Fenomena terror, kekerasan bahkan pembunuhan terhadap ulama
kembali terulang. Sebuah fenomena sejarah yang rasanya belum hilang dalam benak
ummat Islam Indonesia. Dalam upaya menjauhkan masyarakat dari ulama, maka
dibuatlah sejumlah aksi terror yang dilancarkan oleh segelintir orang.
Jika dulu Imam Bonjol sebagai ulama di Sumatera Barat, dibuang
ke Minahasa Sulawesi Utara. Pengeran Diponegoro ulama sekaligus priyai yang
menjadi pemimpin perlawanan rakyat Jawa Tengah terhadap penjajah Belanda, pun
mengalami nasib yang sama. Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado. Tak lupa
pejuang Aceh. Seorang wanita salehah yang hanya bisa berbicara dengan dua
bahasa, yakni bahasa Aceh dan bahasa Arab ini, juga mendapatkan perlakuan yang
sama. Rupanya, penjajah dan antek-antek oeloebalangnya masih saja
ketakutan dengan seorang janda tua renta dan rabun. Atas usulan Snouck
Hurgronje, Cut Nyak Din pun dibuang hingga wafat di Sumedang. Demikian H.O.S.
Tjokroaminoto, seorang ulama sekaligus priyai Jawa kharismatik yang kemudian
dibuang ke Boven Digoel. Semua ini dilakukan penjajah Belanda dari sejak awal
abad 18 sampai awal abad 19.
Demikianlah ulama dibuang dan dijauhkan dari masyarakat. Dengan
harapan, akan tumbuh masyarakat tanpa ulama, yang tidak punya kesadaran agama,
tidak punya kesadaran berjuang dan tidak punya kesadaran akan musuh. Dengan
kondisi seperti ini, lambat-laun akan tumbuh masyarakat yang kosong
spiritualnya, terombang-ambing pemikirannya, dan mudah terprovokasi oleh
isu-isu yang tidak pernah ditabayyunkan (diklarifikasi) oleh mereka.
Masyarakat yang jauh dari ulama, hanya akan tumbuh menjadi
masyarakat yang ummy (buta) terhadap wahyu, tak tahu kewajiban dan
tujuan penciptaan diri dan alam tempat berpijaknya. Tak paham fungsi dan
perannya, sampai klimaksnya mereka tak sadar kalau mereka sedang menjadi
sasaran empuk paham-paham yang penuh dengan radikalisme yang ditunggangi iblis
dan para pengikut setianya.
Artinya, sudah bukan barang baru jika hal ini terjadi. Jika
ulama mendapat tekanan, ancaman, terror bahkan sampai pada tahap pembunuhan.
Karena ada pihak yang tidak ingin, jika masyarakat kini tengah mulai sadar
mencintai ulama, ada pihak yang tidak suka jika masyarakat saat ini merasa
butuh ilmu dari para ulama. Dibuatlah makar sedemikian rupa, agar masyarakat
Indonesia kembali dipisahkan dari ulama, dengan cara apa? Tentu dengan cara
yang sama yang dahulu pernah dilakukan. Dijauhkan dan terus dijauhkan.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan
mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah justru menyempurnakan cahaya-Nya, walau
orang-orang kafir membencinya” (As Shaf (61): 8)
Mohon untuk diingat dan dicatat. Indonesia ini lahir berkat
keringat dan darah para ulama. Karena Islam yang diyakini para ulama adalah
Islam yang paripurna, bukan Islam yang dikotomi antara syari’at dan negara.
Sosok pemimpin dalam Islam adalah bukan hanya digambarkan sebagai pewaris tahta
kerajaan semata. Tapi pemimpin dalam Islam otomatis harus memiliki kecakapan
fisik, mental dan spiritual sekaligus. Sebab itulah, tidak ada pemisahan
Muhammad sebagai pemimpin dan Muhammad sebagai rasulullah. Semuanya satu paket.
Jadi sangat wajar, jika ulama memiliki kesadaran bernegara yang benar lebih
peka daripada masyarakatnya.
Islam dalam masa kesultanan di Indonesia sejak abad 9 hingga
awal abad 17. Adalah bukti nyata, bahwa para pemimpin Islam yang diberi gelar
sultan, tidak hanya memerintah rakyat dibalik megahnya singgasana kesultanan.
Tapi mereka juga mampu menjadi teladan bagi masyarakat, mereka cakap untuk
menjadi imam shalat, menjadi panutan akhlak dan menjadi pusat komando dalam
pemerintahan.
Seorang pemimpin dalam Islam adalah pasti ulama, dan seorang
ulama tentu akan berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Telah banyak bukti
yang menunjukan ulamalah pelopor kebangkitan di Indonesia, contohnya Imam
Bonjol, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Din, H.O.S. Tjokraminoto, dll
Namun, akibat deislamisasi sejarah yang dilakukan penjajah
Belanda dan sejumlah warga priyai kooperatif. Hal ini menjadikan peran ulama
dikerdilkan, kontribusinya dihapus dan diklaim oleh tokoh lain yang dulunya
justru getol menentang persatuan negara Indonesia karena pro-penjajah. Tapi
kini, mereka dinobatkan menjadi pahlawan atau pelopor pemersatu dalam proses
terbentuknya negara ini.
Semenjak saat itulah, masyarakat dibuat luntur kepercayaannya
terhadap peran ulama. Dampaknya, hampir tidak ada yang bisa diharapkan dari
generasi yang dididik dibawah kurikulum penjajah. Ketahuilah wahai generasi
muda, ulamalah yang mati-matian berjuang menegakan berdirinya Indonesia
sehingga kedaulatannya dikenal oleh dunia. Hitunglah berapa jumlah pahlawan
nasional muslim yang ada di negeri ini. Tidakkan itu menyiratkan, bahwa hanya
dengan ulama, kepentingan rakyat bisa diakomodir. Hanya dengan ulama, cita-cita
persatuan dan kesejahteraan bangsa ini bisa tercapai.
Kini, saat masyarakat jengah dengan perilaku sejumlah
pemimpin mereka yang tidak prorakyat. Masyarakat perlahan mulai sadar dan haus
akan kebenaran, mulai rindu pada nasihat dan ajaran para ulama. Kembali, upaya
penjauhan ini dilancarkan lagi, agar “kesuksesan sejarah” mereka di masa lampau
terulang kembali. Terror dan pembunuhan mulai kembali digalakan. Dan kami ummat
Islam, sepertinya sudah kenal dengan gaya konspirasi ini.
Sungguh ketegangan ini ‘diciptakan’ untuk menggertak dan
hendak menciutkan nyali para pejuang Islam. Wahai ulama! Tabahlah, dalam
membimbing dan menuntun kami. Teguhlah dalam menyadarkan ‘singa tidur’
ini. Jangan mundur setapakpun!
Afaf Najihah
Jl. P.H.H. Mustofa No. 41 Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar