Selasa, 02 April 2013

*Best Process



Dibeberapa sekolah atau perguruan tinggi yang cukup bonafide di kota bandung, bahkan mungkin di Indonesia, semuanya nyaris kompak memberikan syarat-syarat tertentu (tes masuk) kepada calon siswa atau calon mahasiswanya. Siswa yang mencapai grade tertentu dinyatakan lulus dan yang kurang dalam grade tersebut berarti tidak lulus, atau dalam bahasa yang lebih halusnya dinyatakan “belum bisa bergabung dengan sekolah atau kampus yang dimaksud”. Dari tes-tes semacam inilah muncul istilah murid bodoh, murid pintar, murid jenius, murid normal dll.

Pemberlakuan tes semacam ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun di Indonesia, yah barangkali semenjak Alfred Binet mencetuskan teori Intelligence Quotient (IQ) nya, menurut Binet kecerdasan seseorang ditentukan oleh seberapa tinggi IQ nya, pendeknya IQ= MA/CA x 100.  pendapat Binet ini telah lama dimentahkan oleh para pakar pendidikan, karena faktanya IQ bukanlah faktor utama penentu kecerdasan seseorang. Akan tetapi anehnya, walaupun teori Binet ini sudah lama dimentahkan, kenyataanya praktek pendidikan di Indonesia masih  saja menjadikan IQ sebagai standar kecerdasan seseorang.

Pendapat Binet ini kemudian disempurnakan oleh Daniel Goleman dengan teori Emotional Quotient-nya (EQ), kemudian Paul Scholtz dengan Adversity Quotient-nya (AQ) dan disempurnakan lagi oleh Howard Gardner dengan teori Multiple Intelligence-nya (MI). Dari urutan perkembangan pemikiran diatas, telah jelas banyak penemuan penting terkait faktor kecerdasan seseorang, dunia pendidikan sudah selayaknya lebih berkembang dalam sistem standarisasi guna evaluasi input atau output pendidikan itu sendiri. Tapi anehnya masih saja tes kognitif menjadi hobi para pemangku kebijakan sistem pendidikan di Indonesia untuk dijadikan standar kecerdasan seseorang.

Logikanya, wajar apabila sutau lembaga pendidikan berhasil (Sec. Kognitif) mencetak outputnya menjadi output terbaik apabila inputnya sudah disaring dan dipilih berdasarkan standar yang ditetapkan, bisa dikatakan, lembaga pendidikan seperti ini adalah lembaga pendidikan yang egois, eksklusif dan lebih parahnya mereka namakan sekolah ini dengan sebutan sekolah terpadu. Terpadu, tentu saja terpadu bagi setiap orang yang memiliki kecerdasan tinggi bernama IQ. Pendeknya
best input + best process = best output     (wajar)

Lantas bagaimana nasib anak-anak yang mereka beri gelar bodoh atau normal? Dengan dalih IQ nya dibawah rata-rata. Siapa yang akan bertanggungjawab atas gelar kebodohan mereka. Anak-anak ini tentunya akan dimasukan ke sekolah biasa-biasa saja, Sekolah yang berada pada grade cluster 2, cluster 3 de el el..

Ada satu sekolah yang cukup high class di Bandung (sepengetahuan penulis), sebut saja SMA X, yang dengan sukarela dan penuh kesadaran merekrut siswanya tidak melalui tahap tes, yang menjadi syarat disekolah ini adalah siapa yang paling cepat mendaftar, dialah yang akan mendapat hak untuk belajar di sekolah tersebut, dengan proses yang baik, kurikulum yang baik, dan penanganan murid yang baik, apapun bakat murid akan difasilitasi di sekolah ini, mereka semua dihargai dan disayangi oleh gurunya tanpa melihat seberapa tinggi IQ-nya.

Walhasil, disekolah ini tumbuh berbagai macam individu dengan berbagai bakat yang menonjol, para siswanya ada yang unggul di bidang sains sehingga mereka sering meraih penghargaan dari pemerintah karena berhasil meraih juara pada ajang perlombaan, demikian juga pada bidang seni musik, lomba pidato bahasa asing dll, tanpa meninggalkan aspek spiritual sebagai kewajiban mereka. Bahkan sesekali prestasi mereka jauh melampaui siswa-siswa yang berasal dari sekolah (baca-best input) itu, artinya sekolah ini menginput siswa tanpa memberikan standar, akan tetapi mereka memberikan pengajaran dan pembiasaan yang baik, sehingga outputnya pun sangat baik. Pendeknya,
Normal Input + Best process = Best Output     (Luar Biasa)

 SMA X ini merupakan satu contoh nyata bagaimana pendidikan itu memanusiakan manusia, mereka tidak mencetak robot, tapi menciptakan manusia yang memiliki integritas apapun potensinya, karena disekolah ini tidak ada anak bodoh, semua siswa di sekolah ini pintar.

Sistem pendidikan di Indonesia sudah saatnya, membuka diri dan melepaskan keegoisannya dalam pelaksanaan kebijakan dan pembelajarannya. Hendaknya semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan lebih open minded, untuk menghargai semua yang diciptakan Allah dengan penuh prasangka baik (husnudzan), tidak ada sesuatupun di dunia ini yang diciptakan Allah melainkan dengan maksud-Nya, tiada yang sia-sia, kekurangan seorang mukmin merupakan pelajaran (baca hikmah) untuk mukmin lainnya. No bodies perfect, begitulah terminologi Barat menafsirkannya.

Semoga kurikulum 2013 yang akan diberlakukan tahun ajaran baru ini membawa angin segar bagi perubahan sistem pendidikan Indonesia menjadi lebih baik, sehingga menghasilkan output pendidikan yang berkwalitas dimana setiap orang merasa dihargai sehingga menciptakan iklim saling menghormati satu sama lain.

*Inspired from : Sekolahnya Manusia- Munif Chatib


  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar