Minggu, 23 Oktober 2016

Knowledge is Power but Attitude is More


By the way, berbicara zaman tahun 80 an, itu adalah suatu decade dimana Indonesia belum lama pulih dari mimpi buruk panjang yang bernama perang, anak-anak memiliki hak sepenuhnya untuk menikmati masa kecil mereka, di masa itu kami bebas mengeksplor alam yang Tuhan sediakan untuk umat manusia, belum ada gedung-gedung pencakar langit, tidak ada cluster di dunia pendidikan sehingga semua orang punya hak yang sama. Kami tidak mengenal full day school, tidak ada anak SD yang pergi les, apalagi bermain gadget. Kami saat itu adalah sekumpulan anak manusia yang puas bermain dan mengeksplorasi alam pemberian Tuhan.

Aku di masa itu, selalu sibuk bermain. Setiap sepulang sekolah aku ceburkan badanku tepat ke dalam sungai bersih itu. Meskipun kedalamannya tidak sesuai dengan tinggi badanku dan teman-temanku, namun kedalaman itu tak bisa mengubah semangatku untuk bermain, sembari tak lupa mengambil beberapa kerang air tawar untuk ku mainkan di rumah. 

Pegunungan yang dipenuhi pohon-pohon besar membuat dahan-dahan kering yang diterpa angin turut berjatuhan, dahan-dahan kering itulah yang kami jadikan kayu bakar, kami semua memakai tungku untuk memasak. Kompor alami dimana sambil memasak kami juga bisa membakar singkong sebagai makanan pengantar sebelum kami makan nasi berikut sambal terasi dan juga ikan asin yang dibakar. Nyaris tanpa minyak, kata kolesterol adalah sebuah kosa kata yang tak dikenal di daerahku saat itu.

Jika musim panen padi tiba, maka kami anak-anak kecil pergi ramai-ramai menghampiri orang tua kami disawah, membawakan padi hasil panen mereka, menunggu jemuran padi itu sampai pipi kami ikut memerah dan matang, jika padi sudah kering maka disimpan di lumbung-lumbung padi rumah kami. Sampai musim menanampun tiba, semua orang berbondong-bondong membajak sawah, kami pasukan anak desa tak lupa turut meramaikan dengan berburu belut sawah sampai sore bahkan sambil hujan-hujanan. 

Sorepun datang, sambil menunggu waktu magrib tiba, kami saling mendatangi rumah satu sama lain untuk mengajak bermain bersama, segudang permainan tradisional khas sunda, pasti akan selalu kami mainkan. Dan aku rasa, permainan itu jauh lebih menarik dan mencerdaskan kami dibanding play station dan game online seperti sekarang.

Demikian masa kecil kami berlalu dengan penuh kesibukan, pagi sekolah SD, siang sekolah agama dan malam mengaji, kami sangat sibuk memuaskan diri bereksplorasi, berpetualang dengan alam, kami tidak mengenal kata les, psikologi, therapy apalagi sekolah inklusi.

Namun awal 90-an kotak ajaib itu muncul juga, kami mulai betah tinggal di rumah, menyaksikan acara-acara televisi yang menghibur dan menarik, mulailah kami mengenal ninja hatori, sailormoon, trio kwekkwek, tralala-trilili, wiro sableng, si buta dari goa hantu dan kera sakti, dll. Namun semua itu masih sejalan dengan pola permainan masa kecil kami, lagu-lagu anak, film-film anak yang semuanya semakin menambah harmonisme dunia kami sebagai bocah ingusan. Sungguh masa kecil yang sangat menyenangkan.

Sekarang, zaman sudah jauh berubah, pandangan orangtuapun sudah tak se-simpel dulu yang bisa membiarkan anak-anak bermain kapan saja. Aku berada pada masa dimana populasi anak berkebutuhan khusus (ABK) jauh berkembang pesat, aku berada pada masa dimana sekolah-sekolah inklusi tak mampu lagi menampung anak-anak korban kesibukan orang tua mereka, aku berada pada masa dimana anak tak punya ruang untuk bergerak, mereka anak-anak malang itu menghabiskan waktu sehari penuh duduk manis di dalam ruangan yang bernama full day school, dilanjutkannya les-les setelah sekolah sampai badan mereka lelah dan tak sempat shalat magrib apalagi belajar membaca AL-Quran.

Aku berada pada masa dimana anak-anak yang libur sekolah berdiam diri di rumanya, asyik bermain game dari gadget yang dibelikan oleh orang tua mereka, mereka jauh dari alam, beberapa dari mereka memiliki IQ yang tinggi namun jomplang jika dibandingkan mental dan kecerdasan social se-usia mereka yang harus mereka miliki.

Lantas apa maksud Allah menjadikan dunia ini begitu tak berpihak pada mereka anak-anak malang, tidak ada yang harus digugat dari takdir Tuhan, tidak juga ada yang salah dengan ketetapan-Nya, Tuhan sudah memberikan masalah berikut solusinya.

Dimasa ini, kita sebagai generasi muda yang pernah merasakan bagaimana indahnya menikmati masa kecil tanpa banyak ketakutan, dituntut untuk menciptakan sebuah oase kebahagiaan bagi anak-anak ditengah arus pengaruh teknologi yang membombardir kecerdasan alami mental, intelektual dan spiritual anak. 

Dimasa ini pula, kita dituntut untuk mengembalikan pola pergaulan anak-anak agar bisa sesuai dengan masa perkembangan biologis dan psikologisny. Anak-anak di masa ini, bermain di rumah sendiripun berbahaya,  terlebih jika televise terus dinyalakan, informasi beritapun sungguh sangat mengkhawatirkan, hanya sedikit muatan informasi prestasi anak negeri yang diekspos, sisanya hanya berisi informasi criminal yang semakin menginspirasi masyarakat lemah iman untuk berbuat yang serupa, tayangan-tayangan gossip dan tak lupa sinetron-sinetron khas anak muda yang penuh dengan habit berpacaran dan permusuhan yang selalu diketengahkan. Tak heran jika remaja zaman sekarang cepat tumbuh dewasa secara biologis namun jauh dari dewasa secara psikologis. 

Dibalik itu, anak-anak di masa sekarang ini jika bergaul dengan teman, justru semakin mengkhawatirkan. Tak sedikit siswa-siswi SD yang menggunakan nama binatang sebagai spasi dalam pembicaraannya, kata-kata kasar seolah terdengar lebih gaul dan bersahabat. 

Seperti buah simalakama, serba salah. Terlebih jika kedua orang tua bekerja, tidak punya back ground  pemahaman agama dan ilmu parenting yang baik, maka tunggulah kehancurannya. 

Jika dulu tahun 90-an awal kami menonton televisi berjam-jam, hal itu nyaris sedikit bahkan taka da ekses yang ditimbulkan pada diri anak, karena berita-berita di televise pada masa itu, hanya menayangkan harga beras, cabai dan bahan-bahan pokok dalam negeri jauh dari berita pembunuhan, korupsi apalagi kekerasan seksual.

Dalam Islam sendiri, manusia lahir dalam kondisi fitrah artinya memiliki potensi dan kecenderungan lebih besar untuk berbuat baik, anak jauh lebih mudah diarahkan berbuat baik dibanding orang dewasa yang sudah memiliki berbagai macam referensi pemahaman. Artinya, orang tua harus memiliki kemampuan spiritual dan skill yang jitu untuk membentuk pemahaman karakter anak, mengapa dia harus jujur, mengapa dia harus bertanggung jawab, mengapa dia harus disiplin, mengapa dia harus menghormati orang lain. Semua itu difahamkan oleh orang tua kepada anaknya dengan berbagai metode baik yang berupa portofolio, simulasi atau contoh langsung dari orang tua, bagaimana mereka menyikapi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.

Allah SWT berfirman:
“Dan hendakhlah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS An-Nisa: 9) 

Ada beberapa hal penting yang perlu diketengahkan dalam rangka membentuk pribadi anak yang memiliki karakter di tengah arus kebebasan seperti sekarang ini, dimana hal utama dari yang paling utama adalah menjadi orang tua yang memiliki pemahaman, penerapan dan budaya yang baik dalam bidang agama dan ilmu parenting. Memiliki basic agama, ilmu dan akhlak yang baik dari kedua belah pihak (ayah dan ibu) akan jauh lebih baik dan lebih mudah dalam membentuk keperibadian anak. Karena jika ayah dan ibu mereka baik (saleh atau salehah) maka anak akan sering menyaksikan bagaimana orang tua mereka berperilaku dalam kehidupan nyata. Hal ini akan menjadi referensi penting bagi si anak, bagaimana mereka bersikap dalam menghadapi masalah kelak ketika mereka bersikap saat dewasa.

Ingat!, anak adalah penerus cita-cita. jangan sampai orang tua hanya mementingkan nutrisi dan berat badan sang anak atau sandang, pangan dan papannya saja. Karena semua itu hanya berbentuk materil. Yang akan sampai ke akhirat, salah satunya adalah do’a anak saleh, bukan warisan perusahaan yang bernilai milyaran.
Rasulullah SAW membagi pola pengasuhan anak menjadi 3 fase:

Usia 0-6 tahun, perlakukan anak sebagai raja

Memperlakukan anak sebagai raja adalah bukan berbarti melaksanakan semua yang mereka inginkan, akan tetapi, sebagaimana bila kita lihat di ruang lingkup kerajaan. Sang raja memiliki otoritas dan hak yang utama dalam meng-eksekusi setiap ide dan gagasan orang-orang di sekelilingnya, selama tidak bertentangan dengan prosedur atau AD-ART yang berlaku di kerajaan tersebut, sesuai dengan kemampuan finansial kerajaan tersebut. Selanjutnya, memperlakukan anak sebagai raja adalah mengutamakan kepentingannya selama mendukung terhadap tumbuh kembangnya, tidak memanjakan tanpa membatasai apa yang mereka inginkan. Perlakukan mereka sebagai raja, sesuai kemampuan orang tua itu sendiri, tidak semua yang mereka inginkan harus dipenuhi, karena ada kalanya manusia harus belajar untuk memenej rasa kecewa, karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan.

Usia 0-3 tahun

Dari semenjak bayi, orang tua harus membiasakan berbicara baik dan fasih kepada anak. Mendongeng dan menceritakan kisah-kisah inspiratif terutama di saat menjelang anak tidur dan dalam kondisi alfa, terlepas dari sang bayi mengerti atau tidak, ceritakan saja kisah itu!. Biasakan anak mendengar kalimat-kalimat yang baik, seperti kalimat dzikir, shalawat dan bacaan quran. Ingat! Nasihat yang paling kepada anak adalah TELADAN.

Setelah anak mampu berjalan, berikanlah dia berbagai kesibukan yang sesuai untuk anak, jauhkan dari pengaruh televisi. Temani dia bermain!. Beberapa orang tua memberikan kesempatan kepada anknya untuk menonton tv, karena dengannya anak menjadi diam dan tidak rewel. Padahal, sekalipun anak ditemani menonton tv dan orang tua bisa menentukan program apa saja yang boleh ditonton, kenyataanya orang tua tidak mampu memilih iklan apa saja yang tayang di sela program tv tersebut.

Dekatkan anak dengan aktivitas fisik indoor, seperti menyusun puzzle, bermain play doh atau plestisin dan segudang permainan indoor lain yang jauh lebih berguna dibandingkan dengan menonton tv atau memainkan gadget yang semakin mendorong anak menjadi pasif.

Usia 4-6 Tahun
Di usia ini, anak sudah tumbuh menjadi sosok kritis dan pemikir, anak akan mulai bertanya kenapa begini-kenapa begitu, di masa ini orang tua dituntut untuk bisa memfasilitasi semua kepentingannya. Berikan penjelasan-penjelasan logis mengenai pemahaman yang ditanamkan. Contohnya, anak sering kali bertanya. Bunda, katanya Allah itu ada, tapi kenapa kita tidak bisa melihat Allah? Maka orang tua harus menjawab dengan logis, lebih baik jika dengan eksperimen shingga membuat anak jauh lebih faham. Jauhkan anak dari penjelasan-penjelasan abstrak dan sastra. Kita bisa menjawab pertanyaan anak tadi dengan bereksperimen mencampurkan beberapa sendok gula pasir ke dalam air panas yang kita simpan di dalam gelas bening yangmemungkinkan terlihat oleh anak. Kita aduk sampai gulanya larut dan tidak ada sedikitpun yang tersisa, kemudian giliran kita bertanya kepada anak. Kemana gulanya? Anak biasanya akan menjawab, “sudah tercampur dengan air”, kemudian kita bisa Tanya lagi. Jadi gulanya ada atau tidak? Mereka bisa menjawab “tidak”, kemudian kita bisa minumkan air hangat itu ke anak kita dan tanyakan, apa rasanya? Mereka akan menjawab “manis”, jadi gulanya hilang?, mereka akan menjawab “tidak, gulanya tidak hilang, tapi tidak ada, tapi terasa” dan sejumlah pendapat mereka. Setelah itu baru kita jelaskan, sesuatu yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada, seperti gula ini. Gulanya memang sudah tidak terlihat tapi masih terasa. Sama halnya dengan Allah, Allah juga tidak terlihat oleh mata kita, tapi perannya terasa. Terakhir, kita bisa bertanya kepada anak kita, kamu yakin kalau Allah ada?, maka 100 % saya jamin anak akan menjawab “yah ADA”.
Contoh diatas hanya merupakan satu dari ribuan simulasi kecil yang bisa kita gunakan untuk memahamkan anak. Anak di usia 4-6 tahun harus memiliki berbagai macam aktivitas yang langsung terkoneksi dengan alam, hal ini akan membuat mereka lebih terlatih secara kinestetik dan lebih kebal secara imunitas. Hindari kata jangan, agar rasa penasaran dan antusiasnya tidak hancur. Jika mereka berbuat kesalahan, misalkan: dengan atau tanpa sengaja memecahkan gelas atau menumpahkan air, maka kita tidak usah memarahi mereka, karena hal ini akan membuat anak takut untuk berkata jujur. Usahakan jika hal-hal semacam ini terjadi suasana tetap tenang, dan bagaimana jika kita ingin menanamkan rasa tanggung jawab terhadap anak, agar dia bertanggung jawab dengan kesalahan yang dilakukannya? Maka ajaklah anak untuk membereskannya bersama-sama, contoh: “ooo ada gelas yang pecah yah..! gapapa, ayo kita ambil sapu dan kresek biar kita bereskan bersama”. Dengan begitu anak akan langsung membantu ibunya membawa sapu dan membersihkannya bersama. Dari hal ini dia akan belajar bahwa JUJUR itu bukan hal yang menakutkan, jika bersikap jujur, maka akan diindungi oleh orang-orang di sekelilingnya.

Disamping itu, beruntunglah kita sebagai orang Indonesia, yang memiliki ribuan permainan tradisional untuk anak, ajaklah anak kita untuk bermain permainan tradisional, bukan hanya sesekali, kalau bisa sesering mungkin. Karena permainan tradisional zaman dulu mampu meningkatkan kecerdasan kinstetik, logika dan kepekaan social anak. Orang tua juga dimohon untuk senantiasa menjelaskan makna filosofi yang terkandung dalam permainan itu. Sebagai contoh, anak kita ajak untuk bermain paciwit-ciwit lutung. Dalam permainan ini, posisi tangan anak akan dicubit oleh kita, dan tangan kita pun akan dicubit oleh tangannya, dan seterusnya intinya adalah saling mencubit. Kita bisa menjelaskan kepada anak, bahwa jika kita menyakiti orang lain, maka akan ada orang lain juga yang akan menyakiti kita, dengan demikian anak memiliki pemahaman bahwa “saya tidak boleh menyakiti orang lain”. Dan masih segudang permainan tradisional lain yang murah meriah dan penuh manfaat yang bisa anak mainkan, seperti congklak yang mengajarkan filosofi menabung, sondah yang mengajarkan tentang rambu-rambu hidup dalam mencapai sebuah tujuan. Dll.

Ingat!, di usia ini perlakukan mereka seperti raja, minat dan rasa penasarannya harus terpuaskan dengan penuh bimbingan dan arahan, karena hal itu yang akan dijadikan referensi berfikir mereka. Jika referensi berfikir mereka adalah iklan atau sinetron, maka mereka akan bersikap seperti dalam sinetron.

Berkata baik, memberi teladan yang baik, dan membentuk budaya yang baik pasti akan butuh waktu yang panjang, bukan sehari-dua hari, sebulan-dua bulan tapi bertahun-tahun. Bersabar dalam menanamkan budaya baik terhadap anak tentu akan jauh lebih berdampak, seperti mengajarkan mereka shalat bersama, mengaji bersama, bercerita bersama sampai toilet training. Semua itu butuh pengorbanan yang luar biasa. Selamat mencoba!

·         Usia 7-14 tahun, perlakukan sebagai tawanan perang

(Perintahkan anak-anakmu untuk shalat . saat mereka telah berusia 7 tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika mereka berusia 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka) HR Abu Daud.


Di masa ini, anak harus sudah mulai diperkenalkan dengan kedisiplinan, kemandirian, komitmen waktu dan kesadaran. Anak di masa ini sudah dikenalkan dengan dunia sekolah, dan mengenal system di luar rumah mereka. Anak biasanya lebih mengikuti apa kata guru dibanding dengan apa kata orang tuanya, mereka mulai memiliki teman dan lingkungan sendiri.

Menanamkan disiplin pada anak bisa dimulai dengan melatih mereka untuk shalat lima waktu dari usia TK, dan jika sudah tujuh tahun masih sulit diajak untuk shalat maka Rasul memerintahkan kita untuk memukul. Pertanyaannya? Apakah Islam memperbolehkan kita melakukan kekerasan terhadap anak? Jawabananya adalah TIDAK. Rasulullah bersabda seperti hadits di atas, padahal Rasul sendiri tidak pernah memukul anak atau cucunya. Artinya dalam hal ini, kita dibenarkan untuk marah jika anak tetap tidak mau diperintah untuk shalat setelah diperintah berkali-kali. Marah adalah suatu ekspresi wajar yang keluar dari tubuh manusia manakala apa yang ada dihadapan mata tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki, artinya orang tua diperbolehkan marah selama bertujuan baik, yang tidak diperbolehkan adalah KASAR, apalagi sampai memukul anak bahkan bersumpah serapah dan menyebutnya dengan sebutan yang tak pantas. Marah disini merupakan ekspresi KETEGASAN sebagai orang tua kepada anak, sebagai pemimpin dalam menegakan aturan rumah dengan benar. Saat ini, banyak kasus orang tua yang memarahi anak dengan penuh kekerasan baik fisik maupun verbal, seperti memukul, memarahi anak di depan umum, atau dengan sengaja melaporkan kejelekan anak kepada ayah atau neneknya, seperti misalnya: ibu menelpon ayah atau nenek si anak di depan anaknya sendiri dan bilang ditelponnya “ayah nii anak ayah nii bandel” atau “nenek, ni neek cucunya nakal nii” dsb. Itu semua hanya akan membuat anak menjadi semakin merasa dibully di dalam rumahnya sendiri. Maka jangan marah, jika anak dibully di luar rumah. Karena orang tua di rumahpun juga sudah membullynya.

Kita dituntut untuk bersikap tegas, jika kita dari awal melarang penggunaan gadget, maka sampai kapanpun akan tetap dilarang. Jangan karena anak nangis histeris, kita jadi membolehkannya karena tak kuasa menyaksikan tangisan dan amarah mereka. Jika kita memberikan gadget itu pada akhirnya, maka orang tua menjadi tidak konsisten terhadap aturan. Tak peduli anak merengek, menangis bahkan mengamuk sekalipun, jika dari awal aturannya tidak boleh, maka sampai kapanpun harus TIDAK BOLEH. Dengan demikian, anak akan belajar tentang sebuah ketetapan nilai, konsistensi hukum dan komitmen pelaksanaan hukum.


Selanjutnya adalah menanamkan kemandirian. Sejak usia tujuh tahun anak sudah bisa diberikan tanggung jawab harian, mingguan, bahkan mungkin bulanan. Sebagai contoh anak dipersilahkan untuk memelihara kelinci atau kura-kura dsb, asal siap bertanggung jawab membersihkan kandang, memberi makan dan memandikan hewan peliharaan tersebut. Berikan anak tugas harian, seperti merapihkan tempat tidur. Terapkan reward dan punishment kepada anak di usia ini, misalnya dengan tidak memberi uang jajan apabila tempat tidur tidak dirapihkan, dst. Hukum mereka jika berbuat kesalahan, misalnya di time out (dikeluarkan dari rumah selama satu jam). Usia kelas 1-3 SD, Jika anda berencana memberikan uang jajan kepada mereka, berikan jatah yang jelas perharinya, misakan: Rp. 5.000,- perhari, maka anak harus cukup Rp. 5.000 sehari itu. Jangan memberi mereka uang tambahan bahkan jika mereka menangis. Biarkan saja. Agar mereka belajar mengatur uang bukan diatur uang.

Anak usia kelas 10 sampai 14 tahun, berikan mereka tanggung jawab yang lebih besar di rumah misalnya, kakak bertanggung jawab mengepel lantai dan mencuci piring, adik bertanggung jawab menyapu dst. Sekalipun anda punya pembantu di rumah, jangan biarkan anak dibantu atau bahkan menyuruh-nyuruh pembantu, karena yang berhak menyuruh pembantu hanya ayah dan ibu. Anak tidak ikut membayar pembantu jadi tidak boleh menyuruh-nyuruh pembantu se-enaknya, kecuali kasus-kasus tertentu dimana anak butuh pertolongan. Usia ini anak bisa diberikan tanggung jawab mencucui pakainannya sendiri. Dengan demikian, kemandirian dan tanggung jawab akan terbentuk.

Usia ini, anak bisa diberikan uang jajan pertiga hari atau lebih bagus perminggu supaya mereka belajar memenej keuangan. Buatlah jadwal pembelian buku atau mainan yang disepakati oleh keluarga, misalkan: setiap tanggal lima. Upayakan setiap sehabis magrib, seluruha anggota keluarga berkumpul, kegiatan bisa diisi dengan mengaji bersama, kemudian dilanjutkan dengan bercerita secara bergiliran mengenai apa yang terjadi di sekolah mereka, presentasi atau kultum dll. Sampai dilanjutkan dengan shalat isa berjamaah dan diakhiri dengan bersalaman dan meminta maaf satu sama lain atas kesalahan yang telah dilakukan di hari itu.

Pemaparan di atas memang baru permukaannya saja, tapi insyaAllah bermanfaat. Ingat!

Marah boleh
Yang tida boleh
kasar
Lembut boleh
Yang tidak boleh
Lembek
Tegas boleh
Tapi harus
Tega

Memperlakukan anak sebagai tawanan artinya bukan memperlakukan mereka dengan siksaan dan makian, namun mendidik mereka bagaimana membangun kedisiplinan, komitmen, tanggung jawab, kejujuran, transparansi dan kepercayaan satu sama lain. Hingga puncaknya, kita baru bisa dibilang orang tua hebat, manakala anak mau menceritakan tentang urusan pribadi mereka seperti kalau perempuan tentang masalah menstruasi mereka atau cinta pertama mereka, atau jika itu anak laki-laki bercerita tentang mimpi basah atau bahkan wanita yang anak itu sukai. Jika anak sudah nyaman di dalam rumah, maka dia tidak akan mencari konsultan lain dalam hidupnya mengenai masalah-masalah yang terjadi dalam dirinya. Saya acungi jempol deh buat orang tua kaya gini. Neeeexxxxttttt……

Usia 15-21 tahun (sahabat)
Di usia ini anak sudah memiliki banyak referensi berfikir dan sudah memiliki lingkungan lain yang jauh lebih luas, mereka mulai membanding-bandingkan kondisi mereka dengan temannya yang boleh jadi lebih kaya dan lebih cantik atau tampan, dsb. Biasanya di usia ini, anak akan mulai menuntut orang tua untuk dibelikan ini dan itu.

Nah, dimasa inilah orang tua diharapkan menjadi sosok sahabat bagi anak, anak harus bersahabat dengan ayah atau ibu. Dengarkanlah keluh kesahnya, dan ajaklah mereka bicara dengan kepala dingin, mulai dari pembicaraan ringan sampai ke arah serius. Sesekali anak lelaki mungkin bisa di ajak kemping oleh ayahnya, supaya anaknya tahu, kalau ayah adalah sosok yang bersahabat, berbicara dari hati-kehati (obrolan lelaki). Demikian sebaliknya, ibu membawa anak perempuan ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi kaum perempuan, mungkin belanja bersama, memasak bersama atau pergi bersama dll. Dengarkanlah keinginan mereka, jika kita mampu maka mungkin bisa memberikannya dengan syarat-syarat tertentu, namun jika tidak, maka sampaikan permohonan maaf dan jelaskan kondisinya seperti apa. Maka saya yakin, merekapun akan mengerti.

Anak yang memberontak dan bahkan sampai berani mencelakai orang tuanya sendiri atau mungkin kabur dari rumah, adalah sebuah cerminan betapa minimnya komunikasi antara orang tua dan anak, minimnya pendekatan dan kurangnya pengertian. Hingga jangan salahkan anak, jika mereka mencari lingkungan lain yang jauh lebih nyaman untuk mereka dibanding rumah mereka yang hanya berisi sekumpulan orang tua yang tak mau mendengarkan isi hati mereka. Jangan salahkan mereka jika mereka tumbuh menjadi pemimpin-pemimpin yang korup, tidak bertanggung jawab, bos yang kejam atau bahkan penjajah dilingkungannya, karena tanpa sadar dari kecil mereka sudah dibiasakan disogok dengan ice cream asal jangan rewel, memerintah pembantu se-enaknya, kabur karena tidak diberikan handphone terbaru dll.

Mendidik anak adalah sebuah pengorbanan besar, ada sebagian orang yang mengorbankan waktu dan pikirannya di awal dan menikmatinya dimasa anak tumbuh dewasa. Ada juga sebagian orang yang berkorban di akhir, orang tua tipe ini meninggalkan anak saat mereka masih kecil dan kembali pada anak saat mereka sudah dewasa dan membuat sejumlah kekacauan, karena anak terlanjur tak faham apa arti kejujuran dan tanggung jawab. Yaaaahhhh sama-sama melelahkan, ada yang memilih lelah di awal, ada juga yang memilih lelah di akhir.

Catatan di sela libur akhir pekan. Antapani (23 Oktober 2016)


Sumber rujukan:
1.      Al-Quranul Kariim
2.      Al-Hadits
3.      Auladi.org
4.      Felix Xiau
5.      Hoongcomunity.org


Selasa, 23 Agustus 2016

Untung Gak Jadi


Judul dari tulisan ini memang seperti tidak memiliki makna apa-apa jika dibaca sekilas, namun jika pembaca mau menyempatkan sejenak dan melanjutkan membaca artikel pendek ini, insyaAllah judul di atas akan menjadi sebuah susunan kata yang syarat makna.

Judul di atas , saya ambil dari beberapa part peristiwa hidup saya yang banyak merubah pemikiran dan pola hidup saya. Yaah, bisa dibilang lebih dewasa dan lebih siap dalam mencerna takdir Allah dalam berbagai bentuk.

Saat duduk di bangku SMA dulu, saya sangat menyukai bahasa inggris dan bercita-cita jadi guru bahasa inggris, alhasil ketika lulus dari bangku SMA, saya mengikuti SNMPTN pada jurusan pendidikan bahasa inggris, namun apa yang terjadi? Saya tidak lolos, kemudian saya lanjutkan mengikuti UM tapi hasilnya sama saja. Saat itu hati saya seperti hancur berkeping-keping, menelan pil pahit kegagalan dan penderitaan. Bahkan saya namakan tahun itu sebagai ‘amul huzn (tahun kesedihan). 

Akhirnya saya terpuruk, menggugat Tuhan yang tak kunjung menghulurkan kasih sayang-Nya kepada saya. Saya semakin marah dengan keadaan. Sampai akhirnya saya berhenti satu tahun untuk menarik diri dari dunia pencarian ilmu. 

Demi melihat teman seangkatan yang sudah memulai perkuliahan, rasanya hati ini sakit dan sampai pada titik klimaks sebuah penderitaan, hidup luntang-lantung tidak jelas dan nyaris tanpa arah. Namun hari-hari gelap itu semakin berlalu, sejenak diri ini mulai mau menanamkan motivasi dan mimpi seperti dulu lagi.

Kekecewaan itu begitu kuat, hingga di tahun selanjutnya, saya memutuskan untuk tidak bergabung di SNMPTN lagi demi mengambil jurusan yang sama. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jurusan PAI di sebuah universitas swasta di kota Bandung. Dengan hati yang hampa, kuikuti saja perkuliahan disana. Setiap hari ku jalani, aku tidak lebih dari sesosok mayat hidup yang hanya bergerak karena malu dengan diriku sendiri.

Mayat hidup itupun terus menjalani kuliahnya sampai beberapa semester, datang se-enaknya dan mengumpulkan tugas se-kena-nya. Putus asa itu sempat datang lagi, namun karena saya harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah saya pilih, akhirnya saya memilih untuk menjalani semua pengkhianatan diri itu. Hati ini terus memberontak dan berkata “ini bukan passionmu”. Tapi aaaaahhh sudahlah, Tuhan mungkin tak sedang ingin memperhatikanku. Aku mulai mati rasa dan sudah tak peduli dengan semua takdir yang selalu tak sesuai dengan keinginanku.

Hari itupun datang juga, aku lulus dan diwisuda dengan mengantongi IPK akhir sebesar 3,4. Angka yang cukup fantastis untuk sesosok mayat hidup yang kuliah dengan jiwa yang hampir mati. 

Selesai wisuda, sebagaimana terjadi dengan berjuta sarjana-sarjana lain, saya mulai menyebarkan surat lamaran kerja ke berbagai sekolah. Semua media pengiriman surat saya coba, mulai dari yang saya antar sendiri, saya titip teman, bahkan saya kirim via pos. semua itu kujalani dengan hati yang dingin, karena diri ini sudah mulai tak peduli dengan hasil karena yang penting adalah upaya.
Dan suatu hari di tengah teriknya matahari di bulan ramadhan, saat raga ini meronta karena haus yang tak kunjung dilunasi oleh perintah ruh. Ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk, sejenak kulihat hatiku bergumam, ah telpon rumah yang tak ada di phonebook, seketika ku angkat telponnya, dan terdengar suara parau dari ujung telpon sana, terdengar suara seorang perempuan yang bertanya dan meyakinkan nama dan alamatku. Ku jawab dengan penuh wibawa dan bayangan mimpi masa depan yang indah. Wanita diujung telpon itu meminta saya untuk datang ke sebuah sekolah elit yang saya bidik guna memenuhi tes mengajar PAI dan wawancara. 
Keesokan harinya saya datang, sesuai yang dijadwalkan, saya ikut micro teaching di depan sang kepala sekolah dan dilanjut dengan sejumlah test keguruan, tes psikologi dan wawancara yang semuanya berjalan mulus karena teori pendidikan semuanya masih mendidik di otak saya, terang saja karena semua materi skripsi yang belum lama disidangkan sesuai dengan topic yang dipertanyakan di tes tersebut. Sampai berakhir dengan surat kesepakatan dan perjanjian kontrak kerja mengajar di sekolah tersebut.

Sejarah barupun dimulai, saya ternyata mengajar PAI di sebuah sekolah yang menggunakan bahasa inggris sebagai pengantar. Namun beruntungnya, beberapa pelajaran seperti PAI, Bahasa Indonesia, PKN dan IPS masih menggunakan bahasa Indonesia. Walau demikian, ketika berkomunikasi di luar mengajar, guru diharuskan berkomunikasi menggunakan bahasa inggris dengan siswa. Dan hal ini cukup menjadi kabar buruk untuk saya, yang tak mampu berbicara bahasa inggris sama sekali. Namun hati ini tetap senang, karena setiap hari, saya bisa terus belajar bahasa inggris sebagai bahasa perolehan yang memudahkan saya untuk lebih cepat menyerap dan mempraktekan bahasa tersebut.

Bulan berganti tahun, sampai saya baru menyadari bahwa kemampuan bahasa inggris saya meningkat signifikan (tentu saja jauh bila dibandingkan dengan guru-guru lain yang major awalnya berbahasa inggris), bahkan saya mampu mengajar materi PAI, membuat worksheet yang semuanya saya praktekan dalam bahasa inggris. Tak terasa bertahun-tahun diri ini baru tersadar dan menangkap semua hikmah dibalik peristiwa tujuh tahun kebelakang, mungkin ini maksud Allah. Saya tidak diloloskan di jurusan pendidikan bahasa inggris dulu. Agar saya bisa jadi guru PAI yang mampu berbahsa inggris. Kemampuan yang cukup langka di jurusan kami yang mayoritas berasal dari pesantren.

Kalimat “untung gak jadi” adalah ekspresi emosi saya pribadi dalam mengungkapkan rasa terimakasih saya atas skenario Allah SWT yang telah memperjalankan saya dahulu menjadi mahasiswa PAI, jauh dari harapan dan ekspektasi saya saat itu. Namun menjadi begitu special hasilnya saat ini.

Yaah itulah hikmah, yang kadang mungkin tidak bisa kita temukan dalam kurun waktu satu atau dua bulan, satu atau dua tahun, tapi tujuh tahun. Waktu yang tidak singkat dalam sejarah hidup seorang manusia. Di luar sana, mungkin ada orang yang baru menemukan hikmah masalah dalam hidupnya setelah sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan ketika meninggal, baru anak cucunya yang menemukan manis dibalik kepahitan yang terjadi pada orang tuanya.

Hal ini juga berlaku di wilayah tempat tinggalku. Konon, zaman dulu wilayah Cililin Bandung Barat merupakan wilayah yang gersang, tanahnya merah dimana hanya alang-alang dan sereh yang bisa tumbuh di lahan kami, airpun sangat sulit didapatkan penghuni pada masa itu. Namun, ketika gunung Galunggung di Tasikmalaya meletus bulan April tahun 1982, kubah lava Galunggung yang membuntal sudah tak tahan lagi ingin memuntahkan laharnya, dimana abu vulkanik yang menyebar bak malapetaka bagi segenap wilayah Indonesia pada saat itu. Siang dan malam nyaris tak ada beda, karena sama gelapnya. Namun setelah letusan itu berakhir bulan januari 1983, tanah kami menunjukan rona berbeda, ia tampak lebih hitam dan lebih subur, sehingga aktivitas pertanianpun mulai menggeliat, tanah kami mulai bisa ditanami berbagai macam tumbuhan palawija, buah-buahan dan sayuran bisa tumbuh dimana-mana, pohon-pohon kayu mulai tumbuh menjulang tinggi dan memberikan keteduhan bagi penanamnya. Do’a sekaligus jerit tangis orang tua zaman dulu, yang hasilnya baru bisa dinikmati bertahun-tahun kemudian.

Yahh pembaca yang dirahmati Allah, itulah hikmah. Pelajaran dan berkah yang bisa kita ambil dari beberap peristiwa yang konon katanya “buruk” menurut kita, padahal TIDAK menurut Allah.
Dari pemahaman beberapa kejadian di atas, saya semakin yakin dan mulai legowo dalam menerima segala ketetapan (qudrah dan iradahnya Allah), saya tak lagi menggerutu jika hujan datang tiba-tiba saat saya sudah siap berangkat ke sebuah acara yang sudah saya rencanakan sejak jauh-jauh hari. Saya jadi lebih pasrah dengan segala ketetapan-Nya. Terserah pada-Mu ya Allah. Engkau Dzat Yang Maha Tahu.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216)
Wallahu a’lam


Antapani, 23 Agustus 2016 (22.49)