Selasa, 28 April 2015

Metamorfosa



                Aku adalah seorang yang memiliki banyak karakter buruk, dulu mungkin karakter buruk itu hanya bibit, namun semua menjadi tumbuh subur seiring dengan budaya jahiliyah disekitarku yang membiarkannya berkembang biak dan beranak pinak.

                Sifat paling buruk yang melekat dalam tubuh penuh dosa ini adalah sombong, merasa hebat, merasa mandiri, dan cepat berburuk sangka kepada orang lain, hal itulah yang menjadikanku sulit untuk mendapat teman. Dan lebih parahnya, aku nyaman dengan ketidak hadiran teman dalam hidupku, tidak ada masalah bagiku jika tidak ada orang yang menemaniku, daripada banyak teman malah tambah banyak membuat dosa. Begitu alibiku.

                Aku dulu senang dengan sesuatu yang membuatku sibuk sendiri, seperti memasak, menulis, beres-beres dan mendesain di corel. Aku senang dengan semua hal itu. Aku tidak ada masalah dengan orang-orang, tapi orang-oranglah yang punya masalah denganku.

                Semasa SMA-ku dulu, aku tidak memiliki begitu banyak sahabat, mungkin mereka malas berteman denganku karena aku yang terlalu perfeksionis, dan sekali lagi. AKU TIDAK PEDULI. Apalagi saat itu prestasi akdemiku melejit bahkan sampai rangking satu di sekolah.

                Begitu aku menginjak bangku kuliah, budaya itu masih saja melekat dihidupku. Banyak orang yang tidak menyukaiku, semakin banyak dan semakin banyak. Teman sekelas, teman kosan, bahkan sampai kakak tingkat, mereka semua membenciku.

                Suatu ketika aku pernah memiliki teman sekosan yang sangat jorok, Dia menaruh handuk bekas pakai di mana saja, menyimpan gayung di lantai kamar mandi, menumpuk cucian, malas cuci piring, dsb. Sementara aku adalah orang yang harus serba perfect. Tak jarang kami sering bentrok, dari mulai beradu mulut sampai perang dinginpun pernah kami rasakan, hingga akhirnya kuliah kami lulus dan kami terpisah. Namun, Allah Yang Maha Pengampun menyadarkanku, betapa buruk sifatku. Tuhan, aku lelah dengan sifatku.

                Bertahun-tahun belajar Islam, mungkin hanya sampai di otak dan mulutku, tak pernah sampai ke hatiku apalagi sampai seluruh organ tubuhku untuk dilaksanakan. Ilmu agama yang se-abreg hanyalah koleksi otak semata.

                Perlahan, akupun mulai sering berdoa kepada Allah dalam sujudku, suapaya Allah Ar-Rahiim menganugrahkan aku akhlak yang baik dan lemah lembut, memiliki banyak teman dan senang bersosial. Sesekali aku bentrok dengan teman, sesekali akupun mampu menahan amarah dan mengalah.

                Aku terus-menerus berdoa kepada Allah SWT, agara Dia memberiku akhlak seindah akhlak Rasulullah. Yang senantiasa mampu menyunggingkan senyumnya dalam situasi sesulit apapun. Perlahan tapi pasti, doa itu sedikit demi sedikit terwujud.

                Akupun mulai memahami konsep ikhlas dalam berteman. Ikhlas yang aku fahami bukan hanya sekedar rela. Namun lebih dari itu, ikhlas yang kufahami adalah mampu menerima kelebihan dan kekurangan teman kita dalam keadaan senang maupun terpaksa.

                Suatu hari aku pernah kembali di anugrahi Allah teman yang tidak begitu bisa dalam memelihara kebersihan. Namun apa yang terjadi? Tidak ada lagi bentrokan, aku tidak lagi mengambil pusing kondisi. Aku akan membersihkannya jika aku mau, dan jika aku tidak mau maka aku diam saja, tidak ada perang mulut, apalagi perang dingin.

                Semakin bertambah usia, aku semakin memahami bahwa fungsi senyum itu sangat penting, aku pun mulai terbuka dengan teman-teman baruku, mereka nyaman denganku dan akupun nyaman bersama mereka.

Sahabat..

Terimalah kekurangan teman kita dengan penuh rasa keimanan, jika kita mampu untuk merubah sifat jelek teman kita, maka rubahlah dengan cara yang makruf, lengkapi kekurangannya dengan kelebihan yang ada pada kita. Namun jika tidak, janganlah kita menggerutu dengan kekurangannya, apalagi menjauhinya. Karena semua itu dari Allah. Daripada kita terus-menerus menggerutu dengan sifat buruknya, maka focus pada keburukan sendiri itu akan seribu kali lebih baik.

Bertoleransi dengan kekurangan orang lain adalah kunci persahabatan, berkata dan berbuat halus merupakan sikap yang tak hanya disenangi oleh manusia, namun juga Allah. Senyum yang tersirat dibibirmu akan menjadi magnet persaudaraan.

Dengan berbekal pemahaman ini, akupun bisa akrab dengan semua orang. Dari mulai sahabat sekantor sampai tukang batagor depan SD sebelahpun, aku ajak ngobrol dan berkenalan. Kurasa hidupku lebih bermakna dan bersahaja. Aku bisa menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain dalam waktu 7 tahun. Waktu yang tidak singkat, namun cukup untuk memahamkan orang bodoh sepertiku mengetahui kulit dari apa yang disebut ikhlas.

Sungguh cantik cara Allah menyadarkanku dan memberiku ilmu tentang toleransi (tafahum) dalam berteman dengan sesame muslim dan seluruh manusia di bumi ini. Sungguh, kalaupun aku terlahir sebagai orang kaya raya, secerdas Zukerberg dan secantik Ann Hathway. Tidak ada sedikitpun kewenangan untuk bersikap angkuh dan merasa lebih baik dari orang lain.

“Rabbanaa dzalamnaa angfusanaa, wainlam tagfirlanaa, watarhamnaa, lanakuunanna, minal khaasiriin”

Maha Suci Allah dari Apa Yang aku sekutukan.
Berfikir melangit dan berakhlaklah membumi.
Metamorfosa hidup..
Maaf jika aku belum bisa menjadi orang baik.

Sudut kosan
Antapani, 29 April 2015