Weekend
kemarin, dengan penuh rasa rindu yang membuncah sampai ubun-ubun, akhirnya aku
pulang juga, pulang ke rumah orang-orang yang sangat kusayangi, keluargaku,
orang tuaku, kakakku, adiku dan keponakan-keponakanku yang menggemaskan.
Sesampainya
di rumah sederhana nan penuh kasih sayang itu, Mamak ku bertanya, kenapa jarang
pulang? Kaya TKW saja. Sambil tersenyum kujelaskan. Bukannya aku tak mau pulang
mak, tapi jarak dan efektivitas dana untuk pengguna angkutan umum seperti aku
sangat menyusahkan. Coba kalau ada jalan tol yang langsung tembus ke
Gununghalu, atau paling tidak, coba kalau ada kreta api yang menjangkau kampung
halaman kita, atau paling tidak, coba kalau jalan menuju Gununghalu-Rongga itu
agak bagus, atau mungkin kalau angkutan menuju rumah kita itu sedikit lebih
manusiawi? Mungkin aku tak harus berfikir lama-lama untuk pulang.
Mak,
jika liburnya hanya sehari atau dua hari, sayang kalau pulang, karena di
jalannya capek, banyak makan waktu, perjalanan Bandung-Rumah kita itu hampir 6 jam,
sama dengan perjalanan ke pedalaman Tasik-Singaparna-Mangkubumi, padahal
jelas-jelas kita masih Bandung ya mak ! yah walaupun Cuma kabupaten. Mamak ku
pun mengangguk tanda setuju.
Itulah
tadi sekelumit cerita ibu dan anak, yang terpaksa sulit bertemu karena jarak
“jauh” memisahkan, yah, jalanan off road itu telah memisahkan cinta ibu dan
anaknya. Kabupaten yang baru di mekarkan itu, menyimpan derita bagi rakyatnya,
mulai dari angkutan umum, infrastruktur, kecepatan birokrasi dan layanan publik
lainnya, terutama di daerahku.
Entah
kemana perginya janji para petinggi pemerintahan itu, apakah mungkin mereka
sudah lupa? Atau mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka, sehingga lupa
mengurus kami? Atau mereka sekarang sudah bisu? Apa perlu kutunjukan video lima
tahun silam saat mulutnya berbusa mengumbar janji? Ahh..sia-sia saja aku
bertanya seperti itu. Toh, takan terjadi apa-apa jika ku ungkapkan. Janji-janji
manis itu, kini sudah menjadi rutinitas bangsa ini setiap lima tahunan, dan
tentu saja rakyat polos di negeri ini akan percaya dengan bualan gila itu.
Kata-kata gombal yang dikemas oleh orang-orang berpendidikan itu bak hipnotis
bagi rakyat seperti kami.
Aku
heran, kemana perginya mahasiswa-mahasiswa yang menggulingkan rezim raksasa yang
bernama orde baru dulu, orator-orator kampus nan ambisius itu dulu mau mengubah
kondisi negeri yang carut-marut ini. Apa mungkin mereka sudah menjadi guru?
Arsitek? PNS? Karyawan swasta? Bupati atau mungkin presiden? Dulu mereka sangat
berjasa buat kami, dengan izin Allah, mereka membebaskan kami dari belenggu
orde baru.
Tapi
sekarang, mereka hilang. Yang ada hanya orang-orang egois di atas sana, mereka
tidak peduli pada kami, justru sopir dan kondektur mobil elev butut itu yang
lebih berjasa pada kami, mobil butut nan sesak itu telah berjasa mengantarkan
kami menjemput cita-cita kami, walaupun mobil itu sesekali ada cicaknya,
mungkin karena mobil itu sudah tua, bahkan jika hujan tiba, air hujan pun tak
segan-segan masuk ke dalam mobil reyod itu, tapi mobil itu akan terus
melaju mengantar kami menuju kota impian kami, asap hitam yang muncul dari
cerobongnya yang bernama knalpot semakin mempertegas bahwa mobil berusia tua
itu gemar memakai solar oplosan, bahan bakar yang hanya bisa di dapat di daerah
perkampungan seperti daerah kami. Aku tak peduli.
Entah
apa nama mobil off road yang sangat berjasa itu, apakah elef, elep, elev, elf
atau elv? Ah..tak ku temukan padanan kata tersebut dalam kamus bahasa
Indonesia. Hanya saja aku menemukana kata “elf” dalam kamus bahasa inggris,
kata itu berarti “JIN” ahhh pantas saja kami selalu menjadi tumbalnya. Tapi
walaupun begitu, yang jelas, kami haturkan terimakasih kepada pak Sopir dan pak
kondektur, walaupun mahal, walaupun ugal-ugalan, walaupun kami diturunkan sebelum
sampai ke terminal, tapi dalam lubuk hati kami yang paling dalam, kami
mengakui, apa jadinya kami bila tak ada kalian..(so sweet).
Ahh,
aku baru sadar kalau aku terlalu lebay. Yah, wajar saja lah, bocah ingusan yang
baru tahu makna hidup kemarin sore seperti aku, mungkin baru hanya bisa
berangan-angan, seandainya aku hidup di zaman Ummar bin Khatab, pasti aku
sangat mencintai pemimpinku, sebagaimana pemimpinku mencintaiku, sayang, itu
hanya mimpi. Ternyata aku hidup di zaman Aceng Fikri. Suatu zaman yang tidak
kalah kejam jika dibandingkan dengan zaman Byzantium Romawi.
Tapi
walaupun begitu, seandainya aku tahu nomor Hp bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian
di pucuk pemerintahan sana, ingin sekali kukirimkan sebuah short massage kepada
mereka.
“wahai
para petinggi pemerintah, tolong dengarkan kami, karena kami membayar pajak
untuk kehidupan anda”*)
Terimakasih.
*)
Short Massage di ambil dari pidato Weilin Han, Metro Highlights. 27 April 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar