HAKIKAT DAN KEGUNAAN ILMU
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas presentasi kelompok Mata
Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M. Si., dan Dr.
Muhammad Zaky, M. Pd.
Kelompok 10
Afaf Najihah
|
218004001
|
Andri Marta Sudirja
|
218004002
|
PROGRAM
PASCASARJANA
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin,
segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, atas karunia dan limpahan rahmat-Nya,
kita semua berada dalam hidayah dan lindungan-Nya. Shalawat serta salam, tetap
tercurah kepada pahlawan Islam utama yang telah membawa manusia dari kegelapan
menuju cahaya, habiibana wanabiyyana Rasulullah Muhammad Sallallahu
‘alaihi wa Sallam.
Dalam rangka mempelajari
mata kuliah Filsafat Ilmu, maka disusunlah sebuah makalah yang berjudul Hakikat
Dan Kegunaan Ilmu, sebagai sebuah media untuk memahami intisari dan urgensi
ilmu pengetahuan, agar pemakalah dan para mahasiswa jurusan Pendidikan Agama
Islam dapat lebih memahami mengenai intisari dan kebermanfaatan ilmu.
Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak keterbatasan, hanya merupakan garis
besar dan penjelasan singkat yang bisa disajikan. Untuk itu, penulis memohon
kepada Dosen Pengampu juga seluruh pembaca, untuk berkenan memberikan saran dan
kritik yang membangun dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan pada karya tulis
mendatang.
Semoga makalah ini
bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca sekalian, dan
dicatat sebagai amal saleh penulis oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bandung, 30 November 2018
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
………………………………………………………………….……..i
|
||
DAFTAR ISI
|
………………………………………………………………………………..…ii
|
||
PENDAHULUAN
|
…………………………………………………………………………..…1
|
||
A.
Latar Belakang ………………………………………………………………………..1
B.
Rumusan Masalah …………………………………………………………………… 1
C.
Tujuan Penelitian …………………………………………………………………….. 1
PEMBAHASAN
………………………………………………………………………………... 2
A.
Pengertian Hakikat dan Ilmu ………………………………………………………… 2
B.
Hakikat Ilmu …………………………………………………………………………. 3
C.
Kegunaan Ilmu ………………………………………………………………………. 6
PENUTUP …………………………………………………………………….………………...10
A.
Kesimpulan ………………………………………………………..…………………10
B.
Saran ………………………………………………………………….………………10
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..
11
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ilmu sejatinya
merupakan sebuah solusi bagi kemaslahatan hidup manusia, namun semakin
ditemukannya berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, belum juga dicapai
sebuah kemaslahatan dan kedamaian dalam kehidupan manusia. Penemuan demi
penemuan digunakan secara salah kaprah, tidak sedikit ilmuwan yang menyesali
hasil penemuannya, karena hasil pemikirannya digunakan sebagai alat pemusnah
masal. Alih-alih menciptakan solusi perdamaian. Ilmu justru menjadi bumerang
bagi manusia itu sendiri.
Ilmu pengetahuan
telah mengalami kemajuan pesat terutama pada kurun abad 20 dan 21 ini. Secara
aspek teknologis, pengetahuan mampu menciptakan kemudahan bagi manusia. Namun
secara aspek social, ilmu pengetahuan digunakan secara “disfungsi” oleh para
penggunanya, hakikatnya telah hilang dan tertutup rapat oleh sejumlah
kepentingan manusia-manusia yang serakah.
Dengan demikian,
apa sebenarnya hakikat ilmu? Dan apa kegunaan ilmu sesungguhnya? Apakah sah-sah
saja seorang ilmuwan memanfaatkan ilmu yang ditemukan sekehendak hatinya? Atau
adakah etika tertentu yang mewajibkan seorang ilmuwan memperlakukan ilmunya
dengan cara tertentu agar menciptakan kondisi tertentu? Semua pertanyaan inilah
yang melatarbelakangi penulis dalam menyusun makalah yang berjudul hakikat dan
kegunaan ilmu.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
hakikat dan ilmu dalam kajian filsafat?
2.
Bagaiman
proses pengkajian ilmu yang dibenarkan menurut filsafat?
3.
Bagaimana
kegunaan ilmu yang dibenarkan menurut filsafat?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk
mengetahui pengertian hakikat dan ilmu dalam kajian filsafat.
2.
Untuk
mengetahui proses ilmiah dalam menghasilkan sebuah disiplin keilmuan
3.
Untuk
mengetahui pemanfaatan ilmu yang dibenarkan menurut pandangan filsafat.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hakikat dan Ilmu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata hakikat
diartikan sebagai intisari, dasar, dan kenyataan yang sebenarnya atau
sesungguhnya. Hakikat harus bersifat tetap, tidak berubah dan bukan keadaan
yang sementara. Selanjutnya kata ilmu dalam KBBI diartikan sebagai
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu.
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, perkataan ilmu secara linguistic
berasal dari kata ‘ilm yakni huruf ain-lam-mim yang diambil dari
perkataan ‘alamah yang berarti tanda, petunjuk atau penunjuk yang
dengannya sesuatu atau seseorang bisa dikenal; kognisi atau label; ciri;
penunjuk; tanda. Dengan demikian, ma’lam berarti tanda jalan atau
sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang
membimbing seseorang. Sejalan dengan itu, kata ‘alam juga dapat
diartikan sebagai penunjuk jalan. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan
istilah ayah (jamak- ayat) dalam Al Quran yang secara literal
berrati ‘tanda’ merujuk pada ayat-ayat Al Quran dan fenomena alam.[1] Dengan
demikian, tidak ada pemisahan istilah dalam Islam, baik ilmu yang berasal dari
usaha aktif manusia tentang penalaran ilmiah fenomena alam semesta, maupun ilmu
yang ditawarkan Tuhan melalui malaikat dan nabi-nabi-Nya, yang dalam hal ini
manusia bersifat pasif atau sebagai penerima kebenaran ilmu tersebut yang
kemudian diyakini. Definisi ilmu dalam Islam sudah melingkupi kedua aspek
tersebut.
Definisi berbeda
tentu ditemukan dalam pandangan filsafat Barat. Terdapat dua istilah teknis
yang mewakili kata ilmu, yaitu knowledge dan science. Istilah
knowledge diperuntukan bagi bidang-bidang ilmu non-fisik seperti konsep
mental dan metafisik. Sementara istilah science diperuntukan bagi
bidang-bidang ilmu fisika atau ilmu yang terukur secara empiris. Adanya
perbedaan istilah atau lebih tepatnya pergeseran istilah dari knowledge
ke science bukan terjadi tanpa alasan, karena sains pada awalnya lebih
rendah daripada metafisik, metafisik lebih rendah daripada keimanan. Surga
lebih berarti dari pada bumi, sebab surga itu adalah tempat peristirahatan
jiwa yang mulia. Demikian salah satu
pendapat filusuf Barat bernama Plotinus.[2]
Berdasarkan penjelasan kedua arti di atas, maka kalimat hakikat
ilmu jika didefinisikan, dapat diterjemahkan sebagai intisari dari suatu
pengetahuan yang sudah didapatkan dengan sebuah metode ilmiah. Atau dalam
pandangan Islam (Islamic Worldview), hakikat ilmu dapat
didefinisikan sebagai makna sebenarnya dari tanda-tanda kekuasaan Allah.
Kata hakikat
dalam filsafat ilmu sendiri memiliki arti khusus. Hal ini dapat ditemukan dalam
sistematika filsafat yang membagi tiga teori pokok, yakni teori pengetahuan
yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan (epistemology), teori hakikat yang membicarakan
pengetahuan itu sendiri (ontology), dan terakhir teori nilai
yaitu membicarakan guna pengetahuan (axiology). [3]
Bertolak dari pandangan tersebut di atas, maka hakikat ilmu
dapat diartikan sebagai ontology, pendeknya adalah sebuah pertanyaan apa
makna sebenarnya ilmu? kemudian kajian hakikat inilah yang akan menyibak
jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan kegunaan ilmu, dapat diartikan sebagai axiology.
Kedua aspek inilah yang akan dibahas dan akan dibicarakan menurut sudut pandang
filsafat.
B. Hakikat Ilmu
Pengkajian mengenai hakikat ilmu dalam filsafat Barat muncul akibat
adanya kekangan ideology gereja yang membatasi ruang gerak para ilmuwan untuk
meneliti alam sebagaimana mestinya sebuah penelitian yang menuntut rasio, bukti
empiris dan nalar logika. Sejak terbebasnya ilmu dari dogmatisme gereja, maka
ilmu dengan leluasa mengembangkan dirinya, awalnya hanya bersifat kontemplatif
namun setelah dilakukan penerapan konsep-konsep ilmiah dan praktis lambat laun
berubah menjelma menjadi sebuah teknologi yang mampu memecahkan masalah-masalah
praktis, baik berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).[4]
Fase
terkungkungnya akal dalam pandangan filsafat Barat menuntutnya untuk membuat
pengistilahan khusus yang hingga kini dikenal dengan middle age (abad
pertengahan), atau istilah yang lebih sentiment yakni dark age (abad
kegelapan). Sementara fase terbebasnya akal dalam mengeksplorasi pengetahuan
dari dogmatisme agama diistilahkan dengan renaissance (kebangkitan
kembali). Berbeda dengan Islam yang tidak memiliki istilah penggalan-penggalan
zaman semacam itu, karena dalam Islam tidak pernah ada kekangan agama atas ilmu
pengetahuan, demikian juga tidak pernah ditemukan pergeseran istilah dalam
penyebutan ilmu. Karena agama Islam justru mendorong pemeluknya untuk
berlomba dalam memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah baik berupa objek kajian fenomena
alam (fisik) maupun yang bersifat non-fisik.[5]
Seperti terdapat pada surah Ali Imran: 191; Al Baqarah: 164, dll.
Kegunaan ilmu
dalam kajian filsafat ilmu tidak lain merupakan pengetahuan yang mempunyai
kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis.
[6]
Mengapa pragmatis? seorang pakar metafisik atau seorang matrealis, mekanistik
atau vitalistik, semuanya boleh jadi memiliki penafsiran berbeda,
selanjutnya ilmu digunakan bergantung kepada subjek ilmunya,
Berdasarkan fakta-fakta pendapat di atas, maka secara
ontologis kajian filsafat mengenai hakikat ilmu sesungguhnya adalah ilmu harus
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Maka dalam hal ini, penjelasan-penjelasan
mendalam mengenai syarat dan karakteristik ilmu itu perlu untuk dijelaskan
sumber ilmu, syarat dan karakteristik ilmu,
dan macam-macam ilmu dalam kajian filsafat.[7] Berikut
penjelasan berupa tabel untuk memudahkan pembaca dalam membandingkan.
1. Sumber Utama Ilmu
Sumber
Ilmu
|
|
Rasionalisme
|
Empirisme
|
Rasio sebagai
sumber utama ilmu. Rasio adalah berpikir. Berpikir inilah yang akan membentuk
pengetahuan. Semakin banyak manusia yang berpikir, maka manusia akan berbeda
dalam tindakannya.
Tokoh Rasionalisme:
Rene
Descartes, Spinoza, Leibzniz dan Wolff
|
Sumber
pengetahuan adalah pengalaman. Pengalaman dimaksud bisa berupapengalaman
lahiriah maupun batiniah. Pengalaman inderawi sebagai awal pengamatan dan
pengenalan intelektual, pengetahuan datang dari pengalaman karena akal
bersifat pasif saat pengetahuan itu didapat.
Tokoh
Empirisme:
Thomas
Hobbes, John Locke, David Hume dan Barkeley
|
Menurut Amsal Bakhtiar dalam Buku Pengantar Filsafat, bahwa instuisi
dan wahyu termasuk ke dalam sumber pengetahuan.
2. Syarat dan Karakteristik Ilmu
Syarat
Ilmu
|
Karakteristik
Ilmu
|
Adanya objek
yang diteliti: bisa berupa kosmologi atau biopsikososial
|
Objektif: Berdasarkan fakta objektif, dapat diamati dan bukan emosional
subjektif
|
Adanya pokok
permasalahan yang akan dikaji (focus of interest)
|
Koheren: Pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan.
|
|
Reliabel: Cara memperoleh ilmu dilakukan dengan alat ukur yang terandalkan.
|
|
Valid: produk dan cara-cara memperoleh ilmu
dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi
|
|
Memiliki
generalisasi: suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku
umum
|
|
Akurat: penarikan
kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi
|
|
Dapat
melakukan prediksi: dapat memberikan daya prediksi atas
kemungkinan-kemungkinan suatu hal
|
3. Macam-macam Jenis Ilmu
Macam-macam
jenis ilmu
|
Ilmu praktis:
Mempelajari sebab-akibat untuk diterapkan dalam alam kenyataan
|
Ilmu praktis
normative: memberi ukuran-ukuran (kriterium) dan norma-norma
|
|
Ilmu praktis
positif: (memberikan ukuran lebih khusus dari praktis normative). Membuat
sesuatu atau tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai hasil tertentu.
|
|
Ilmu
spekulatif ideografis: mengkaji kebenaran objek dalam wujud nyata dalam ruang
dan waktu terntentu
|
|
Ilmu
spekulatif nomotetis: Hukum umum atau generalisasi subtantif
|
|
Ilmu
spekulatif teoritis: memahamai kausalitas untuk memperoleh kebenaran dari
keadaan atau peristiwa tertentu.
|
Dengan demikian, maka hakikat ilmu adalah menyingkap kebenaran
fakta ilmu itu sendiri, untuk digunakan dalam kehidupan secara praktis dan
menciptakan kemudahan bagi manusia yang menggunakannya.
C. Kegunaan
Ilmu
Masalah kegunaan ilmu, jika ditinjau
dari ilmu dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu. Setidaknya ilmu harus
memiliki tiga kegunaan. Ilmu berfungsi eksplanasi, prediksi, dan fungsi kendali
atau control.
1.
Ilmu
sebagai eksplanasi
Dalam memahai
sebuah permasalahan, ilmu bisa menjelaskan secara lebih rinci dan menjelaskan
faktor-faktor penyebab dan penanggulangannya. Contoh, ketika ada
sebuah sepeda motor tua, dengan kenalpot yang berasap tebal berwarna hitam
dengan jalan terseok seok dan tidak bisa berlari kencang. Dari gejala yang
timbul ini seorang mekanik yang memiliki ilmu tentang perbengkelan, bisa
membuat eksplanasi atau penjeleasan kepada pemilik motor mengapa begitu. Itulah
manfaat ilmu sebagai eksplanasi.
.
2.
Ilmu
sebagai prediksi
Dengan menganalisis faktor dan gejala yang
muncul, ilmuwan dapat melakukan ramalan. Dalam term ilmuwan, ramalan disebut
prediksi untuk membedakannya dengan ramalan embah dukun. Sebagai contoh motor
tadi, seorang mekanik bisa memprediksi jika pemilik motor tidak mau merawat
motor dan lalai mengganti oli, maka ring sehernya akan cepat menipis dan oli
mesin akan terbakar dan menyebabkan asap menjadi tebal dan berwarna putih.
3.
Ilmu
sebagai kendali
Eksplanasi sebagai bahan membuat prediksi dan
kontrol. Ilmuan selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala,
juga dapat membuat kontrol. Contoh : Agar motor kita awet, motor kita harus
diservis dan ganti oli tiap 2000 km, sehingga tingkat keausan mesin dapat
ditekan dan diperlambat. Sehingga motor kita awet.
Selanjutnya
kegunaan ilmu dalam kajian filsafat, tidak akan terlepas dari kajian
aksiologis, yang titik tekannya ditujukan pada aspek moral dan kemanusiaan.
Oleh sebab itu, secara aksiologis ilmu dibahas kaitannya dengan moral dan
tanggung jawab social.[8]
Bertolak dari pemahaman bahwa ilmu bergantung kepada pemahaman
orang yang menelitinya, apakah akan digunakan untuk kegiatan konstruktif atau
destruktif. Dalam hal ini, lagi-lagi pandangan para pakar filsafat
berbeda-beda. Kelompok pertama menyatakan, tugas para ilmuan adalah
selesai pada tahap menemukan pengetahuan, terserah pada orang lain apakah akan
dipergunakan dengan tujuan baik atau tujuan buruk. Sementara kelompok kedua
bersikeras menyatakan bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat atau merendahkan hakikat kemanusiaan. [9]
Seorang ilmuwan faktanya tidak mampu menjamin kebaikan moral
dirinya. Kendati kini ilmu sudah berada pada ambang kemajuan namun justru
menimbulkan gejala dehumanisasi. Pendeknya, jika hidup hanya berpegang pada
ilmu saja, maka tidak akan mampu menghantarkan manusia pada kebahagiaan sebagai
tujuan hidup utama manusia itu sendiri. Tidak dipungkiri, bahwa hasil penemuan
para ilmuwan Barat sungguh memberikan kebermanfaatan yang besar bagi kemajuan
dan reproduksi peradaban. Namun ekses yang timbul, justru menunjukan semakin
keroposnya ilmu secara aksiologis itu sendiri.
Kaitan ilmu dengan moral hari ini sudah jauh berbeda dengan kondisi
para ilmuwan filsafat masa Socrates. Dahulu mereka berani mengorbankan diri
dengan meminum racun demi mempertahankan kebenaran yang diyakini, tapi pasca
Perang Dunia, ilmuwan justru menciptakan senjata pemusnah untuk memusnahkan
manusia lain dengan dalih musuh, musuh secara politis tepatnya. Bom atom, senjata nuklir, senjata biologis
seperti virus anthrax, dll. Semuanya terus menambah daftar panjang ekses
ilmu yang berada di tangan orang-orang yang tidak bermoral. Padahal
sesungguhnya penggunaan ilmu harus menyangkut kognitif dan afektif terhadap
wujud ilmu itu sendiri.
“kegiatan pendidikan keilmuan, tidak
boleh berhenti pada kematangan intelektual semata. Melainkan harus menjangkau
kedewasaan moral dan social. Penilaian akhir seorang ilmuwan tidak boleh
diletakan kepada kemampuan berfikir saja, melainkan harus mengikutsertakan
kedewasaan sikap dan tindakan”[10]
Sementara itu, seorang
polymath (pakar serba bisa) muslim yang bernama Ibnu Sina (980-1037 M) bahkan
memberikan pandangan yang lebih dahsyat, menurutnya ilmu dalam bentuknya baik
yang berupa teoritis maupun praktis hanya bertujuan untuk al-khayr dan al-haq.
Ilmu teoritis yang mengurusi kebenaran (al-haq) mencakup sains
alami, sains matematika dan metafisika dianggap yang tertinggi. Sementara ilmu praktis
mencakup urusan kesejahteraan secara individu, urusan manusia dengan manajemen
manusia sebagai anggota rumah tangga dan urusan manusia sebagai warga negara.[11]
Demikianlah
seharusnya seorang ilmuwan, mereka seharusnya memiliki paket kecerdasan intelektual,
keluhuran moral dan tanggung jawab social yang tinggi, sehingga dapat mencapai
ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan di dunia.
Lebih jauh, Islam mengisyaratkan ummatnya bahkan untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar ketika penganutnya senantiasa melakukan
observasi terhadap fenomena makro dan mikro kosmos, dengan mengingat Tuhan
dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring serta terus-menerus berdoa agar
dijauhkan dari azab api neraka. (QS Ali Imran: 191)
Sesungguhnya
peralihan hegemoni peradaban dari Barat ke Timur hingga kembali lagi ke Barat
adalah sebuah keniscayaan sejarah, karena kemenangan adalah suatu hal yang
dipergilirkan ( QS Ali Imran: 140). Orang-orang muslim berdiri di atas bahu
orang Yunani, kemudian orang Eropa berdiri di atas bahu orang Muslim dan orang
Amerika berdiri di atas bahu orang Eropa.[12]
Semuanya memiliki jasa berharga masing-masing, yang secara tidak langsung telah
saling menyempurnakan antara satu sama lain. Jika ilmu bertujuan untuk menciptakan
kedamaian dan kebahagiaan manusia, maka manusia harus mengenyampingkan
kepentingan bendawi dan kekuasaan. I truly believe the only way we can
create global peace is through not only educating our minds, but our hearts and
our souls. Malala Yousafzay
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu adalah sebuah pengetahuan yang sudah disusun secara sistematis
yang didapatkan dari hasil penelitian dengan menggunakan sebuah metode ilmiah
yang dibenarkan. Hakikat ilmu berarti makna sebenarnya mengenai suatu pengetahuan
yang sudah didapatkan dengan sebuah metode ilmiah yang mencakup objek kajian
syarat dan karakteristik ilmu itu sendiri.
Adapun kegunaan ilmu adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan,
memprediksi dan mengontrol sesuai yang dibutuhkan manusia. Ilmu sejatinya hanya
diperuntukan untuk kebahagiaan dan menciptakan perdamaian manusia. Tujuan ilmu
yakni al khayr dan al haq. Seorang ilmuwan, hendaknya memiliki
kematangan moral dan jiwa agar membawa kemaslahatan atas setiap hasil
penemuannya.
B. Saran
1.
Sebagai
mahasiswa muslim, para pendidik dan atau calon pendidik, maka sejatinya fokus
pengajaran pertama dalam dunia pendidikan adalah mengenai pembekalan akhlak
atau adab.
2.
Ilmu
akan berbuah menjadi keberkahan di tangan orang yang beradab, maka kitab-kitab
seperti ta’alim muta’alim, al adab wa al mufrad, dll. Seharusnya menjadi
kajian wajib di setiap jenjang pendidikan.
3.
Dunia
pendidikan di Indonesia hendaknya menitik beratkan pada kualitas mata
pelajaran, bukan kuantitas mata pelajaran, agar lebih memberikan pengetahuan
yang mendalam dan kompetensi bagi peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Husaini,
Adian, et al. (2013). Filsafat Ilmu Prespektif Barat dan Islam. Jakarta:
Gema Insani Press
2.
Nakosten,
Mehdi. (1996). Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
3.
Suaedi.
(2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press
4.
Suriasumantri,
Jujun. S. (2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-20.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
5.
Tafsir,
Ahmad. (2008). Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Chapra. Cetakan
ke-16. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
[1]
Adian Husaini. Filsafat Ilmu Prespektif Barat dan Islam. hal. XXV
[2]
Ahmad Tafsir. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Chapra. Hal. 17
[3] Ibid.
hal. 23
[4]
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Hal. 234
[5]
Adian Husaini. Op. cit. hlm. 60
[6]
Jujun S Suriasuamntri. Op. cit. hal. 84
[7]
Suaedi. Pengantar Filsafat. Hal. 20-25
[8]
Loc. Cit, Jujun S Suriasumantri. Hal. 229
[9]
Jujun S Suriasumantri. Ibid. hal. 235
[10]
Ibid. Jujun S. Suriasumantri. hal. 3
[11]
Loc. Cit. Adian Husaini. 82
[12] Mehdi
Nakosten. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat. Hal. viii