Minggu, 10 Mei 2015

You Are What You Eat



Pepatah tua Inggris mengatakan “You Are What You Eat” yang artinya kurang lebih, kamu adalah apa yang kamu makan. Mungkin pepatah ini terdengar sedikit lebay dan terlalu simple untuk dibahas. Namun bagi saya, kata-kata ini sangat tajam dan memiliki makna filososfis yang dalam.

Pepatah ini bagi saya bukan hanya kata-kata bijak untuk pola hidup sehat saja, mungkin segelintir orang hanya mentafsirkan pepatah ini dengan kondisi badan kita adalah apa yang kita konsumsi, sehat dan tidaknya kita adalah bergantung kepada apa yang kita konsumsi, dalam hal ini adalah makanan dan minuman. Tafsir ini tidak salah, hanya sayang, jika ditafsirkan terlalu sempit.

Bagi saya, pepatah ini bermakna dua sisi: pertama, yaitu menjaga asupan makanan dan minuman ke tubuh kita, tidak berlebihan dan tidak kekurangan, seperti cukup sayur, cukup buah, cukup cairan, cukup karbo dll. Bagi yang suka makanan manis, hendaknya tidak terlalu berlebihan mengkonsumsi makanan manis, begitu juga dengan mereka yang suka dengan makanan asin seperti saya. Jangan berlebihan!

Terlepas dari sahih atau dlaifnya hadits tentang berhentilah makan sebelum kenyang. Namun alasan medis begitu kuat bahwa Nabi Saw menyuruh kita membagi “space” lambung kita menjadi tiga bagian: Spertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara. Jika makanan yang kita konsumsi lebih dari sepertiga space lambung, maka akan melebihi kapasitas enzim pencerna, sehingga tidak akan mampu diserap dengan sempurna. Dan akan menyebabkan fermentasi, salah cerna dan menimbulkan gas.

Artinya, kesehatan kita akan sangat bergantung dengan apapun yang kita konsumsi. Jika kita merasa yang kita konsumsi kurang baik tapi tidak terjadi dampak apapun pada tubuh kita, hal ini mungkin saja berdampak pada efek jangka panjang tubuh kita. Ketika masih muda merasa kuat dan seperti tak terjadi apa-apa, namun saat usia mengingjak 40 tahun, semuanya mulai terasa sakit. Naudzubillah.

Sebagai muslim, tentu saja kita ingin dikaruniai Allah usia yang berkah, sehat dan kuat. Sehingga tidak ada satu macam ibadahpun yang kita lewatkan karena kita mampu melaksanakan seluruhnya. Itulah alasan Allah lebih mencintai muslim yang kuat (sehat) daripada yang lemah (sakit-sakitan).

Ketika jatuh sakitpun ada dua kemungkinan, apakah penyakit yang kita derita adalah murni pemberian ujian dari Allah, atau justru malah buah dari keteledoran kita dalam mengkonsumsi segala jenis makanan tanpa memperhitungkan kondisi tubuh. Jika penyakit yang kita derita adalah murni ujian dari Allah, maka apapun keputusan Allah itulah yang terbaik, namun jika penyakit yang kita derita adalah karena buah dari keteledoran, maka mulailah untuk memerbaiki pola hidup anda, supaya penyakit itu jauh dari kehidupan anda.

Makna kedua pepatah you are what you eat untuk saya adalah makna pesan moral dari pepatah tersebut. Tindakan dan perkataan yang keluar dari segenap tubuh kita, itulah kita sebenernya. Masih bingung? Oke, saya jelaskan lagi.

Apakah anda sering melihat orang yang senang berganti status setiap jam, meng-ekspos apa yang dia rasakan dan dia alami setiap detik. Mending kalau yang di-updatenya kata-kata motivasi atau quotes yang berguna, tapi kalau yang di update status adalah masalah pribadinya kan mulai berabe tuh.

Salah seorang kenalan saya ceritanya senang sekali meng-update kesuksesannya, dari mulai dia masuk S2 sampai dia lulus dan bekerja di sebuah kantor pemerintahan. Mungkin motifnya baik yah, untuk membagi kabar bahagia, namun tak disangka ternyata kos-kosannya kemalingan akibat update foto dia lagi makan di sebuah restoran mewah di Kota Bandung. Orang jadi tahu kali ya, kalo dia emang banyak duit dan tajir maha daya.

Kasus lain adalah berasal dari kisah seorang klien di Psikolog sekolah saya, dia bercerita bahwa ada kliennya yang dirampok kemudiann diperkosa gara-gara membuat status “home alone nih” di facebook. Mungkin jika temannya yang baik membaca status seperti itu tidak jadi masalah, tapi kalau ternyata yang membaca ststus tersebut adalah temannya yang punya niat jahat, hayoo gimana…?

Kisah-kisah di atas semoga bisa dijadikan hikmah yaa buat kita, status itu adalah perkataan kita loh teman, jadi jika kita senang mengeluh, bersumpah-serapah, meng-ekspos prestasi kita sendiri di media social (ria) itulah cerminan jiwa kita, jauh dari kebergantungan kepada Allah. Dimana letak penghambaan kita terhadap Allah, dimana Rasulnya selalu mencontohkan untuk bersikap, tawadlu dan hanya berkeluh kesah pada Allah saja.

Saya teringat nasihat A Agym yang bunyinya: “Mulutmu itu seperti teko, jika isinya air putih, maka ketika dituangkan akan keluar air putih. Dan jika isinya air kopi, maka yang dituangkan adalah air kopi”. Begitu juga dengan mulut kita, jika hati dan fikiran kita isinya baik, maka yang keluarpun adalah kata-kata dan tindakan baik, namun jika isi hati dan fikirannya buruk, maka kata-kata yang dikeluarkannyapun jauh dari nilai-nilai ketwadluan.

Rasulullah bersabda: “Jika kita bersedekah dengan tangan kanan, maka tangan kiri jangan sampai tahu”

Dari hadits di atas jelaslah, bahwa jika kita melakukan kebaikan harus disembunyikan, jangan dikatakan pada siapapun apalagi sampai diekspos di media social yang berpeluang dibaca oleh ribuan pasang mata. Terlebih lagi jika ada masalah, ada seorang istri yang menjelek-jelekan suaminya di media social. Astagfirullah.. dia menyebarkan aib suaminya kepada teman-teman media sosialnya. Rasa lega datang ketika ada yang me-like atau mengomentari dengan penuh rasa iba kepadanya, namun apakah dia sadar jika Allah tidak ingin menutupi aib seseorang yang suka menyebarkan aib orang lain.

Pergunakanlah media social dengan bijak, media social adalah alat untuk hidup bersosial, bukan untuk menjadikan kita anti social, berkeluh kesah, bersumpah serapah, meng-ekspos kesuksesan pribadi (ria) apalagi sampai menyebarkan aib orang.

Untuk itu, mari kita jaga perbuatan dan perkataan kita dengan terus menerus mengkaji ilmu Allah, mempraktekannya dan membagikannya. Jangan sampai ilmu itu hanya menjadi “koleksi otak” saja. Jadi You are what you eat adalah Apa yang kita katakan dan lakukan adalah apa yang kita fahami. Semua yang kita konsumsi harus halalan tayyiban, baik konsumsi yang masuk ke perut apalagi konsumsi yang masuk ke pikiran kita. Sehingga berbuah menjadi kata dan aksi positif.

Dunia maya atau dunia nyata, kita tetaplah kita, yang suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban atas umur kita.

“Rabbanaa dzalamnaa angfusanaa wainlam tagfirlanaa watarhamnaa lankuunanna minal khaasiriin”

Antapani. 10 Mei 2015