Minggu, 07 Juli 2013

Pelajaran Berharga dari Totto Chan



Hari ini adalah hari jumat, lebih tepatnya H-4 Ramadhan 1434 H, selesai sudah aku menghatamkan novel legendaris Jepang yang berjudul Totto Chan, sebuah novel yang bercerita tentang betapa pendidikan itu sangat mempengaruhi cara berfikir dan cara pandang seseorang.

Novel yang diberi judul “Totto Chan, Gadis cilik di jendela” itu telah berhasil merebut perhatianku, dua bulan yang lalu, aku melihat buku itu tergeletak di kosanku, aku cuek saja melihat buku itu, tidak ada yang special dengan buku itu, begitu pikirku. Tapi pada suatu malam, sepulang kerja aku biasanya menyalakan tv untuk menemani waktu istirahatku, malam itu ada yang berbeda, aku merasa agak sedikit bosan jika setiap malam terus menerus menonton televisi, malam itu aku putuskan untuk mengerjakan sesuatu yang lebih produktif, malam itu aku ingin sekali membaca buku, tapi masalahnya buku apa, ku lihat di lemari buku ku, sudah tak ada lagi tanda-tanda buku yang menarik untuk di baca, semuanya sudah kulahap, tapi sesaat kemudian pandanganku tertuju pada sebuah buku di sudut ruangan yang tergeletak begitu saja, mungkin punya teman se kosanku, kulihat cover buku itu sudah lusuh, berdebu, dan kertasnya sudah mulai menguning.

Kulihat judulnya, Totto Chan : The Little Girl at the Window, karena tidak ada pilihan lain, ku buka saja buku itu, ku baca halaman pertama, masih lempeng saja aku menanggapi nya, halaman kedua mulai enak dibaca, halaman ketiga aku tersihir, halaman ke empat aku excited, sampai di halaman terakhir, aku rasa aku beruntung pernah membaca buku itu, aku beruntung mengenal sosok Totto Chan yang telah dengan senang hati menceritakan Sosaku Kobayashi dan Tomoe Gakuen untuk ku.

Buku setebal 271 halaman itu, telah meninggalkan kesan yang mendalam di hatiku. Jujur saja, aku menangis membaca salah satu bagian dalam buku itu, persis ketika Totto Chan dikeluarkan di sekolah yang pertamanya, tanpa sadar air mataku pun mengalir, aku teringat masa kecilku, saat itu aku kelas 1 SD, aku tidak bisa mengerjakan soal matematika yang diberikan oleh guruku di kelas, aku tertunduk, aku sama sekali tidak bisa mengerjakannya, hanya aku dan satu temanku yang tidak bisa mngerjakannya, karenanya kami di hukum, kami berdua harus jalan bebek sambil mengelilingi bangku teman-teman sekelas kami, aku malu sekali saat itu, sangat malu, ingin sekali aku menangis, hanya tak bisa, hukuman itu telah membunuh karakterku. Sejak saat itu, aku benci guruku, aku muak belajar dengannya, aku benci matematika, bahkan sampai saat ini. Padahal sebelum kejadian itu, aku selalu semangat belajar matematika. Itulah matematika dimataku, ia tidak lebih dari imajinasi monster mengerikan yang terlalu sia-sia untuk di fikirkan.

Menurutku, seharusnya buku Totto Chan itu dijadikan bacaan wajib para guru, orang tua dan pemangku kebijakan pendidikan, dimanapun mereka berada. Agar mereka yang mengatasnamakan diri sebagai pendidik, menjadi lebih faham bagaimana menyikapi anak yang sedang berada dalam masa perkembangan. Ketidak mampuan nya dalam memahami sesuatu merupakan tanggung jawab pendidik untuk memahamkannya, bukan untuk di ejek, di tertawakan apalagi di permalukan di depan umum.

Sosok Mr. Kobayashi dalam buku itu merupakan sosok pendidik yang sungguh-sungguh memahami cara bagaimana mendidik anak, terutama cara menyikapi anak yang sedang ada dalam masa pertumbuhan. Sungguh beruntung murid-murid Tomoe. Di sekolah itu, murid-murid di perlakukan sebagai mana mestinya, mereka sangat disayangi dan dihargai, apapun kemampuannya. Tidak ada kastanisasi kecerdasan di sekolah itu, semua murid di berikan penghargaan dan ksempatan yang sama untuk menunjukan potensi diri masing-masing.

Proses belajar mengajar di sekolah itu berlangsung menyenangkan setiap hari, tidak ada tekanan, tidak ada intimidasi apalagi diskriminasi. Rasanya, ingin sekali aku menjadi bagian dari sekolah itu, sekolah yang membentuk manusia-manusia yang memiliki kwalitas dan kemampuan yang unggul di bidangnya masing-masing.

Mereka yang lulus dari Tomoe, adalah orang-orang yang sukses dan memiliki kontribusi penting bagi lingkunganya. Seperti itulah seharusnya pendidikan melahirkan generasinya, bukan menciptakan para pengangguran intelek, atau menghasilkan lulusan yang sibuk mengirim lamaran kerja setelah mereka wisuda, mendapat pekerjaan, masuk kerja jam 8 pulang jam 5, terjebak pada rutinitas, menunggu tanggal gajian, dan pensiun. Begitu seterusnya, mungkin sampai mati, pendidikan ini akan di cetak menjadi siklus diorama yang membosankan.      

Padahal hakikat pendidikan jika di tarik ke dalam sejarah Islam, merupakan sarana untuk menghantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, tidak ada dikotomi dan tidak ada kelebihan satu pelajaran atas pelajaran yang lain, semuanya penting dan memiliki fungsi masing-masing. Bisa kita bayangkan, jika dunia ini hanya penuh dengan ahli fisika, bukankah sangat serius? Atau, jika dunia ini hanya di penuhi dengan musisi, tentu dunia ini akan tampak sangat melankolis dan lebay; atau jika dunia ini hanya di penuhi oleh ustadz, rahib dan pendeta, tentu dunia ini akan tampak sangat fiktif karena kondisi pemahaman manusia yang sudah begitu melangit.

Islam sebagai agama yang sangat sempurna, memberikan arahan bagaimana kita bisa mengimbangi semua aspek kehidupan (dunia dan akhirat). Masa ke khalifahan Harun Al Rasyid, bisa dijadikan bukti atas ungulnya pendidikan Islam, keberhasilan khalifah dalam memimpin rakyatnya pada masa itu, menjadi bukti keberhasilan Islam memadukan kekuatan umatnya sehingga menjadi penguasa adi daya di dunia namun tetap konsisten kepada orientasi akhirat.

Sesungguhnya kita ummat Islam, memiliki sejarah yang jauh lebih revolusioner di banding Tomoe Gakuen, kita punya siroh nabi dan sahabat yang bisa kita pelajari kapan pun. Pola pendidikan ideal yang tercermin dalam kehidupan Rasulullah, sejatinya menjadi petunjuk berharga dalam diri setiap muslim. Bukan hanya menghafal deretan do’a berbahasa arab yang tak sedikitpun kita tidak tahu maknanya.
Aku ingin menangis, melihat ajaran Islamku diaplikasikan oleh orang lain yang bukan muslim.

Kamis, 04 Juli 2013

Memories of Al Qomariah



Aku masih ingat betul, saat itu aku masih seorang anak ingusan, polos dan natural, saat itulah pertama kalinya aku merasakan sakitnya berpisah dari orang tua, lulus sekolah dasar, aku memang dimasukn ke pondok pesantren oleh orang tua ku, dengan system asrama tentu saja, karena jarak tempuh sekolah-rumah sangat jauh.

Menjelang lulus SD, aku merengek sejadi-jadinya kepada orang tuaku, agar aku di sekolahkan di sekolah itu (Al-Qomariah), orang tuaku menyetujuinya dengan berbagai syarat dan pertimbangan. Aku senang setengah mati, sampai akhirnya hari itu pun tiba, hari dimana aku akan menjadi bagian dari sekolah itu, aku bangun di pagi buta,  bersiap-siap berangkat ke sekolah baru, sekolah SMP ku (baca-MTs), aku sudah menge-pack barang-barangku sejak hari kemarinnya, karena aku ingin segera pergi, berangkat menuju sekolah baru dan tinggal di asrama, aku ingin cepat-cepat pergi dari rumah, karena di rumah, aku seringkali bertengkar dengan kakak sulungku, kami seperti tom and jerry, jika berdekatan maka secara otomatis, akan ada keributan. Dan yang lebih mengecewakan lagi, ibuku pasti membelanya, terang aja, itu karena aku malas membantu pekerjaan rumah.

Hari itu, senin 9 Juli tahun 2001, tepat pukul 5 pagi, aku di antar oleh ayahku pergi ke sekolah baruku, kami pergi bersama teman-temanku yang lain, yang juga hendak memasuki sekolah baru itu, dan tentu saja di antar oleh orang tua masing-masing, kami ramai-ramai pergi berjalan kaki di pagi hari, jarak sekolah-rumah adalah 2 jam perjalanan dengan berjalan kaki, atau sekitar 6 km, kami semua kompak berjalan kaki, karena minim dan mahal nya angkutan, jika menggunakan ojeg, biaya yang harus di keluarkan adalah sebesar Rp. 15.000, sedangkan uang jajan ku saja hanya Rp. 3.000/minggu. Nyaris tak masuk akal, jika kami harus pergi menggunakan ojeg.

Di perjalanan, aku bahagia sekali, aku tertawa, lari kesana-kemari, sementara para orang tua, berada agak jauh di belakang, mereka asyik mengobrol, begitu juga kami, kami sibuk membayangkan kebebasan seperti apa yang akan kami dapatakan tatkala jauh dari orang tua kami, perjalanan yang sungguh menyenangkan, hamparan kebun teh yang luas, semakin membuatku bahagia, suara gemuruh air terdengar dari kejauhan, oh ternyata, kami juga melewati aliran sungai yang sangat indah, sungai Cibagong namanya, ekstrim memang, tapi penuh kenangan, sungguh pemandangan yang mahal, yang tak bisa ku beli, walau aku sudah mampu mencari uang sendiri.

Sampai di sekolah, aku masih bahagia, aku takjub melihat bangunan semegah itu, dan aku akan sekolah di gedung tersebut, hah.. sungguh masih tak dapat ku percaya, aku semakin bersemangat, aku dan temanku berlari sejadi-jadinya, ingin segera melihat dan menginjakan kaki di tempat tersebut. Rasa bahagaia bercampur bangga, itulah perasaanku saat itu, tampak PRIMITIF. mirip seperti suku pedalaman yang baru pertama kali datang ke kota. ahhh, aku tak peduli, (that’s my expensivest experience I ever had)

Dan akhirnya, aku menginjakan kakiku di tempat itu, aku langsung menemui temanku yang juga tetanggaku yang sudah lebih dulu sekolah disitu, aku menyapa mereka sambil bersalaman (baca-sun tangan), beberapa jam tak terasa, aku sangaaaaaaaaattttttttt bahagia, tapi kebahagiaan itu sayangnya tak berlangsung lama, saat itu bapak ku memanggilku, hendak pamit pulang, aku tiba-tiba terdiam, merunduk, mata ku berkaca-kaca, aku bingung, apa yang aku rasakan, bukankah aku dulu selalu ingin jauh darinya supaya aku bebas bermain sepuasnya, tanpa harus ada yang memarahiku jika aku memanjat pohon, dan tak ada yang memarahiku jika aku malas mandi. Bukankah dulu aku ingin jauh dari orang tua, kakaku dan adiku?. Tiba-tiba bapak ku memeluku, dan dia bilang, “sok nya, sakolana cing bageur, cing soleh, cing pinter”, aku masih bisa menahan air mata ku, karena aku masih bingung dengan perasaanku, lalu bapak ku pun pergi meninggalkanku, kulihat punggungnya dalam-dalam saat membelakangiku, aku mengejarnya, tapi aku mundur, dia melambaikan tangan nya, aku lari ke lantai dua mesjid, supaya aku bisa melihatnya lagi, dan aku melihatnya, dia semakin menjauh-menjauh-menjauh, semakin lama ku lihat, punggungnya membelakangiku, semakin jauh dan semakin mengecil dan hilang dari pandangan. Air mataku mengalir bak air terjun Niagara, aku lari menuju kamar mandi, karena malu jika ada orang yang melihat, aku masuk kamar mandi, dan aku menangis sejadi-jadinya.

Kebiasaan itupun berlanjut, seminggu tinggal di asrama, rasanya seperti setahun, setiap sore pulang sekolah, aku pergi ke kamar mandi dan menangis, rutinitas yang berlangsung hampir sebulan lamanya, padahal, setiap seminggu sekali, aku di perbolehkan pulang, tapi setiap minggu itu juga aku menangis, meratapi nasibku yang hanya terpisah 6 km dari orang tua ku. Subahanallah betapa cengengnya aku saat itu.

Minggu berganti bulan, bulan berganti semester, aku pun terlahir normal kembali, seperti sedia kala, kembali pada sifat aslinya, sulit di atur, boros, dan malas. Aku sering pulang sekolah sebelum  waktunya, menghabiskan uang jajan seminggu dalam waktu dua hari, tidak mengerjakan tugas, merokok, mabal dan tentu saja sering di hukum, aku tidak sedikit pun merasa bersalah, aku baik-baik saja menjalani hukuman demi hukuman, semua jenis hukuman sudah aku coba, mulai dari memungut sampah, membersihkan kamar mandi, mengepel masjid yang luasnya 100 m2 , di jemur  bersama tiang bendera di bawah terik matahari dan lain sebagainya. Aku tetap percaya diri.

Sampai akhirnya, hari itu pun tiba, hari yang mengubah paradigma berfikirku sampai saat ini, hari yang mungkin tak ada orang yang menyadarinya, kalau hari itu seorang anak manusia yang gemar menentang peraturan, berubah 1800, hari itu guru pelajaran Bahasa Inggrisku (Bpk. Dede Imam Purnama) masuk ke kelas kami, tak disangka tak di duga, tiba-tiba saja Pak. Dede menyuruh kami maju satu per satu, untuk membacakan sebuah cerita panjang berbahasa inggris, tak ada seorang pun yang bisa melakukannya, entah karena Pak. Dede sedang punya masalah, atau memang kami kelewat nakal, tiba-tiba beliau marah besar di kelas kami, beliau bilang sudah sejak seminggu yang lalu dia menugaskan tugas untuk menghafal cerita itu, tapi tak ada satu orang pun yang menyadarinya. Bahkan orang paling rajin di kelaspun, tak tahu-menahu soal tugas itu. Beliau  pun akhirnya berbaik hati memberikan kesempatan untuk menghafal cerita itu dalam waktu semalam, besok kami di tes story-telling satu per satu. 

Judul kisah itu “The Merchant and The Tiger”, cerita sepanjang 2 halaman dengan huruf times new roman dan jarak spasi 1,5 itu, harus di hafal dalam 1 malam saja, hffhhhh,, rasanya, metode menghafal tingkat dewa-pun tak akan mampu menaklukan kisah itu. Tapi, ada suatu keajaiban saat itu, berbeda dari biasanya, sepulang sekolah aku langsung pergi ke lantai 2 mesjid yangmerupakan tempat paforitku, guna menghafal kisah harimau sialan itu, aku menghafal sekuat tenaga, sampai larut malam, dan bahkan sampai aku memimpikan harimau itu, sampai aku bangun di pagi buta, masih saja cerita itu menjadi teman shalat subuhku bahkan menjadi teman sarapanku, berkat usahaku menghafal yang begitu membabi-buta, akhirnya aku pun berhasil menghafal semua kisah dahsyat itu.
Jam pelajaran bahasa inggris pun tiba, tepat pukul 10.30, pasca istirahat, kelas kami berubah menjadi tempat yang lebih menyeramkan dibanding penjara, rasanya waktu itu ruang kelas kami lebih mirip dengan ruang eksekusi mati Sadaam Husain, apalagi setelah Pak. Dede tiba, suasana kelas jauh lebih mengerikan, dan beliaupun mulai menantang kami dengan kata-kata heroiknya, “yang berani, silahkan maju lebih dulu” begitu kata-katanya. Satu orang teman ku maju, dan dia lolos, namanya Ervan Khaidir, dia legenda rangking 1 sejak kami masuk di sekolah itu, selanjutnya temanku yang kedua maju, dan dia juga berhasil lolos, namanya Pipit Fitriani, dia teman sebangku ku, dia adalah temanku yang paling rajin dan paling expert dalam membuat karya-karya fiksi dan desain, selanjutnya hitungan pun berhenti, tak ada lagi yang berani maju, yang tersisa hanya orang-orang yang pasrah membersihkan toilet dan mengepel mesjid, aku meragukan diriku sendiri, apakah aku berani menerima tantangan ini, aku berdiri perlahan dan maju, aku gemetar dan hampir tak percaya dengan apa yang aku lakukan, sang “Queen of Punishment” sedang bermimpi menghadap “King of Rule” that was Mr. Dede Imam Purnama.

Perlahan mulutku berbunyi, menceritakan kisah misterius itu, begini redaksinya “one day, a tiger was walking near a well,………………”.  baris demi baris, paragraph demi paragraph, dua halaman selesai. Dengan susah payah, ku selesaikan story telling itu, What…! I can’t belive it, what’s that???? Aku Berhasil Lolos, Subahanallah, aku pun duduk, aku tak percaya itu aku, ku rasa aku sedang dalam kondisi tidak waras, tapi itulah kenyataan nya, AKU LOLOS. Setelah aku duduk, ada satu temanku lagi yang   berhasil maju dan menyelesaikan cerita itu dengan baik, dia adalah Rizki Pratama, orang paling usil di seantero kelas, yang tidak lain adalah keponakan dari guru Geografi yang juga menjabat sebagai wali kelas kami. Setelah itu, tidak ada lagi yang berani maju ke hadapan King of Rule. Selain kami ber-empat, semua di tugaskan menuju toilet dan masjid untuk kemudian membersihkannya. Sementara kami?..Kami hanya terdiam dikelas, aku termangu dan masih tak percaya dengan semua ini.

Tiba-tiba saja, Pak. Dede keluar kelas, beliau mengumpulkan seluruh siswa-siswi SMA (baca-Aliyah) dalam satu kelas, kemudian beliau memanggil kami ber-empat dan mengajak kami masuk ke kelas itu, aku bingung, apa pula ini??. Pak. Dede tampak sangat excited, beliau meminta kami ber-empat berdiri di depan kelas itu, dan menceritakan kembali kepada kakak-kakak kelas kami, sebagaimana yang tadi kami lakukan di kelas kami. Sejenak aku berfikir, dan menatap beliau dalam-dalam, ingin sekali ku-ungkapkan “Sir, have you lost, your mind?”. Tapi, apa boleh buat, kami pun melakukannya. Beliau tampak sumeringah, saat kami bercuap-cuap menceritakan sang saudagar dan harimau sialan itu di depan kelas. Seteleh story telling selesai, kami pun di persilahkan untuk beristirahat keluar untuk melaksanakan shalat dzuhur, dan kami pun pergi menuju masjid.

Ketika hendak melaksanakan shalat dzuhur, aku bermaksud mengambil air wudlu ke tempat wudlu di masjid itu, dan.. kulihat pemandangan yang begitu menyedihkan. Disana ada teman-teman sekelasku yang sedang bercucuran keringat membersihkan toilet, aku merenug sejenak. Aku berfikir, mungkin seperti inilah orang melihatku, saat aku sedang melaksanakan hukuman ketika melakukan pelanggaran aturan sekolah, aku baru sadar, betapa menyakitkannya ada di posisi bersalah, mulai saat itu aku tidak pernah lagi ingin merasakan hukuman. Aku perlahan berubah menjadi anak rajin, nilai-nilaiku berangsur membaik, bahkan aku sempat merasakan jadi juara kelas (Rangking 1). Ternyata, enak juga jadi anak baik. Tidak usah membuang-buang waktu untuk menjalani hukuman.

Buat adik-adik kelasku, rajin-rajinlah belajar, jangan sia-siakan waktu hanya untuk hal-hal yang hanya membuang waktu dan potensimu saja. Niscaya kita akan bisa berfikir dewasa, visioner, dan semoga orng tua dan guru kita bangga dengan prestasi kita. Be delegent ! and you will save.. hehehehheeh
Thanks a lot for Mr. Dede Imam Purnama and all my teachers in my lovely school MTs dan MA Al-Qamariah. We always missing you, and proud of you. May you be shaded by His Mercy.

Oh Allah, ampunilah dosa guru-guru kami, berikan mereka keberkahan usia dan rizki, jadikanlah keluarga mereka keluarga yang bahagia, berikanlah mereka kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Amin ya robbal ‘alamiin.