Selasa, 07 Agustus 2018

Teruntuk Tuan Guru Ustadz Abdus Shamad


Di negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia ini, rasanya ustaz sudah lebih dari cukup mendapatkan dukungan atau rekomendasi dari kami rakyat muslim Indonesia. Dan wajar saja jika seorang ulama seperti ustaz, digadangkan menjadi cawapres. Toh ummat Islam memiliki saham terbesar atas kemerdekaan negeri ini.

Ustaz, bukankah dalam Islam tidak ada dikotomi ibadah di masjid dan ibadah dalam berpolitik. Semuanya memiliki derajat kemuliaan yang sama. Justru kalau dulu terlanjur “para ulama kembali ke pesantren” karena politik para sekuleris atau sibuk dengan khilafiyah, lalu dari manakah kebangkitan itu akan muncul kalau bukan dari bumi mayoritas muslim ini.

Entah mengapa, doa rakyat Palestina selalu terlantun untuk kebaikan rakyat Indonesia, mungkin inilah jawabannya ustaz. Tak mengapa jika ustaz merasa tak pantas, dulupun Ummar bin Khatab merasa tak pantas, biarlah Allah yang memantaskan.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta) selalu menjadi pelopor persatuan bangsa bahkan dunia. Sejak kedatangan Nabi Muhammad saw ke Madinah, masyarakat Islam terbiasa hidup rukun dengan berbagai ras, suku dan agama lain. Di Madinah dulu Rasulullah menjamin kemanan Yahudi dan Nasrani selama mereka patuh pada aturan kemanan pemerintahan Madinah. Lalu jika bisa bersatu, mengapa harus berpisah?

Negeri ini dulu dijajah atas motif agama dari Eropa sanah, maka dengan motif agama pula dulu para orang tua kita mempertahankannya. Islam terbukti sebagai agama pembangkit nasionalisme. Itulah sebabnya Bung Tomo terus bertakbir untuk mengajak rakyat melawan penjajah. Dan itulah juga sebabnya di kemudian hari ulama dan santri dibunuh secara sadis pada kudeta Madiun oleh aktivis PKI.

Itulah mengapa ulama selalu dijauhkan dari rakyatnya, semata hanya agar rakyatnya tumbuh menjadi rakyat tuna-politik dan membiarkan para penjajah bercokol di negeri yang subur ini. Asal tahu saja, sebesar apapun beasiswa dan sebanyak apapun awardee di negeri kincir angin sana, tetap tak akan mampu mengembalikan kerugian materi negeri ini yang sudah dirampas secara paksa selama ratusan tahun oleh mereka.

Ustaz, bukankah dari dulu yang melawan ketidak adilan negeri ini adalah para ulama. Bukankah dari zaman penjajahan Portugis juga Fatahillah yang berhasil mengusirnya? Buakankah Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Ahmad Matulesi, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dulu juga mereka yang memimpin perlawanan? Bukankah dari dulu hanya para ulama yang bisa menjawab tantangan para penjajah, saat penjajah membawa VOC kita memiliki Sarekat Dagang Islam, saat penjajah mendirikan Sekoleh Eropa maka jawaban ulama adalah mendirikan sekolah Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan atau sekolah kautamaan istri oleh Nyai Dewi Sartika. Bukankah ulama selalu memberikan rapid respon yang solutif atas setiap permasalahan penjajahan di negeri ini?

Ustaz, sudah cukup kita dikhianati saat Linggar Jati, Renvile dan Roem-Royen. Belum lagi jasa para pendahulu kita yang dikubur, seolah muslim di masa lalu tidak memiliki andil apa-apa di negeri ini, sekalipun islam yang menjadi pelopor tapi jasanya tak pernah dicantumkan, dihargai, dikenang apalagi dipelajari. 

Ustaz, abaikan orang yang bilang ulama yang ngomongnya ‘idealis’ cuma gara-gara “gak kebagian”. Kebagian apa? Kebagian emas? Emasnya kan udah ‘dihibahkan’ ke penjajah. Kita tidak butuh kekayaan kalau cuma untuk sejahtera secara pribadi, jika dakwah ini berbayar dan harus ‘kebagian jatah’ maka seharusnya para nabilah yang jadi orang-orang terkaya di muka bumi ini bukan Qorun.
Negara ini kuat karena rasa persatuan agama rakyatnya ustaz, jika bukan karena agama mayoritas ini, maka Indonesia sudah terpecah dari dulu menjadi serpihan pulau yang dinamakan negara seperti di Eropa sana atau seperti negara-negara jajahan Inggris yang hari ini sudah dipecah hanya karena keyakinan mereka berbeda (India, Pakistan, Srilanka).

Ustaz, sudah cukup dari dulu ulama kita dijauhkan dari masyarakatnya. Masih ingatkah ustaz, saat Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang hanya karena penjajah takut kalau kesadaran nasionalisme rakyat Aceh bangkit? Masih ingatkah ustaz, saat Imam Bonjol dibuang ke Minahasa atau saat Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado? Semua itu selalu dilakukan agar masyarakat tidak punya kesadaran nasionalisme.

Saat ini, penjajah tidak akan bisa membuang ulama. Percuma, penjajah membuang seratus ulamapun kami rakyat masih bisa menyaksikan karyanya pada buku atau ceramahnya di Youtub dan instagram. Niat hati menciptakan news imperialism tapi malah jadi blunder.

Ustaz, tahu gak? konon negara ini jika diukur dari Sabang sampai Merauka, maka ukurannya akan tepat terbentang dari Perancis sampai Bagdad. Negara macam apa yang terbit mataharipun harus menunggu tiga waktu yaitu Waktu Indonesia Timur (WIT), Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan Waktu Indonesia Barat (WIB). 

Ingin rasanya saya menulis kembali jeritan jiwa Ibu Kartini saat beliau selesai membaca Tafsir Al Quran.
Wat zijn wij toch stom, toch dom, om een leven lang. een berg schatten naast ons te hebben et het niet te zien, niet te weten.
Alangkah bebalnya, bodohnya kami tiada melihat, tiada tahu bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan (Al Quran) disamping kami.
Wij zochten niet bij demenschen troost wij klemden ons vast aan Zijn hand.
Kami tidak perlu mencari pelipur hati pada manusia, kami hanya berpegang teguh pada Tangan Allah.

Sumber:
Api Sejarah Jilid 1 dan 2. Ahmad Mansur Surya Negara. Surya Dinasti Press. Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar