Rabu, 05 Desember 2018

Makalah Filsafat Ilmu

HAKIKAT DAN KEGUNAAN ILMU
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas presentasi kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, M. Si., dan Dr. Muhammad Zaky, M. Pd.




Kelompok 10
Afaf Najihah
218004001
Andri Marta Sudirja
218004002



PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, atas karunia dan limpahan rahmat-Nya, kita semua berada dalam hidayah dan lindungan-Nya. Shalawat serta salam, tetap tercurah kepada pahlawan Islam utama yang telah membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya, habiibana wanabiyyana Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa Sallam.
            Dalam rangka mempelajari mata kuliah Filsafat Ilmu, maka disusunlah sebuah makalah yang berjudul Hakikat Dan Kegunaan Ilmu, sebagai sebuah media untuk memahami intisari dan urgensi ilmu pengetahuan, agar pemakalah dan para mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam dapat lebih memahami mengenai intisari dan kebermanfaatan ilmu.
            Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak keterbatasan, hanya merupakan garis besar dan penjelasan singkat yang bisa disajikan. Untuk itu, penulis memohon kepada Dosen Pengampu juga seluruh pembaca, untuk berkenan memberikan saran dan kritik yang membangun dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan pada karya tulis mendatang.
            Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca sekalian, dan dicatat sebagai amal saleh penulis oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
                                   
Bandung, 30 November 2018
Penulis





i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………….……..i
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………..…ii
PENDAHULUAN
…………………………………………………………………………..…1




            A. Latar Belakang ………………………………………………………………………..1
            B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………… 1
            C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………………….. 1
PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………... 2
            A. Pengertian Hakikat dan Ilmu ………………………………………………………… 2
            B. Hakikat Ilmu …………………………………………………………………………. 3
            C. Kegunaan Ilmu ………………………………………………………………………. 6
PENUTUP …………………………………………………………………….………………...10
            A. Kesimpulan ………………………………………………………..…………………10
            B. Saran ………………………………………………………………….………………10
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….. 11
           







PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Ilmu sejatinya merupakan sebuah solusi bagi kemaslahatan hidup manusia, namun semakin ditemukannya berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, belum juga dicapai sebuah kemaslahatan dan kedamaian dalam kehidupan manusia. Penemuan demi penemuan digunakan secara salah kaprah, tidak sedikit ilmuwan yang menyesali hasil penemuannya, karena hasil pemikirannya digunakan sebagai alat pemusnah masal. Alih-alih menciptakan solusi perdamaian. Ilmu justru menjadi bumerang bagi  manusia itu sendiri.
            Ilmu pengetahuan telah mengalami kemajuan pesat terutama pada kurun abad 20 dan 21 ini. Secara aspek teknologis, pengetahuan mampu menciptakan kemudahan bagi manusia. Namun secara aspek social, ilmu pengetahuan digunakan secara “disfungsi” oleh para penggunanya, hakikatnya telah hilang dan tertutup rapat oleh sejumlah kepentingan manusia-manusia yang serakah.
            Dengan demikian, apa sebenarnya hakikat ilmu? Dan apa kegunaan ilmu sesungguhnya? Apakah sah-sah saja seorang ilmuwan memanfaatkan ilmu yang ditemukan sekehendak hatinya? Atau adakah etika tertentu yang mewajibkan seorang ilmuwan memperlakukan ilmunya dengan cara tertentu agar menciptakan kondisi tertentu? Semua pertanyaan inilah yang melatarbelakangi penulis dalam menyusun makalah yang berjudul hakikat dan kegunaan ilmu.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hakikat dan ilmu dalam kajian filsafat?
2.      Bagaiman proses pengkajian ilmu yang dibenarkan menurut filsafat?
3.      Bagaimana kegunaan ilmu yang dibenarkan menurut filsafat?
C. Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pengertian hakikat dan ilmu dalam kajian filsafat.
2.      Untuk mengetahui proses ilmiah dalam menghasilkan sebuah disiplin keilmuan
3.      Untuk mengetahui pemanfaatan ilmu yang dibenarkan menurut pandangan filsafat.



PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakikat dan Ilmu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata hakikat diartikan sebagai intisari, dasar, dan kenyataan yang sebenarnya atau sesungguhnya. Hakikat harus bersifat tetap, tidak berubah dan bukan keadaan yang sementara. Selanjutnya kata ilmu dalam KBBI diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, perkataan ilmu secara linguistic berasal dari kata ‘ilm yakni huruf ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah yang berarti tanda, petunjuk atau penunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang bisa dikenal; kognisi atau label; ciri; penunjuk; tanda. Dengan demikian, ma’lam berarti tanda jalan atau sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Sejalan dengan itu, kata ‘alam juga dapat diartikan sebagai penunjuk jalan. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah ayah (jamak- ayat) dalam Al Quran yang secara literal berrati ‘tanda’ merujuk pada ayat-ayat Al Quran dan fenomena alam.[1] Dengan demikian, tidak ada pemisahan istilah dalam Islam, baik ilmu yang berasal dari usaha aktif manusia tentang penalaran ilmiah fenomena alam semesta, maupun ilmu yang ditawarkan Tuhan melalui malaikat dan nabi-nabi-Nya, yang dalam hal ini manusia bersifat pasif atau sebagai penerima kebenaran ilmu tersebut yang kemudian diyakini. Definisi ilmu dalam Islam sudah melingkupi kedua aspek tersebut.
            Definisi berbeda tentu ditemukan dalam pandangan filsafat Barat. Terdapat dua istilah teknis yang mewakili kata ilmu, yaitu knowledge dan science. Istilah knowledge diperuntukan bagi bidang-bidang ilmu non-fisik seperti konsep mental dan metafisik. Sementara istilah science diperuntukan bagi bidang-bidang ilmu fisika atau ilmu yang terukur secara empiris. Adanya perbedaan istilah atau lebih tepatnya pergeseran istilah dari knowledge ke science bukan terjadi tanpa alasan, karena sains pada awalnya lebih rendah daripada metafisik, metafisik lebih rendah daripada keimanan. Surga lebih berarti dari pada bumi, sebab surga itu adalah tempat peristirahatan jiwa  yang mulia. Demikian salah satu pendapat filusuf Barat bernama Plotinus.[2]
Berdasarkan penjelasan kedua arti di atas, maka kalimat hakikat ilmu jika didefinisikan, dapat diterjemahkan sebagai intisari dari suatu pengetahuan yang sudah didapatkan dengan sebuah metode ilmiah. Atau dalam pandangan Islam (Islamic Worldview), hakikat ilmu dapat didefinisikan sebagai makna sebenarnya dari tanda-tanda kekuasaan Allah.  
            Kata hakikat dalam filsafat ilmu sendiri memiliki arti khusus. Hal ini dapat ditemukan dalam sistematika filsafat yang membagi tiga teori pokok, yakni teori pengetahuan yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan (epistemology),  teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri (ontology), dan terakhir teori nilai yaitu membicarakan guna pengetahuan (axiology). [3]
          Bertolak dari pandangan tersebut di atas, maka hakikat ilmu dapat diartikan sebagai ontology, pendeknya adalah sebuah pertanyaan apa makna sebenarnya ilmu? kemudian kajian hakikat inilah yang akan menyibak jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan kegunaan ilmu, dapat diartikan sebagai axiology. Kedua aspek inilah yang akan dibahas dan akan dibicarakan menurut sudut pandang filsafat.
B. Hakikat Ilmu
            Pengkajian mengenai hakikat ilmu dalam filsafat Barat muncul akibat adanya kekangan ideology gereja yang membatasi ruang gerak para ilmuwan untuk meneliti alam sebagaimana mestinya sebuah penelitian yang menuntut rasio, bukti empiris dan nalar logika. Sejak terbebasnya ilmu dari dogmatisme gereja, maka ilmu dengan leluasa mengembangkan dirinya, awalnya hanya bersifat kontemplatif namun setelah dilakukan penerapan konsep-konsep ilmiah dan praktis lambat laun berubah menjelma menjadi sebuah teknologi yang mampu memecahkan masalah-masalah praktis, baik berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).[4]
            Fase terkungkungnya akal dalam pandangan filsafat Barat menuntutnya untuk membuat pengistilahan khusus yang hingga kini dikenal dengan middle age (abad pertengahan), atau istilah yang lebih sentiment yakni dark age (abad kegelapan). Sementara fase terbebasnya akal dalam mengeksplorasi pengetahuan dari dogmatisme agama diistilahkan dengan renaissance (kebangkitan kembali). Berbeda dengan Islam yang tidak memiliki istilah penggalan-penggalan zaman semacam itu, karena dalam Islam tidak pernah ada kekangan agama atas ilmu pengetahuan, demikian juga tidak pernah ditemukan pergeseran istilah dalam penyebutan ilmu. Karena agama Islam justru mendorong pemeluknya untuk berlomba dalam memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah baik berupa objek kajian fenomena alam (fisik) maupun yang bersifat non-fisik.[5] Seperti terdapat pada surah Ali Imran: 191; Al Baqarah: 164, dll.
            Kegunaan ilmu dalam kajian filsafat ilmu tidak lain merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. [6] Mengapa pragmatis? seorang pakar metafisik atau seorang matrealis, mekanistik atau vitalistik, semuanya boleh jadi memiliki penafsiran berbeda, selanjutnya ilmu digunakan bergantung kepada subjek ilmunya,
            Berdasarkan fakta-fakta pendapat di atas, maka secara ontologis kajian filsafat mengenai hakikat ilmu sesungguhnya adalah ilmu harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Maka dalam hal ini, penjelasan-penjelasan mendalam mengenai syarat dan karakteristik ilmu itu perlu untuk dijelaskan sumber ilmu, syarat dan karakteristik ilmu,  dan macam-macam ilmu dalam kajian filsafat.[7] Berikut penjelasan berupa tabel untuk memudahkan pembaca dalam membandingkan.
1. Sumber Utama Ilmu
Sumber Ilmu
Rasionalisme
Empirisme
Rasio sebagai sumber utama ilmu. Rasio adalah berpikir. Berpikir inilah yang akan membentuk pengetahuan. Semakin banyak manusia yang berpikir, maka manusia akan berbeda dalam tindakannya.
Tokoh Rasionalisme:
Rene Descartes, Spinoza, Leibzniz dan Wolff
Sumber pengetahuan adalah pengalaman. Pengalaman dimaksud bisa berupapengalaman lahiriah maupun batiniah. Pengalaman inderawi sebagai awal pengamatan dan pengenalan intelektual, pengetahuan datang dari pengalaman karena akal bersifat pasif saat pengetahuan itu didapat.
Tokoh Empirisme:
Thomas Hobbes, John Locke, David Hume dan Barkeley

Menurut Amsal Bakhtiar dalam Buku Pengantar Filsafat, bahwa instuisi dan wahyu termasuk ke dalam sumber pengetahuan.
2. Syarat dan Karakteristik Ilmu
Syarat Ilmu
Karakteristik Ilmu
Adanya objek yang diteliti: bisa berupa kosmologi atau biopsikososial
Objektif: Berdasarkan fakta objektif, dapat diamati dan bukan emosional subjektif
Adanya pokok permasalahan yang akan dikaji (focus of interest)
Koheren: Pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi dengan kenyataan.

Reliabel: Cara memperoleh ilmu dilakukan dengan alat ukur yang terandalkan.

Valid: produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi

Memiliki generalisasi: suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum

Akurat: penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi

Dapat melakukan prediksi: dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal


3. Macam-macam Jenis Ilmu





Macam-macam jenis ilmu
Ilmu praktis: Mempelajari sebab-akibat untuk diterapkan dalam alam kenyataan
Ilmu praktis normative: memberi ukuran-ukuran (kriterium) dan norma-norma
Ilmu praktis positif: (memberikan ukuran lebih khusus dari praktis normative). Membuat sesuatu atau tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai hasil tertentu.
Ilmu spekulatif ideografis: mengkaji kebenaran objek dalam wujud nyata dalam ruang dan waktu terntentu
Ilmu spekulatif nomotetis: Hukum umum atau generalisasi subtantif
Ilmu spekulatif teoritis: memahamai kausalitas untuk memperoleh kebenaran dari keadaan atau peristiwa tertentu.
           
Dengan demikian, maka hakikat ilmu adalah menyingkap kebenaran fakta ilmu itu sendiri, untuk digunakan dalam kehidupan secara praktis dan menciptakan kemudahan bagi manusia yang menggunakannya.
C. Kegunaan Ilmu
            Masalah kegunaan ilmu, jika ditinjau dari ilmu dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu. Setidaknya ilmu harus memiliki tiga kegunaan. Ilmu berfungsi eksplanasi, prediksi, dan fungsi kendali atau control.
1.      Ilmu sebagai eksplanasi
Dalam memahai sebuah permasalahan, ilmu bisa menjelaskan secara lebih rinci dan menjelaskan faktor-faktor penyebab dan penanggulangannya. Contoh, ketika ada sebuah sepeda motor tua, dengan kenalpot yang berasap tebal berwarna hitam dengan jalan terseok seok dan tidak bisa berlari kencang. Dari gejala yang timbul ini seorang mekanik yang memiliki ilmu tentang perbengkelan, bisa membuat eksplanasi atau penjeleasan kepada pemilik motor mengapa begitu. Itulah manfaat ilmu sebagai eksplanasi. .
2.      Ilmu sebagai prediksi
Dengan menganalisis faktor dan gejala yang muncul, ilmuwan dapat melakukan ramalan. Dalam term ilmuwan, ramalan disebut prediksi untuk membedakannya dengan ramalan embah dukun. Sebagai contoh motor tadi, seorang mekanik bisa memprediksi jika pemilik motor tidak mau merawat motor dan lalai mengganti oli, maka ring sehernya akan cepat menipis dan oli mesin akan terbakar dan menyebabkan asap menjadi tebal dan berwarna putih.
3.      Ilmu sebagai kendali
Eksplanasi sebagai bahan membuat prediksi dan kontrol. Ilmuan selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol. Contoh : Agar motor kita awet, motor kita harus diservis dan ganti oli tiap 2000 km, sehingga tingkat keausan mesin dapat ditekan dan diperlambat. Sehingga motor kita awet.
            Selanjutnya kegunaan ilmu dalam kajian filsafat, tidak akan terlepas dari kajian aksiologis, yang titik tekannya ditujukan pada aspek moral dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, secara aksiologis ilmu dibahas kaitannya dengan moral dan tanggung jawab social.[8]
Bertolak dari pemahaman bahwa ilmu bergantung kepada pemahaman orang yang menelitinya, apakah akan digunakan untuk kegiatan konstruktif atau destruktif. Dalam hal ini, lagi-lagi pandangan para pakar filsafat berbeda-beda. Kelompok pertama menyatakan, tugas para ilmuan adalah selesai pada tahap menemukan pengetahuan, terserah pada orang lain apakah akan dipergunakan dengan tujuan baik atau tujuan buruk. Sementara kelompok kedua bersikeras menyatakan bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau merendahkan hakikat kemanusiaan. [9]
Seorang ilmuwan faktanya tidak mampu menjamin kebaikan moral dirinya. Kendati kini ilmu sudah berada pada ambang kemajuan namun justru menimbulkan gejala dehumanisasi. Pendeknya, jika hidup hanya berpegang pada ilmu saja, maka tidak akan mampu menghantarkan manusia pada kebahagiaan sebagai tujuan hidup utama manusia itu sendiri. Tidak dipungkiri, bahwa hasil penemuan para ilmuwan Barat sungguh memberikan kebermanfaatan yang besar bagi kemajuan dan reproduksi peradaban. Namun ekses yang timbul, justru menunjukan semakin keroposnya ilmu secara aksiologis itu sendiri.
Kaitan ilmu dengan moral hari ini sudah jauh berbeda dengan kondisi para ilmuwan filsafat masa Socrates. Dahulu mereka berani mengorbankan diri dengan meminum racun demi mempertahankan kebenaran yang diyakini, tapi pasca Perang Dunia, ilmuwan justru menciptakan senjata pemusnah untuk memusnahkan manusia lain dengan dalih musuh, musuh secara politis tepatnya.  Bom atom, senjata nuklir, senjata biologis seperti virus anthrax, dll. Semuanya terus menambah daftar panjang ekses ilmu yang berada di tangan orang-orang yang tidak bermoral. Padahal sesungguhnya penggunaan ilmu harus menyangkut kognitif dan afektif terhadap wujud ilmu itu sendiri.
“kegiatan pendidikan keilmuan, tidak boleh berhenti pada kematangan intelektual semata. Melainkan harus menjangkau kedewasaan moral dan social. Penilaian akhir seorang ilmuwan tidak boleh diletakan kepada kemampuan berfikir saja, melainkan harus mengikutsertakan kedewasaan sikap dan tindakan”[10]
            Sementara itu, seorang polymath (pakar serba bisa) muslim yang bernama Ibnu Sina (980-1037 M) bahkan memberikan pandangan yang lebih dahsyat, menurutnya ilmu dalam bentuknya baik yang berupa teoritis maupun praktis hanya bertujuan untuk al-khayr dan al-haq. Ilmu teoritis yang mengurusi kebenaran (al-haq) mencakup sains alami, sains matematika dan metafisika dianggap yang tertinggi. Sementara ilmu praktis mencakup urusan kesejahteraan secara individu, urusan manusia dengan manajemen manusia sebagai anggota rumah tangga dan urusan manusia sebagai warga negara.[11]
            Demikianlah seharusnya seorang ilmuwan, mereka seharusnya memiliki paket kecerdasan intelektual, keluhuran moral dan tanggung jawab social yang tinggi, sehingga dapat mencapai ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan di dunia.  Lebih jauh, Islam mengisyaratkan ummatnya bahkan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar ketika penganutnya senantiasa melakukan observasi terhadap fenomena makro dan mikro kosmos, dengan mengingat Tuhan dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring serta terus-menerus berdoa agar dijauhkan dari azab api neraka. (QS Ali Imran: 191)
            Sesungguhnya peralihan hegemoni peradaban dari Barat ke Timur hingga kembali lagi ke Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah, karena kemenangan adalah suatu hal yang dipergilirkan ( QS Ali Imran: 140). Orang-orang muslim berdiri di atas bahu orang Yunani, kemudian orang Eropa berdiri di atas bahu orang Muslim dan orang Amerika berdiri di atas bahu orang Eropa.[12] Semuanya memiliki jasa berharga masing-masing, yang secara tidak langsung telah saling menyempurnakan antara satu sama lain. Jika ilmu bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan kebahagiaan manusia, maka manusia harus mengenyampingkan kepentingan bendawi dan kekuasaan. I truly believe the only way we can create global peace is through not only educating our minds, but our hearts and our souls. Malala Yousafzay














PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu adalah sebuah pengetahuan yang sudah disusun secara sistematis yang didapatkan dari hasil penelitian dengan menggunakan sebuah metode ilmiah yang dibenarkan. Hakikat ilmu berarti makna sebenarnya mengenai suatu pengetahuan yang sudah didapatkan dengan sebuah metode ilmiah yang mencakup objek kajian syarat dan karakteristik ilmu itu sendiri.
Adapun kegunaan ilmu adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan mengontrol sesuai yang dibutuhkan manusia. Ilmu sejatinya hanya diperuntukan untuk kebahagiaan dan menciptakan perdamaian manusia. Tujuan ilmu yakni al khayr dan al haq. Seorang ilmuwan, hendaknya memiliki kematangan moral dan jiwa agar membawa kemaslahatan atas setiap hasil penemuannya.
B. Saran
1.      Sebagai mahasiswa muslim, para pendidik dan atau calon pendidik, maka sejatinya fokus pengajaran pertama dalam dunia pendidikan adalah mengenai pembekalan akhlak atau adab.
2.      Ilmu akan berbuah menjadi keberkahan di tangan orang yang beradab, maka kitab-kitab seperti ta’alim muta’alim, al adab wa al mufrad, dll. Seharusnya menjadi kajian wajib di setiap jenjang pendidikan.
3.      Dunia pendidikan di Indonesia hendaknya menitik beratkan pada kualitas mata pelajaran, bukan kuantitas mata pelajaran, agar lebih memberikan pengetahuan yang mendalam dan kompetensi bagi peserta didik.





DAFTAR PUSTAKA
1.      Husaini, Adian, et al. (2013). Filsafat Ilmu Prespektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press
2.      Nakosten, Mehdi. (1996). Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
3.      Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press
4.      Suriasumantri, Jujun. S. (2010). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-20. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
5.      Tafsir, Ahmad. (2008). Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Chapra. Cetakan ke-16. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya



[1] Adian Husaini. Filsafat Ilmu Prespektif Barat dan Islam. hal. XXV
[2] Ahmad Tafsir. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Chapra. Hal. 17
[3] Ibid. hal. 23
[4] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Hal. 234
[5] Adian Husaini. Op. cit. hlm. 60
[6] Jujun S Suriasuamntri. Op. cit. hal. 84
[7] Suaedi. Pengantar Filsafat. Hal. 20-25
[8] Loc. Cit, Jujun S Suriasumantri. Hal. 229
[9] Jujun S Suriasumantri. Ibid. hal. 235
[10] Ibid. Jujun S. Suriasumantri. hal. 3
[11] Loc. Cit. Adian Husaini. 82
[12] Mehdi Nakosten. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat. Hal. viii