Rabu, 24 April 2013

Menembus Batas, Menuju Kualitas


Pasca UN kemarin, seluruh anak-anak SMA kelas XII pasti sedang harap-harap cemas (H2c) menanti saat-saat mendebarkan, dimana hasil jerih payah siswa selama bertahun-tahun, akan ditentukan oleh ujian nasional yang hanya diselenggarakan selama tiga hari, dimana alat ukurnya hanya kognitif, alat ukur yang sangat cocok bagi bangsa yang “menuhankan” logika.

Maka tak heran, jika banyak siswa yang stres dan sakit karena terlalu lelah belajar. negara, sekolah dan orang tua mereka menuntut untuk lulus, lebih tepatnya lulus standar evaluasi ANEH tersebut. Aku heran dengan kebijakan pendidikan negara ini, setiap mata pelajaran mencantumkan tiga ranah kompetensi sebagai acuan keberhasilannya, afektif, kognitif dan psikomotor, tapi anehnya kenapa hanya aspek kognitif saja yang diteskan kepada siswa, sungguh malang nasib siswa-siswa yang unggul dalam aspek afektif dan psikomotor, mereka terpaksa harus mengikuti evaluasi pasar tersebut, bakat-bakat emas mereka tidak diberikan penghargaan se-sen pun.

Gagalnya penyelenggaraan UN kemarin, cukup menjadi bukti ketidak efektifan UN sebagai acuan standar kelulusan, apalagi jika dihadapakn dengan hari kelulusan nanti, siswa-siswa yang dinyatakan tidak lulus (naudzu billah), akan stres berat karena merasa dirinya tidak memiliki harapan untuk menatap masa depan, begitu kata Bondan Prakoso.

Ditambah lagi soal-soal SNMPTN/SBMPTN yang semakin menggenapkan ketegangan anak-anak bangsa ini. Mereka berlomba-lomba memasuki universitas-universitas yang konon terbaik di negeri ini. Mereka belajar dari pagi buta hingga malam gulita demi kalimat “SELAMAT ANDA DITERIMA DI .............. Universitas ...................”. Sekarang permasalahannya adalah, apakah dengan tes SNMPTN tersebut bisa menjamin semua calon mahasiswa tersebut untuk sukses setelah lulus? Saya tidak perlu susah payah menjawab pertanyaan konyol itu. Simak saja cerita ngaler-ngidul ini.

Ketika saya kuliah menginjak smester VIII, karena sudah tidak ada lagi mata kuliah dan kebetulan saya membutuhkan uang saku tambahan, akhirnya saya memutuskan untuk mencari pekerjaan sebagai penghasilan tambahan, karena sebagai guru privat, waktu itu penghasilan saya memang jauh dari cukup untuk membiayai semua kebutuhan-kebutuhan saya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Dan puluhan surat lamaranpun saya layangkan ke kantor pos, walaupun hanya bermodal ijazah SMA dan IPK sementara semester VII, aku tak peduli, dengan penuh optimis, aku berikan surat itu pada pak pos.

Hingga akhirnya, ada sebuah perusahaan baju muslim yang mengabariku lewat sms bahwa aku dipanggil untuk test pertama, dan sesampainya aku di alamat perusahaan itu, ada dua keanehan yang membuat aku terperangah.

Pertama, HRD sekaligus Owner perusahaan tersebut menjelaskan bahwa perusahaan miliknya adalah perusahaan yang bergerak dibidang produksi dan penjualan busana muslim. Jadi jika kelak kami diterima disana kami akan ditempatkan sebagai Kiyusi atau Quality Controler, penjelasan itu kami dengar dengan seksama, sampai akhirnya HRD aneh tersebut menyerahkan beberapa lembar kertas, tentu anak SD-pun tahu, apa isi kertas tersebut. Dan lagi-lagi kami dites, dari 100 soal yang ada di kertas soal tersebut 70 diantaranya merupakan soal matematika dan sisanya bahasa inggris. Soal matematikapun di buat sangat beragam, mulai dari soal aritmatika, al jabar, test logika, diskriminan dll

Hati kecilku bertanya pada saat itu, apa hubungan mesin jahit dengan aritmatika, apa hubungan bahan katun dengan kalkulus, apa hubungan gunting dengan al jabar. Sialnya pertanyaan-pertanyaan itu tak sempat kuutarakan pada HRD aneh itu, mungkin karena faktor “M” (money), jadi aku belaga bodoh saja pada saat itu..haaaa GR.

Dengan jurus tembak, itung kancing dan tentu saja insting yang kuat, akhirnya aku selesai mengerjakan 100 soal tersebut.

Kedua, secara kebetulan pada saat sebelum masuk ruangan tes, aku berkenalan dengan seorang calon peserta tes lain. Ku tanyakan padanya nama, asal dan aktivitasnya. Jawabannya sungguh mencengangkan, teteh tersebut ternyata baru satu tahun lulus dari sebuah universitas yang sangat ternama di kota Bandung, tentu saja kutanyakan apa jurusan kuliahnya dulu, ah paling teteh tersebut jurusan tata busana atau akuntansi begitu gumamku, dan dengan suara agak terbata-bata beliau menjawab, saya dari jurusan Biologi. OMG, kok bisa teh ngelamar kesini? Kan sayang ilmunya? Demikian pertanyaan ku memberudul seperti tak kan pernah menemukan hari esok untuk bertanya lagi, dengan suara parau dia menjawab, yah mau gimana lagi, yang penting mah dapat kerjaan aja, soalnya aku malu sama keluarga, nganggur udah hampir setahun. Dan Spppp mulutku langsung terkunci, aku menahan diri untuk bertanya lebih jauh, karena hawatir menyinggung perasaannya. Namun, teteh tersebut akhirnya melanjutkan kisah hidupnya tersebut tanpa ku bertanya, teteh itu bilang dia sudah mengirimkan beratus-ratus surat lamaran ke berbagai perusahaan, hanya saja sampai detik ini belum ada panggilan satupun dari ratusan lamaran tersebut.

Mendengar lanjutan kisahnya tersebut, aku bisa merasakan guratan pasrah di wajahnya, beban moral yang ditanggungnya pasti sangatlah besar, belum lagi tuntutan keluarganya, hufh............... aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam dan membayangkan bagaimana jadinya jika hal itu terjadi padaku.

Almamater yang dulu menjadi kebanggan itu, kini hanya lembaran aib yang terlalu privasi untuk diceritakan. Aku sangat memahami perasaannya, itulah sebabnya aku tak sanggup menanyakan lebih jauh dari apa latar belakangnya.

Kembali ke laptop, dari kisah yang saya ceritakan diatas terutama di kasus kedua, saya berani menyimpulkan bahwa universitas favorit sekalipun, ternyata juga tidak memberi jaminan mahasiswanya untuk sukses dan memiliki kwalitas tinggi ditengah masyarakat pasca lulus nanti.

Pidi Baiq bilang : “Dulu, nama besar kampus disebabkan oleh karena kehebatan mahasiswanya. Sekarang, mahasiswa ingin hebat karena nama besar kampusnya”. (At-Twitter: 17)

Jadi yang harus diperbaiki kita saat ini adalah, niat kita untuk belajar di suatu tempat itu apakah karena kita pure ingin belajar? Atau karena kita ingin numpang beken doang? Dan tentu saja menjadi buah bibir tetangga di kampung halaman, guru di sekolah dan tentunya teman-teman semasa SMA?

Jika niatnya hanya ingin untuk gengsi saja, maka STOP RIGHT NOW. Karena eksistensi kamu di kampus tersebut hanya akan menjadi hiasan kelas saja bahkan jadi kesed kampus. Selain itu, orang-orang yang memiliki motivasi kuliah semacam ini hanya akan menguras harta orang tuanya saja, sementara prestasi dan kontribusinya NIHIL.

Jadi sekarang pertanyaannya adalah, dimana letak kwalitas hidup kita? Dikampus/ sekolah yang kita tempati? Atau dalam diri kita sendiri?.

Dan lagi-lagi pertanyaan ini akan saya jawab dalam 2 SKS dibawah ini. Haaaaaa. Boong deng..Cuma mau update-in status orang aja ko.

Pada suatu hari nan cerah, kulihat tombol notification di fb ku memunculkan angka 1, itu menunjukan bahwa ada seseorang yang mengomentari atau me-like status ku atau teman-teman fbku yang pernah ku komentari, dengan sigap ku klik angka 1 itu, dan tampaklah sebuah kata-kata indah yang hanya bisa diutarakan oleh orang yang sangat bijak, bahkan menurutku kebijaksanaan orang ini jauh melebihi Mahatma Ghandi, amat sangat bijak. Begini statusnya

“kwalitas dirimu berasal dari dirimu sendiri, bukan dari sekolah atau kampus yang kamu masuki”

Cssssssss....kata-kata itu menyihirku. Langsung saja ku gerakan telunjuk kanan ku untuk segera menekan tulisan yang ada di bawahnya. LIKE. Jarang-jarang loh aku suka status orang. Haaaaaaa.. MasBuLoh..! MasSitoh..! MasBuDi..! dan Mas-Mas yang lainnya.

Teman-teman, tentu kita semua tahu, bagaimana riwayat hidup Lee Myung Bak, sang mantan presiden Korea Selatan, yang terlahir dari keluarga pemulung. Lee Myung Bak kecil akan membongkar tumpukan sampah manakala perutnya berbunyi tanda lapar. Calon orang nomer 1 Korea Selatan ini memakan nasi bekas rupanya. Akan tetapi dengan semangat belajar yang membabi buta dan prestasinya yang cetar membahana, akhirnya Lee berhasil meraih pendidikan hingga perguruan tinggi, menjadi president Hiyundai dan menjadi presiden di negeri Gangnam Style itu periode 2008-2012.

Jadi yang penting itu, punya semangat belajar, bukan tempat belajar. Tapi tetep yah, target tidak boleh yang ecek-ecek, di pendaftaran SNMPN nanti, jangan lupa masukan jurusan yang benar-benar menjadi passion kamu, giatlah belajar, hilangkan kesombongan dan keegoisan yang masih bersarang di hatimu, karena itu tidak dibutuhkan dalam jiwa seorang pemimpi. Niatkan ambisi belajar mu dari sekarang. Maka diterima atau tidak nanti, tidak akan jadi masalah. Karena kita akan terus belajar dan tetap berkarya.

Saat ini, mungkin kita terpaksa jika harus ikut logika pasar semacam tadi, semoga suatu saat, kita bisa merubah sistem pendidikan ini menjadi lebih manusiawi dan ber-adab.

Gantungkan mimpimu..! Bangunlah wahai singa yang tidur..! Allah pasti membantumu..!

Wallahu a’lam 


1 komentar:

  1. Boleh lah Mantappp.. Tak Kasih Spuluh Jempol Gajah deh buat teh Afaf....

    BalasHapus