Jumat, 21 Juni 2013

Kastanisasi Kecerdasan



Manusia diciptakan memang penuh dengan keberagaman, baik sifat, warna kulit, bahkan sampai potensi yang Tuhan ciptakan untuk manusia, juga sangat beraneka ragam, ada manusia yang pandai olah raga, bermain music, menciptakan teknologi, trainer, pembisnis, dan lain sebgainya.

Semua keahlian yang telah di anugrahkan oleh Tuhan, merupakan karunia yang patut kita syukuri, tidak ada satu manusia pun yang lahir ke dunia ini tanpa dibekali anugrah Tuhan yang bernama potensi, Tuhan mungkin menciptakan manusia yang cacat secara fisik, (tuna netra, tuna grahita, tuna runggu, tuna wicara) dan sejumlah kekurngan fisik yang lainnya, namun Tuhan Yang Maha Pengasih tak pernah alpa, senantiasa menciptakan manusia dengan potensinya sekaligus, sehingga, sekalipun ada manusia cacat secara fisik, tidak berarti manusia itu tidak bisa berkarya.

Setiap orang di dunia ini, berhak mencapai titik keberhasilannya masing-masing, bergantung pada kecerdasannya masing-masing. Pakar Pendidikan, Munif Chatib mengatakan dalam bukunya Orangtuanya Manusia “Tidak ada kelebihan satu kecerdasan atas satu kecerdasan yang lain”. Itulah sebabnya kenapa manusia saling membutuhkan satu sama lain, semua kecerdasan manusia bersifat sederajat dengan kriteria masing-masing.

Dengan demikian, diperlukan suatu cara untuk mengasah potensi-potensi emas tersebut, dalam hal ini pendidikan-lah yang berfungsi sebagai sarana peradaban untuk saling mewarisi kehebatan antar generasi manusia, pendidikan sejatinya merupakan wadah yang mampu mengarahkan seseorang menjadi manusia yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing, sehingga mampu berkarya dan berkontribusi bagi bangsa. 

Namun faktanya, dunia pendidikan saat ini terutama di Indonesia, belum mampu menjadi institusi yang mampu mewadahi heterogenitas potensi manusia tersebut, sebagai contoh, siswa yang unggul dalam mata pelajaran matematika dianggap siswa yang cerdas dan mendapat penghargaan yang luar biasa di lingkungannya, sementara siswa yang unggul dalam pelajaran bahasa Indonesia atau olah raga belum tentu mendapatkan apresiasi sebesar itu. Masih ada dikotomi penghargaan terhadap bakat siswa, sehingga munculah predikat murid bodoh, murid pintar, murid biasa-biasa saja, semua klasifikasi itu muncul akibat kurangnya pemahaman hakikat perbedaan manusia itu sendiri.

Wajah dunia pendidikan di Indonesia saat ini, sibuk memberikan standar terhadap calon siswa-siswinya, terutama di lembaga-lembaga pendidikan yang konon katanya “sekolah faovorit”, hanya siswa yang memenuhi standar kognitif tertentu-lah yang berhak masuk ke sekolah tersebut. Lantas, bagaimana nasib siswa yang unggul dalam bidang afektif dan psikomotor, mereka biasanya mengambil “plan B” yaitu mengambil sekolah di kluster 2, dan seterusnya. Nyaris tidak ada “sekolah favorit” yang mau menerima siswa yang memiliki kemampuan-kemampuan tersebut. 

Sistem kasta semacam ini hanya akan menanamkan sifat diskriminasi terhadap siswa yang tidak lolos standar dan sifat merendahkan orang lain bagi siswa yang lolos standar, karena merasa diri lebih baik dibanding orang lain. Pada hakikatnya, semua manusia sama. Prinsip persamaan hak yang selama ini digembar-gemborkan, rupanya belum mampu memoles rupa pendidikan bangsa ini, karena dikotomisasi dan kastanisasi kecerdasan masih terjadi, baik dalam hal latar belakang ekonomi siswa, tingkat daya pikir siswa, bahkan sampai bakat siswa yang bahkan Tuhan pun tak pernah mendiskriminasinya.

Klasifikasi semacam ini tak berhenti sampai di saat seleksi masuk saja, ketika sudah resmi di terima di sekolah dimaksud pun, siswa-siswi ini akan di klasifikasi kembali menjadi kelas A, kelas B dan seterusnya, siswa-siswi yang menempati kelas A, biasanya lebih tertutup di banding kelas B, mereka lebih serius belajar, kompetisi yang ketat di dalam kelas, menuntut mereka belajar lebih keras di banding anak-anak se-usianya, mereka nyaris tidak punya banyak teman dan terkesan “anti social”.

Perlu adanya kesadaran dan pemahaman dari para pendidik baik pendidik di rumah maupun disekolah, untuk lebih memaknai hakikat perbedaan itu sendiri, berbeda disini berarti berbeda penyikapan, berbeda arahan dan berbeda cara (mtode pembelajaran). Pendidik hendaknya mampu mengajar siswa-siswinya sesuai gaya belajar anak didiknya, bukan sebaliknya,  murid yang harus mengikuti gaya mengajar gurunya. Perlu di fahami, bahwa siswa yang memiliki kesulitan terhadap suatu mata pelajaran, itu merupakan tugas pendidik untuk memahamkannya.

Jika prinsip persamaan hak sudah teraktualisasi dalam pribadi pendidik, maka setiap anak akan merasa bahagia dan tidak akan merasa di diskriminasi, semua orang akan merasakan keindahan hidup dan merasakan hakikat dirinya sebagai manusia. Manusia yang memiliki kelebihan,  kesemuanya merupakan anugrah Tuhan, dia tidak pernah menanam saham sedikitpun atas kelebihannya, jadi sikapi sewajarnya, dan manusia yang memiliki kekurangan, apapun itu jenis kekurangannya, dia tidak pernah me-request sedikitpun kepada Tuhan atas kekurangannya, oleh sebab itu hargailah dia semestinya, kelebihan dan kekurangan semata-mata merupakan cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia yang bersangkutan dan manusia-manusia yang ada di sekitarnya. Bukan dipandang sebagai perbedaan negative yang kelak menjadi bibit-bibit diskriminasi.

Wallahu a’lam.