Selasa, 23 Agustus 2016

Untung Gak Jadi


Judul dari tulisan ini memang seperti tidak memiliki makna apa-apa jika dibaca sekilas, namun jika pembaca mau menyempatkan sejenak dan melanjutkan membaca artikel pendek ini, insyaAllah judul di atas akan menjadi sebuah susunan kata yang syarat makna.

Judul di atas , saya ambil dari beberapa part peristiwa hidup saya yang banyak merubah pemikiran dan pola hidup saya. Yaah, bisa dibilang lebih dewasa dan lebih siap dalam mencerna takdir Allah dalam berbagai bentuk.

Saat duduk di bangku SMA dulu, saya sangat menyukai bahasa inggris dan bercita-cita jadi guru bahasa inggris, alhasil ketika lulus dari bangku SMA, saya mengikuti SNMPTN pada jurusan pendidikan bahasa inggris, namun apa yang terjadi? Saya tidak lolos, kemudian saya lanjutkan mengikuti UM tapi hasilnya sama saja. Saat itu hati saya seperti hancur berkeping-keping, menelan pil pahit kegagalan dan penderitaan. Bahkan saya namakan tahun itu sebagai ‘amul huzn (tahun kesedihan). 

Akhirnya saya terpuruk, menggugat Tuhan yang tak kunjung menghulurkan kasih sayang-Nya kepada saya. Saya semakin marah dengan keadaan. Sampai akhirnya saya berhenti satu tahun untuk menarik diri dari dunia pencarian ilmu. 

Demi melihat teman seangkatan yang sudah memulai perkuliahan, rasanya hati ini sakit dan sampai pada titik klimaks sebuah penderitaan, hidup luntang-lantung tidak jelas dan nyaris tanpa arah. Namun hari-hari gelap itu semakin berlalu, sejenak diri ini mulai mau menanamkan motivasi dan mimpi seperti dulu lagi.

Kekecewaan itu begitu kuat, hingga di tahun selanjutnya, saya memutuskan untuk tidak bergabung di SNMPTN lagi demi mengambil jurusan yang sama. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil jurusan PAI di sebuah universitas swasta di kota Bandung. Dengan hati yang hampa, kuikuti saja perkuliahan disana. Setiap hari ku jalani, aku tidak lebih dari sesosok mayat hidup yang hanya bergerak karena malu dengan diriku sendiri.

Mayat hidup itupun terus menjalani kuliahnya sampai beberapa semester, datang se-enaknya dan mengumpulkan tugas se-kena-nya. Putus asa itu sempat datang lagi, namun karena saya harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah saya pilih, akhirnya saya memilih untuk menjalani semua pengkhianatan diri itu. Hati ini terus memberontak dan berkata “ini bukan passionmu”. Tapi aaaaahhh sudahlah, Tuhan mungkin tak sedang ingin memperhatikanku. Aku mulai mati rasa dan sudah tak peduli dengan semua takdir yang selalu tak sesuai dengan keinginanku.

Hari itupun datang juga, aku lulus dan diwisuda dengan mengantongi IPK akhir sebesar 3,4. Angka yang cukup fantastis untuk sesosok mayat hidup yang kuliah dengan jiwa yang hampir mati. 

Selesai wisuda, sebagaimana terjadi dengan berjuta sarjana-sarjana lain, saya mulai menyebarkan surat lamaran kerja ke berbagai sekolah. Semua media pengiriman surat saya coba, mulai dari yang saya antar sendiri, saya titip teman, bahkan saya kirim via pos. semua itu kujalani dengan hati yang dingin, karena diri ini sudah mulai tak peduli dengan hasil karena yang penting adalah upaya.
Dan suatu hari di tengah teriknya matahari di bulan ramadhan, saat raga ini meronta karena haus yang tak kunjung dilunasi oleh perintah ruh. Ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk, sejenak kulihat hatiku bergumam, ah telpon rumah yang tak ada di phonebook, seketika ku angkat telponnya, dan terdengar suara parau dari ujung telpon sana, terdengar suara seorang perempuan yang bertanya dan meyakinkan nama dan alamatku. Ku jawab dengan penuh wibawa dan bayangan mimpi masa depan yang indah. Wanita diujung telpon itu meminta saya untuk datang ke sebuah sekolah elit yang saya bidik guna memenuhi tes mengajar PAI dan wawancara. 
Keesokan harinya saya datang, sesuai yang dijadwalkan, saya ikut micro teaching di depan sang kepala sekolah dan dilanjut dengan sejumlah test keguruan, tes psikologi dan wawancara yang semuanya berjalan mulus karena teori pendidikan semuanya masih mendidik di otak saya, terang saja karena semua materi skripsi yang belum lama disidangkan sesuai dengan topic yang dipertanyakan di tes tersebut. Sampai berakhir dengan surat kesepakatan dan perjanjian kontrak kerja mengajar di sekolah tersebut.

Sejarah barupun dimulai, saya ternyata mengajar PAI di sebuah sekolah yang menggunakan bahasa inggris sebagai pengantar. Namun beruntungnya, beberapa pelajaran seperti PAI, Bahasa Indonesia, PKN dan IPS masih menggunakan bahasa Indonesia. Walau demikian, ketika berkomunikasi di luar mengajar, guru diharuskan berkomunikasi menggunakan bahasa inggris dengan siswa. Dan hal ini cukup menjadi kabar buruk untuk saya, yang tak mampu berbicara bahasa inggris sama sekali. Namun hati ini tetap senang, karena setiap hari, saya bisa terus belajar bahasa inggris sebagai bahasa perolehan yang memudahkan saya untuk lebih cepat menyerap dan mempraktekan bahasa tersebut.

Bulan berganti tahun, sampai saya baru menyadari bahwa kemampuan bahasa inggris saya meningkat signifikan (tentu saja jauh bila dibandingkan dengan guru-guru lain yang major awalnya berbahasa inggris), bahkan saya mampu mengajar materi PAI, membuat worksheet yang semuanya saya praktekan dalam bahasa inggris. Tak terasa bertahun-tahun diri ini baru tersadar dan menangkap semua hikmah dibalik peristiwa tujuh tahun kebelakang, mungkin ini maksud Allah. Saya tidak diloloskan di jurusan pendidikan bahasa inggris dulu. Agar saya bisa jadi guru PAI yang mampu berbahsa inggris. Kemampuan yang cukup langka di jurusan kami yang mayoritas berasal dari pesantren.

Kalimat “untung gak jadi” adalah ekspresi emosi saya pribadi dalam mengungkapkan rasa terimakasih saya atas skenario Allah SWT yang telah memperjalankan saya dahulu menjadi mahasiswa PAI, jauh dari harapan dan ekspektasi saya saat itu. Namun menjadi begitu special hasilnya saat ini.

Yaah itulah hikmah, yang kadang mungkin tidak bisa kita temukan dalam kurun waktu satu atau dua bulan, satu atau dua tahun, tapi tujuh tahun. Waktu yang tidak singkat dalam sejarah hidup seorang manusia. Di luar sana, mungkin ada orang yang baru menemukan hikmah masalah dalam hidupnya setelah sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan ketika meninggal, baru anak cucunya yang menemukan manis dibalik kepahitan yang terjadi pada orang tuanya.

Hal ini juga berlaku di wilayah tempat tinggalku. Konon, zaman dulu wilayah Cililin Bandung Barat merupakan wilayah yang gersang, tanahnya merah dimana hanya alang-alang dan sereh yang bisa tumbuh di lahan kami, airpun sangat sulit didapatkan penghuni pada masa itu. Namun, ketika gunung Galunggung di Tasikmalaya meletus bulan April tahun 1982, kubah lava Galunggung yang membuntal sudah tak tahan lagi ingin memuntahkan laharnya, dimana abu vulkanik yang menyebar bak malapetaka bagi segenap wilayah Indonesia pada saat itu. Siang dan malam nyaris tak ada beda, karena sama gelapnya. Namun setelah letusan itu berakhir bulan januari 1983, tanah kami menunjukan rona berbeda, ia tampak lebih hitam dan lebih subur, sehingga aktivitas pertanianpun mulai menggeliat, tanah kami mulai bisa ditanami berbagai macam tumbuhan palawija, buah-buahan dan sayuran bisa tumbuh dimana-mana, pohon-pohon kayu mulai tumbuh menjulang tinggi dan memberikan keteduhan bagi penanamnya. Do’a sekaligus jerit tangis orang tua zaman dulu, yang hasilnya baru bisa dinikmati bertahun-tahun kemudian.

Yahh pembaca yang dirahmati Allah, itulah hikmah. Pelajaran dan berkah yang bisa kita ambil dari beberap peristiwa yang konon katanya “buruk” menurut kita, padahal TIDAK menurut Allah.
Dari pemahaman beberapa kejadian di atas, saya semakin yakin dan mulai legowo dalam menerima segala ketetapan (qudrah dan iradahnya Allah), saya tak lagi menggerutu jika hujan datang tiba-tiba saat saya sudah siap berangkat ke sebuah acara yang sudah saya rencanakan sejak jauh-jauh hari. Saya jadi lebih pasrah dengan segala ketetapan-Nya. Terserah pada-Mu ya Allah. Engkau Dzat Yang Maha Tahu.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216)
Wallahu a’lam


Antapani, 23 Agustus 2016 (22.49)