Minggu, 22 Januari 2017

Berlibur ke 'rumah' nenek



Saat duduk di bangku sekolah dasar dulu, setiap kali ibu guru memintaku membuat karangan bahasa Indonesia pasca libur panjang, pasti dengan sigap dan penuh keyakinan aku langsung menuliskan sebuah judul yang sudah otomatis melekat di otaku, apalagi kalau bukan “berlibur ke rumah nenek”. Awalnya, aku kira hanya aku yang membuat karangan dengan judul seperti itu, tapi ternyata setelah aku tanya teman-teman sekelasku, mereka juga membuat karangan dengan judul yang sama. 

Hingga aku tumbuh dewasa seperti sekarang ini, bahkan aku juga adalah seorang guru, ternyata semua anak sekolah dasar sama saja, siswa sd di kampung dan di kota ternyata menulis karangan yang sama. Hanya satu dua siswa yang menulis karangan dengan judul atau tema berbeda, mayoritasnya ya sama saja.

Aku memang bukan guru bahasa Indonesia, tapi aku menaruh perhatian yang cukup besar pada dunia literasi dan menulis.

Yap, kembali ke topik. Berlibur ke ‘rumah’ nenek. (cieeee yang abis berlibur ke rumah nenek).  

Well, aku emang udah gak punya nenek sih, nenek dari pihak ayahku, beliau sudah meninggal 40 tahun yang lalu, bahkan sebelum beliau melihat cucunya yang cerdas dan menggemaskan ini, hee.. sedangkan nenek dari pihak ibuku, beliau sudah meninggal 13 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku SMP (buset, tua banget yah gw) wkwkwkwkwkw. Biarin. Kan kata Sandra dewi juga, tua itu pasti, bugar itu pilihan. Lha gw?? Tua iyah, bugar kagak. Wkwkwkwkw, huwadezig. Udah ah, bukannya do’ain almarhum-almarhumah kakek-nenek, eeeehhh malah becanda. Ok, ok, ok, ok. Gw insaf. Serius nih, asli gw serius.

Do’a dulu ya kakak..

“Allaahummagfirahum warhamhum wa-‘aafihii wa’fu anhum wa-akrim nuzulahum wa wassi’madkhalahum” Aaamiiinn.

Yap. Akhir desember 2016 kemarin, akhirnya saya memutuskan untuk mudik saja ke kampuang halaman tercinta, nun jauh di mato yang bernama Rongga, Cililin, Bandung Barat. Jarak tempuh 3 jam dengan menggunakan motor dari kota Bandung dengan kecepatan rata-rata 50-60 km/jam. Keputusan mudik itu saya ambil mengingat sudah pusingnya saya dengan aktivitas kerja dan hiruk-pikuk perkotaan, panas dan macet sudah tak sanggup lagi saya rasakan di tanggal 30 Desember waktu itu. 

Pagi buta, tepat pukul 06.00 Waktu Indonesia Bandung, kuda besi itupun aku pacu, dengan membawa perlengkapan mudik secukupnya dan sedikit oleh-oleh untuk orang tua tercinta. Alhamdulillah sampai rumah dengan selamat tepat pukul 10 (karena gw berenti dulu di tukang seblak) heee.

Sampai rumah, semuanya normal, tak ada yang aneh, ibu dan bapakku menyambut, tersenyum ramah seperti biasa, begitu juga dengan keponakan-keponakanku, 7 kurcaci yang membongkar barang bawaanku dengan brutal dan penuh persaingan.

Malam tahun baru di rumah, hmmmmmm, dingin, sepi dan damai, seperti yang sudah aku prediksikan. Tidur lelap dan bangun di subuh hari. Ibu dan bapakku menjalankan rutinitas paginya, setelah mereka bangun di sepertiga malam, shalat subuh (bapak ke masjid), mengaji dan langsung menyalakan radio tepat pukul lima pagi, Ust. Shaimun di  radio RRI Bandung sudah menjadi ustad pilihan bapak-ibuku sejak 12 tahun terakhir. Mereka berdua dengan khusu mendengarkan cermaha ustadz, ibu sambil masak nasi dan bapakku sambil duduk manis di depan tungku legendaris yang telah sangat berjasa membesarkan kami dengan masakan-masakannya.

Saat itulah, seketika bapaku melayangkan pandangannya ke arahku dan mengatakan. Hari ini bapak mau memindahkan maqam (kuburan) nenekmu, kalau kamu mau ikut, hayu siap-siap, bapak sudah bayar orang untuk gali maqamnya, karena maqam nenekmu itu posisinya ada di pemakaman sebelah bawah, dulu aman, tapi sekarang jalan semakin melebar, jadi kita harus memindahkannya. Akupun mengaanggunk dengan penuh antusias, se-umur hidup aku tak pernah punya pengalaman memindahkan kuburan, apalagi ini nenekku, nenek yang belum pernah ku temui.

Bapakku menjelaskan, bahwa maqam ibunya itu sudah 40 tahun, kemungkinan maqamnya juga sudah tidak ada apa-apa lagi, tapi bapak persiapan saja, bapak bawa kain kafan 1 meter, hawatir masih ada tulang-tulang yang harus dipindahkan. Akupun mengangguk tanda setuju.

Dari belakang, ku ikuti langkah kaki bapakku dengan seksama, tak lupa 5 kurcacipun ingin turut serta menjadi saksi sejarah pemindahan maqam ini, awalnya khawatir sih bawa mereka, tapi apa boleh buat, daripada nangis dan riweuh, yowis- bawa saja!   

Sampai di pemakaman, ternyata tukang gali kubur sudah selesai menggali kubur nenekku, dan hasilnya mencengangkan. Tulang belulang neneku masih utuh dari ujung kaki sampai kepala, bahkan kain kafannya tidak rusak sama sekali, hanya kotor karena tanah saja, artinya panjang tubuh dan bentuknya masih sama. Akhirnya bapakku memutuskan untuk kembali ke rumah lagi dan membawa kain kafan ekstra, karena yang 1 meter tentu saja tidak akan cukup. 

Saat itu aku  melihat pusara nenekku untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya, aku tertegun dan bertanya-tanya dalam hati. Wahai nenekku tersayang, amalan apa yang membuatmu mendapat nikmat kubur seperti ini? Tolong ceritakan padaku, agar aku semakin taat kepada Allah. Sambil aku bersihkan batu nisannya, aku cabut rerumputan yang tumbuh di sekitar batu nisan itu. Dalam hati aku bergumam, terimakasih Allah kau telah menunjukan pemandangan indah ini kehadapan mataku, terimakasih bapak, kau telah mengajakku ke tempat yang paling anti mainstream di datangi manusia di tahun baru. Aku sangat bersyukur dan terharu melihat semua itu. 

Sejenak lamunanku terpecah saat bapakku datang, tergopoh-gopoh membawa kresek hitam yang berisi 2 meter kain kafan. Kamipun langusng membentangkannya dan mengangkat jasad almarhumah neneku dengan sangat hati-hati dan kamipun letakkan di atas kain kafan yang baru, kemudian setelah diikat dikedua sisi, jasad nenekupun dipindahkan ke pusaranya yang baru, dan dikebumikan lagi.

Prsoses pemakaman selesai, akupun terus tenggelam dalam bayangan seperti apakah gerangan siksa atau nikmat kubur, termasuk yang manakah aku kelak. Tapi salah satu dari lima kurcacipun ada yang menangis, dan tafakurkupun berakhir saat itu. Kamipun berjalan beriringan menuju rumah. Sampai di rumah, kuceritakan semuanya pada ibuku tanpa terkecuali, semua pengalaman itu sungguh luar biasa.

Yah, hari itu adalah liburan yang paling luar biasa, liburan yang tidak hanya me-refresh jasad karena mendapat udara segar di kampung halaman, tapi juga me-refresh ruhiyah sebagai jiwa yang satu saat akan diambil oleh pemiliknya. Jika orang lain sibuk dengan resolusi di awal tahun baru, maka sejatinya resolusi yang peling futuristik dari semua resolusi adalah khusnul khatimah.

Sebuah resolusi yang mungkin tak pernah terlintas di benak setiap para pembuat resolusi di tanggal 1 januari. Akhirnya aku menyadari, bahwa jika aku terus menua, semua itu buatku tak masalah, aku tak takut tua, aku hanya takut, masa mudaku, usiaku dihabiskan untuk hal tak berguna. 

Well, guys.. itu cerita gw berlibur ke ‘rumah’ nenek. All I can say, this is my best spiritual journey ever. 

Wallahu a’lam.
Bandung, 22 Januari 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar