemahaman, penerapan dan budaya yang baik dalam bidang
agama dan ilmu parenting. Memiliki basic agama, ilmu dan akhlak
yang baik dari kedua belah pihak (ayah dan ibu) akan jauh lebih baik dan lebih
mudah dalam membentuk keperibadian anak. Karena jika ayah dan ibu mereka baik (saleh
atau salehah) maka anak akan sering menyaksikan bagaimana orang tua mereka
berperilaku dalam kehidupan nyata. Hal ini akan menjadi referensi penting bagi
si anak, bagaimana mereka bersikap dalam menghadapi masalah kelak ketika mereka
bersikap saat dewasa.
Ingat!, anak adalah penerus cita-cita. jangan sampai orang
tua hanya mementingkan nutrisi dan berat badan sang anak atau sandang, pangan
dan papannya saja. Karena semua itu hanya berbentuk materil. Yang akan sampai
ke akhirat, salah satunya adalah do’a anak saleh, bukan warisan perusahaan yang
bernilai milyaran.
Rasulullah SAW membagi pola pengasuhan anak menjadi 3 fase:
Usia 0-6 tahun, perlakukan anak sebagai raja
Memperlakukan
anak sebagai raja adalah bukan berbarti melaksanakan semua yang mereka
inginkan, akan tetapi, sebagaimana bila kita lihat di ruang lingkup kerajaan.
Sang raja memiliki otoritas dan hak yang utama dalam meng-eksekusi setiap ide
dan gagasan orang-orang di sekelilingnya, selama tidak bertentangan dengan
prosedur atau AD-ART yang berlaku di kerajaan tersebut, sesuai dengan kemampuan
finansial kerajaan tersebut. Selanjutnya, memperlakukan anak sebagai raja
adalah mengutamakan kepentingannya selama mendukung terhadap tumbuh kembangnya,
tidak memanjakan tanpa membatasai apa yang mereka inginkan. Perlakukan mereka sebagai
raja, sesuai kemampuan orang tua itu sendiri, tidak semua yang mereka inginkan
harus dipenuhi, karena ada kalanya manusia harus belajar untuk memenej rasa
kecewa, karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Usia 0-3
tahun
Dari
semenjak bayi, orang tua harus membiasakan berbicara baik dan fasih kepada
anak. Mendongeng dan menceritakan kisah-kisah inspiratif terutama di saat
menjelang anak tidur dan dalam kondisi alfa, terlepas dari sang bayi
mengerti atau tidak, ceritakan saja kisah itu!. Biasakan anak mendengar
kalimat-kalimat yang baik, seperti kalimat dzikir, shalawat dan bacaan quran.
Ingat! Nasihat yang paling kepada anak adalah TELADAN.
Setelah
anak mampu berjalan, berikanlah dia berbagai kesibukan yang sesuai untuk anak,
jauhkan dari pengaruh televisi. Temani dia bermain!. Beberapa orang tua
memberikan kesempatan kepada anknya untuk menonton tv, karena dengannya anak
menjadi diam dan tidak rewel. Padahal, sekalipun anak ditemani menonton tv dan
orang tua bisa menentukan program apa saja yang boleh ditonton, kenyataanya
orang tua tidak mampu memilih iklan apa saja yang tayang di sela program tv
tersebut.
Dekatkan
anak dengan aktivitas fisik indoor, seperti menyusun puzzle,
bermain play doh atau plestisin dan segudang permainan indoor
lain yang jauh lebih berguna dibandingkan dengan menonton tv atau memainkan
gadget yang semakin mendorong anak menjadi pasif.
Usia 4-6 Tahun
Di usia ini, anak sudah tumbuh menjadi sosok kritis dan
pemikir, anak akan mulai bertanya kenapa begini-kenapa begitu, di masa ini
orang tua dituntut untuk bisa memfasilitasi semua kepentingannya. Berikan
penjelasan-penjelasan logis mengenai pemahaman yang ditanamkan. Contohnya, anak
sering kali bertanya. Bunda, katanya Allah itu ada, tapi kenapa kita tidak bisa
melihat Allah? Maka orang tua harus menjawab dengan logis, lebih baik jika
dengan eksperimen shingga membuat anak jauh lebih faham. Jauhkan anak dari penjelasan-penjelasan
abstrak dan sastra. Kita bisa menjawab pertanyaan anak tadi dengan
bereksperimen mencampurkan beberapa sendok gula pasir ke dalam air panas yang
kita simpan di dalam gelas bening yangmemungkinkan terlihat oleh anak. Kita
aduk sampai gulanya larut dan tidak ada sedikitpun yang tersisa, kemudian
giliran kita bertanya kepada anak. Kemana gulanya? Anak biasanya akan menjawab,
“sudah tercampur dengan air”, kemudian kita bisa Tanya lagi. Jadi gulanya ada
atau tidak? Mereka bisa menjawab “tidak”, kemudian kita bisa minumkan air
hangat itu ke anak kita dan tanyakan, apa rasanya? Mereka akan menjawab
“manis”, jadi gulanya hilang?, mereka akan menjawab “tidak, gulanya tidak
hilang, tapi tidak ada, tapi terasa” dan sejumlah pendapat mereka. Setelah itu
baru kita jelaskan, sesuatu yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada,
seperti gula ini. Gulanya memang sudah tidak terlihat tapi masih terasa. Sama
halnya dengan Allah, Allah juga tidak terlihat oleh mata kita, tapi perannya
terasa. Terakhir, kita bisa bertanya kepada anak kita, kamu yakin kalau Allah
ada?, maka 100 % saya jamin anak akan menjawab “yah ADA”.
Contoh diatas hanya merupakan satu dari ribuan simulasi kecil
yang bisa kita gunakan untuk memahamkan anak. Anak di usia 4-6 tahun harus memiliki
berbagai macam aktivitas yang langsung terkoneksi dengan alam, hal ini akan
membuat mereka lebih terlatih secara kinestetik dan lebih kebal secara
imunitas. Hindari kata jangan, agar rasa penasaran dan antusiasnya tidak
hancur. Jika mereka berbuat kesalahan, misalkan: dengan atau tanpa sengaja
memecahkan gelas atau menumpahkan air, maka kita tidak usah memarahi mereka,
karena hal ini akan membuat anak takut untuk berkata jujur. Usahakan jika
hal-hal semacam ini terjadi suasana tetap tenang, dan bagaimana jika kita ingin
menanamkan rasa tanggung jawab terhadap anak, agar dia bertanggung jawab dengan
kesalahan yang dilakukannya? Maka ajaklah anak untuk membereskannya
bersama-sama, contoh: “ooo ada gelas yang pecah yah..! gapapa, ayo kita ambil
sapu dan kresek biar kita bereskan bersama”. Dengan begitu anak akan langsung
membantu ibunya membawa sapu dan membersihkannya bersama. Dari hal ini dia akan
belajar bahwa JUJUR itu bukan hal yang menakutkan, jika bersikap jujur,
maka akan diindungi oleh orang-orang di sekelilingnya.
Disamping itu, beruntunglah kita sebagai orang Indonesia,
yang memiliki ribuan permainan tradisional untuk anak, ajaklah anak kita untuk
bermain permainan tradisional, bukan hanya sesekali, kalau bisa sesering
mungkin. Karena permainan tradisional zaman dulu mampu meningkatkan kecerdasan
kinstetik, logika dan kepekaan social anak. Orang tua juga dimohon untuk
senantiasa menjelaskan makna filosofi yang terkandung dalam permainan itu.
Sebagai contoh, anak kita ajak untuk bermain paciwit-ciwit lutung. Dalam
permainan ini, posisi tangan anak akan dicubit oleh kita, dan tangan kita pun
akan dicubit oleh tangannya, dan seterusnya intinya adalah saling mencubit.
Kita bisa menjelaskan kepada anak, bahwa jika kita menyakiti orang lain, maka
akan ada orang lain juga yang akan menyakiti kita, dengan demikian anak
memiliki pemahaman bahwa “saya tidak boleh menyakiti orang lain”. Dan masih
segudang permainan tradisional lain yang murah meriah dan penuh manfaat yang
bisa anak mainkan, seperti congklak yang mengajarkan filosofi menabung, sondah
yang mengajarkan tentang rambu-rambu hidup dalam mencapai sebuah tujuan. Dll.
Ingat!, di usia ini perlakukan mereka seperti raja, minat dan
rasa penasarannya harus terpuaskan dengan penuh bimbingan dan arahan, karena
hal itu yang akan dijadikan referensi berfikir mereka. Jika referensi berfikir
mereka adalah iklan atau sinetron, maka mereka akan bersikap seperti dalam
sinetron.
Berkata baik, memberi teladan yang baik, dan membentuk budaya
yang baik pasti akan butuh waktu yang panjang, bukan sehari-dua hari,
sebulan-dua bulan tapi bertahun-tahun. Bersabar dalam menanamkan budaya baik
terhadap anak tentu akan jauh lebih berdampak, seperti mengajarkan mereka
shalat bersama, mengaji bersama, bercerita bersama sampai toilet training.
Semua itu butuh pengorbanan yang luar biasa. Selamat mencoba!
·
Usia 7-14 tahun, perlakukan sebagai tawanan perang
(Perintahkan
anak-anakmu untuk shalat . saat mereka telah berusia 7 tahun, dan pukullah
mereka jika meninggalkannya ketika mereka berusia 10 tahun, dan pisahkanlah
tempat tidur mereka) HR Abu Daud.
Di
masa ini, anak harus sudah mulai diperkenalkan dengan kedisiplinan,
kemandirian, komitmen waktu dan kesadaran. Anak di masa ini sudah dikenalkan
dengan dunia sekolah, dan mengenal system di luar rumah mereka. Anak biasanya
lebih mengikuti apa kata guru dibanding dengan apa kata orang tuanya, mereka
mulai memiliki teman dan lingkungan sendiri.
Menanamkan
disiplin pada anak bisa dimulai dengan melatih mereka untuk shalat lima waktu
dari usia TK, dan jika sudah tujuh tahun masih sulit diajak untuk shalat maka
Rasul memerintahkan kita untuk memukul. Pertanyaannya? Apakah Islam
memperbolehkan kita melakukan kekerasan terhadap anak? Jawabananya adalah TIDAK.
Rasulullah bersabda seperti hadits di atas, padahal Rasul sendiri tidak pernah
memukul anak atau cucunya. Artinya dalam hal ini, kita dibenarkan untuk marah
jika anak tetap tidak mau diperintah untuk shalat setelah diperintah
berkali-kali. Marah adalah suatu ekspresi wajar yang keluar dari tubuh manusia
manakala apa yang ada dihadapan mata tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki,
artinya orang tua diperbolehkan marah selama bertujuan baik, yang tidak
diperbolehkan adalah KASAR, apalagi sampai memukul anak bahkan bersumpah
serapah dan menyebutnya dengan sebutan yang tak pantas. Marah disini merupakan
ekspresi KETEGASAN sebagai orang tua kepada anak, sebagai pemimpin dalam
menegakan aturan rumah dengan benar. Saat ini, banyak kasus orang tua yang
memarahi anak dengan penuh kekerasan baik fisik maupun verbal, seperti memukul,
memarahi anak di depan umum, atau dengan sengaja melaporkan kejelekan anak
kepada ayah atau neneknya, seperti misalnya: ibu menelpon ayah atau nenek si
anak di depan anaknya sendiri dan bilang ditelponnya “ayah nii anak ayah nii
bandel” atau “nenek, ni neek cucunya nakal nii” dsb. Itu semua hanya akan
membuat anak menjadi semakin merasa dibully di dalam rumahnya sendiri.
Maka jangan marah, jika anak dibully di luar rumah. Karena orang tua di
rumahpun juga sudah membullynya.
Kita
dituntut untuk bersikap tegas, jika kita dari awal melarang penggunaan gadget,
maka sampai kapanpun akan tetap dilarang. Jangan karena anak nangis histeris,
kita jadi membolehkannya karena tak kuasa menyaksikan tangisan dan amarah
mereka. Jika kita memberikan gadget itu pada akhirnya, maka orang tua
menjadi tidak konsisten terhadap aturan. Tak peduli anak merengek, menangis
bahkan mengamuk sekalipun, jika dari awal aturannya tidak boleh, maka sampai
kapanpun harus TIDAK BOLEH. Dengan demikian, anak akan belajar tentang
sebuah ketetapan nilai, konsistensi hukum dan komitmen pelaksanaan hukum.
Selanjutnya
adalah menanamkan kemandirian. Sejak usia tujuh tahun anak sudah bisa diberikan
tanggung jawab harian, mingguan, bahkan mungkin bulanan. Sebagai contoh anak
dipersilahkan untuk memelihara kelinci atau kura-kura dsb, asal siap
bertanggung jawab membersihkan kandang, memberi makan dan memandikan hewan
peliharaan tersebut. Berikan anak tugas harian, seperti merapihkan tempat
tidur. Terapkan reward dan punishment kepada anak di usia ini,
misalnya dengan tidak memberi uang jajan apabila tempat tidur tidak dirapihkan,
dst. Hukum mereka jika berbuat kesalahan, misalnya di time out
(dikeluarkan dari rumah selama satu jam). Usia kelas 1-3 SD, Jika anda
berencana memberikan uang jajan kepada mereka, berikan jatah yang jelas
perharinya, misakan: Rp. 5.000,- perhari, maka anak harus cukup Rp. 5.000
sehari itu. Jangan memberi mereka uang tambahan bahkan jika mereka menangis.
Biarkan saja. Agar mereka belajar mengatur uang bukan diatur uang.
Anak
usia kelas 10 sampai 14 tahun, berikan mereka tanggung jawab yang lebih besar
di rumah misalnya, kakak bertanggung jawab mengepel lantai dan mencuci piring,
adik bertanggung jawab menyapu dst. Sekalipun anda punya pembantu di rumah,
jangan biarkan anak dibantu atau bahkan menyuruh-nyuruh pembantu, karena yang
berhak menyuruh pembantu hanya ayah dan ibu. Anak tidak ikut membayar pembantu
jadi tidak boleh menyuruh-nyuruh pembantu se-enaknya, kecuali kasus-kasus
tertentu dimana anak butuh pertolongan. Usia ini anak bisa diberikan tanggung
jawab mencucui pakainannya sendiri. Dengan demikian, kemandirian dan tanggung
jawab akan terbentuk.
Usia
ini, anak bisa diberikan uang jajan pertiga hari atau lebih bagus perminggu
supaya mereka belajar memenej keuangan. Buatlah jadwal pembelian buku atau
mainan yang disepakati oleh keluarga, misalkan: setiap tanggal lima. Upayakan
setiap sehabis magrib, seluruha anggota keluarga berkumpul, kegiatan bisa diisi
dengan mengaji bersama, kemudian dilanjutkan dengan bercerita secara bergiliran
mengenai apa yang terjadi di sekolah mereka, presentasi atau kultum dll. Sampai
dilanjutkan dengan shalat isa berjamaah dan diakhiri dengan bersalaman dan
meminta maaf satu sama lain atas kesalahan yang telah dilakukan di hari itu.
Pemaparan
di atas memang baru permukaannya saja, tapi insyaAllah bermanfaat. Ingat!
Marah boleh
|
Yang tida boleh
|
kasar
|
Lembut boleh
|
Yang tidak boleh
|
Lembek
|
Tegas boleh
|
Tapi harus
|
Tega
|
Memperlakukan
anak sebagai tawanan artinya bukan memperlakukan mereka dengan siksaan dan
makian, namun mendidik mereka bagaimana membangun kedisiplinan, komitmen,
tanggung jawab, kejujuran, transparansi dan kepercayaan satu sama lain. Hingga
puncaknya, kita baru bisa dibilang orang tua hebat, manakala anak mau
menceritakan tentang urusan pribadi mereka seperti kalau perempuan tentang
masalah menstruasi mereka atau cinta pertama mereka, atau jika itu anak
laki-laki bercerita tentang mimpi basah atau bahkan wanita yang anak itu sukai.
Jika anak sudah nyaman di dalam rumah, maka dia tidak akan mencari konsultan
lain dalam hidupnya mengenai masalah-masalah yang terjadi dalam dirinya. Saya
acungi jempol deh buat orang tua kaya gini. Neeeexxxxttttt……
Usia 15-21 tahun (sahabat)
Di usia ini anak sudah memiliki
banyak referensi berfikir dan sudah memiliki lingkungan lain yang jauh lebih
luas, mereka mulai membanding-bandingkan kondisi mereka dengan temannya yang
boleh jadi lebih kaya dan lebih cantik atau tampan, dsb. Biasanya di usia ini,
anak akan mulai menuntut orang tua untuk dibelikan ini dan itu.
Nah, dimasa inilah orang tua diharapkan
menjadi sosok sahabat bagi anak, anak harus bersahabat dengan ayah atau ibu.
Dengarkanlah keluh kesahnya, dan ajaklah mereka bicara dengan kepala dingin, mulai
dari pembicaraan ringan sampai ke arah serius. Sesekali anak lelaki mungkin
bisa di ajak kemping oleh ayahnya, supaya anaknya tahu, kalau ayah adalah sosok
yang bersahabat, berbicara dari hati-kehati (obrolan lelaki). Demikian
sebaliknya, ibu membawa anak perempuan ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi
kaum perempuan, mungkin belanja bersama, memasak bersama atau pergi bersama
dll. Dengarkanlah keinginan mereka, jika kita mampu maka mungkin bisa
memberikannya dengan syarat-syarat tertentu, namun jika tidak, maka sampaikan
permohonan maaf dan jelaskan kondisinya seperti apa. Maka saya yakin, merekapun
akan mengerti.
Anak yang memberontak dan bahkan
sampai berani mencelakai orang tuanya sendiri atau mungkin kabur dari rumah,
adalah sebuah cerminan betapa minimnya komunikasi antara orang tua dan anak,
minimnya pendekatan dan kurangnya pengertian. Hingga jangan salahkan anak, jika
mereka mencari lingkungan lain yang jauh lebih nyaman untuk mereka dibanding
rumah mereka yang hanya berisi sekumpulan orang tua yang tak mau mendengarkan
isi hati mereka. Jangan salahkan mereka jika mereka tumbuh menjadi
pemimpin-pemimpin yang korup, tidak bertanggung jawab, bos yang kejam atau
bahkan penjajah dilingkungannya, karena tanpa sadar dari kecil mereka sudah
dibiasakan disogok dengan ice cream asal jangan rewel, memerintah pembantu
se-enaknya, kabur karena tidak diberikan handphone terbaru dll.
Mendidik anak adalah sebuah
pengorbanan besar, ada sebagian orang yang mengorbankan waktu dan pikirannya di
awal dan menikmatinya dimasa anak tumbuh dewasa. Ada juga sebagian orang yang berkorban
di akhir, orang tua tipe ini meninggalkan anak saat mereka masih kecil dan
kembali pada anak saat mereka sudah dewasa dan membuat sejumlah kekacauan,
karena anak terlanjur tak faham apa arti kejujuran dan tanggung jawab.
Yaaaahhhh sama-sama melelahkan, ada yang memilih lelah di awal, ada juga yang
memilih lelah di akhir.
Catatan di sela libur akhir pekan.
Antapani (23 Oktober 2016)
Sumber rujukan:
1. Al-Quranul
Kariim
2. Al-Hadits
3. Auladi.org
4. Felix Xiau
5. Hoongcomunity.org
Sangat bermanfaat.
BalasHapusMksi ilmunya ��
Sama-sama. Semoga bermanfaat
HapusSangat bermanfaat.
BalasHapusMksi ilmunya ��