Saat duduk di bangku
sekolah dasar dulu, setiap kali ibu guru memintaku membuat karangan bahasa Indonesia
pasca libur panjang, pasti dengan sigap dan penuh keyakinan aku langsung
menuliskan sebuah judul yang sudah otomatis melekat di otaku, apalagi kalau
bukan “berlibur ke rumah nenek”. Awalnya, aku kira hanya aku yang membuat
karangan dengan judul seperti itu, tapi ternyata setelah aku tanya teman-teman
sekelasku, mereka juga membuat karangan dengan judul yang sama.
Hingga aku tumbuh dewasa
seperti sekarang ini, bahkan aku juga adalah seorang guru, ternyata semua anak
sekolah dasar sama saja, siswa sd di kampung dan di kota ternyata menulis
karangan yang sama. Hanya satu dua siswa yang menulis karangan dengan judul
atau tema berbeda, mayoritasnya ya sama saja.
Aku memang bukan guru
bahasa Indonesia, tapi aku menaruh perhatian yang cukup besar pada dunia literasi
dan menulis.
Yap, kembali ke topik. Berlibur
ke ‘rumah’ nenek. (cieeee yang abis berlibur ke rumah nenek).
Well, aku emang udah gak
punya nenek sih, nenek dari pihak ayahku, beliau sudah meninggal 40 tahun yang
lalu, bahkan sebelum beliau melihat cucunya yang cerdas dan menggemaskan ini,
hee.. sedangkan nenek dari pihak ibuku, beliau sudah meninggal 13 tahun yang
lalu, saat aku duduk di bangku SMP (buset, tua banget yah gw) wkwkwkwkwkw. Biarin.
Kan kata Sandra dewi juga, tua itu pasti, bugar itu pilihan. Lha gw?? Tua iyah,
bugar kagak. Wkwkwkwkw, huwadezig. Udah ah, bukannya do’ain almarhum-almarhumah
kakek-nenek, eeeehhh malah becanda. Ok, ok, ok, ok. Gw insaf. Serius nih, asli
gw serius.
Do’a dulu ya kakak..
“Allaahummagfirahum
warhamhum wa-‘aafihii wa’fu anhum wa-akrim nuzulahum wa wassi’madkhalahum”
Aaamiiinn.
Yap. Akhir desember 2016
kemarin, akhirnya saya memutuskan untuk mudik saja ke kampuang halaman tercinta,
nun jauh di mato yang bernama Rongga, Cililin, Bandung Barat. Jarak tempuh 3
jam dengan menggunakan motor dari kota Bandung dengan kecepatan rata-rata 50-60
km/jam. Keputusan mudik itu saya ambil mengingat sudah pusingnya saya dengan
aktivitas kerja dan hiruk-pikuk perkotaan, panas dan macet sudah tak sanggup
lagi saya rasakan di tanggal 30 Desember waktu itu.
Pagi buta, tepat pukul
06.00 Waktu Indonesia Bandung, kuda besi itupun aku pacu, dengan membawa
perlengkapan mudik secukupnya dan sedikit oleh-oleh untuk orang tua tercinta. Alhamdulillah
sampai rumah dengan selamat tepat pukul 10 (karena gw berenti dulu di tukang
seblak) heee.
Sampai rumah, semuanya
normal, tak ada yang aneh, ibu dan bapakku menyambut, tersenyum ramah seperti
biasa, begitu juga dengan keponakan-keponakanku, 7 kurcaci yang membongkar
barang bawaanku dengan brutal dan penuh persaingan.
Malam tahun baru di rumah,
hmmmmmm, dingin, sepi dan damai, seperti yang sudah aku prediksikan. Tidur lelap
dan bangun di subuh hari. Ibu dan bapakku menjalankan rutinitas paginya,
setelah mereka bangun di sepertiga malam, shalat subuh (bapak ke masjid),
mengaji dan langsung menyalakan radio tepat pukul lima pagi, Ust. Shaimun
di radio RRI Bandung sudah menjadi ustad
pilihan bapak-ibuku sejak 12 tahun terakhir. Mereka berdua dengan khusu
mendengarkan cermaha ustadz, ibu sambil masak nasi dan bapakku sambil duduk
manis di depan tungku legendaris yang telah sangat berjasa membesarkan kami
dengan masakan-masakannya.
Saat itulah, seketika
bapaku melayangkan pandangannya ke arahku dan mengatakan. Hari ini bapak mau
memindahkan maqam (kuburan) nenekmu, kalau kamu mau ikut, hayu siap-siap, bapak
sudah bayar orang untuk gali maqamnya, karena maqam nenekmu itu posisinya ada
di pemakaman sebelah bawah, dulu aman, tapi sekarang jalan semakin melebar,
jadi kita harus memindahkannya. Akupun mengaanggunk dengan penuh antusias,
se-umur hidup aku tak pernah punya pengalaman memindahkan kuburan, apalagi ini
nenekku, nenek yang belum pernah ku temui.
Bapakku menjelaskan, bahwa
maqam ibunya itu sudah 40 tahun, kemungkinan maqamnya juga sudah tidak ada
apa-apa lagi, tapi bapak persiapan saja, bapak bawa kain kafan 1 meter, hawatir
masih ada tulang-tulang yang harus dipindahkan. Akupun mengangguk tanda setuju.
Dari belakang, ku ikuti
langkah kaki bapakku dengan seksama, tak lupa 5 kurcacipun ingin turut serta
menjadi saksi sejarah pemindahan maqam ini, awalnya khawatir sih bawa mereka,
tapi apa boleh buat, daripada nangis dan riweuh, yowis- bawa saja!
Sampai di pemakaman,
ternyata tukang gali kubur sudah selesai menggali kubur nenekku, dan hasilnya
mencengangkan. Tulang belulang neneku masih utuh dari ujung kaki sampai kepala,
bahkan kain kafannya tidak rusak sama sekali, hanya kotor karena tanah saja,
artinya panjang tubuh dan bentuknya masih sama. Akhirnya bapakku memutuskan
untuk kembali ke rumah lagi dan membawa kain kafan ekstra, karena yang 1 meter
tentu saja tidak akan cukup.
Saat itu aku melihat pusara nenekku untuk pertama dan
mungkin terakhir kalinya, aku tertegun dan bertanya-tanya dalam hati. Wahai
nenekku tersayang, amalan apa yang membuatmu mendapat nikmat kubur seperti ini?
Tolong ceritakan padaku, agar aku semakin taat kepada Allah. Sambil aku
bersihkan batu nisannya, aku cabut rerumputan yang tumbuh di sekitar batu nisan
itu. Dalam hati aku bergumam, terimakasih Allah kau telah menunjukan
pemandangan indah ini kehadapan mataku, terimakasih bapak, kau telah mengajakku
ke tempat yang paling anti mainstream di datangi manusia di tahun baru. Aku sangat
bersyukur dan terharu melihat semua itu.
Sejenak lamunanku terpecah
saat bapakku datang, tergopoh-gopoh membawa kresek hitam yang berisi 2 meter
kain kafan. Kamipun langusng membentangkannya dan mengangkat jasad almarhumah
neneku dengan sangat hati-hati dan kamipun letakkan di atas kain kafan yang
baru, kemudian setelah diikat dikedua sisi, jasad nenekupun dipindahkan ke
pusaranya yang baru, dan dikebumikan lagi.
Prsoses pemakaman selesai,
akupun terus tenggelam dalam bayangan seperti apakah gerangan siksa atau nikmat
kubur, termasuk yang manakah aku kelak. Tapi salah satu dari lima kurcacipun
ada yang menangis, dan tafakurkupun berakhir saat itu. Kamipun berjalan
beriringan menuju rumah. Sampai di rumah, kuceritakan semuanya pada ibuku tanpa
terkecuali, semua pengalaman itu sungguh luar biasa.
Yah, hari itu adalah
liburan yang paling luar biasa, liburan yang tidak hanya me-refresh jasad
karena mendapat udara segar di kampung halaman, tapi juga me-refresh ruhiyah
sebagai jiwa yang satu saat akan diambil oleh pemiliknya. Jika orang lain sibuk
dengan resolusi di awal tahun baru, maka sejatinya resolusi yang peling futuristik
dari semua resolusi adalah khusnul khatimah.
Sebuah resolusi yang
mungkin tak pernah terlintas di benak setiap para pembuat resolusi di tanggal 1
januari. Akhirnya aku menyadari, bahwa jika aku terus menua, semua itu buatku
tak masalah, aku tak takut tua, aku hanya takut, masa mudaku, usiaku dihabiskan
untuk hal tak berguna.
Well, guys.. itu cerita gw
berlibur ke ‘rumah’ nenek. All I can say, this is my best spiritual journey
ever.
Wallahu a’lam.
Bandung, 22 Januari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar