Kamis, 19 April 2018

Makarnya Kaya Kenal!


Fenomena terror, kekerasan bahkan pembunuhan terhadap ulama kembali terulang. Sebuah fenomena sejarah yang rasanya belum hilang dalam benak ummat Islam Indonesia. Dalam upaya menjauhkan masyarakat dari ulama, maka dibuatlah sejumlah aksi terror yang dilancarkan oleh segelintir orang.

Jika dulu Imam Bonjol sebagai ulama di Sumatera Barat, dibuang ke Minahasa Sulawesi Utara. Pengeran Diponegoro ulama sekaligus priyai yang menjadi pemimpin perlawanan rakyat Jawa Tengah terhadap penjajah Belanda, pun mengalami nasib yang sama. Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado. Tak lupa pejuang Aceh. Seorang wanita salehah yang hanya bisa berbicara dengan dua bahasa, yakni bahasa Aceh dan bahasa Arab ini, juga mendapatkan perlakuan yang sama. Rupanya, penjajah dan antek-antek oeloebalangnya masih saja ketakutan dengan seorang janda tua renta dan rabun. Atas usulan Snouck Hurgronje, Cut Nyak Din pun dibuang hingga wafat di Sumedang. Demikian H.O.S. Tjokroaminoto, seorang ulama sekaligus priyai Jawa kharismatik yang kemudian dibuang ke Boven Digoel. Semua ini dilakukan penjajah Belanda dari sejak awal abad 18 sampai awal abad 19. 

Demikianlah ulama dibuang dan dijauhkan dari masyarakat. Dengan harapan, akan tumbuh masyarakat tanpa ulama, yang tidak punya kesadaran agama, tidak punya kesadaran berjuang dan tidak punya kesadaran akan musuh. Dengan kondisi seperti ini, lambat-laun akan tumbuh masyarakat yang kosong spiritualnya, terombang-ambing pemikirannya, dan mudah terprovokasi oleh isu-isu yang tidak pernah ditabayyunkan (diklarifikasi) oleh mereka. 

Masyarakat yang jauh dari ulama, hanya akan tumbuh menjadi masyarakat yang ummy (buta) terhadap wahyu, tak tahu kewajiban dan tujuan penciptaan diri dan alam tempat berpijaknya. Tak paham fungsi dan perannya, sampai klimaksnya mereka tak sadar kalau mereka sedang menjadi sasaran empuk paham-paham yang penuh dengan radikalisme yang ditunggangi iblis dan para pengikut setianya.  

Artinya, sudah bukan barang baru jika hal ini terjadi. Jika ulama mendapat tekanan, ancaman, terror bahkan sampai pada tahap pembunuhan. Karena ada pihak yang tidak ingin, jika masyarakat kini tengah mulai sadar mencintai ulama, ada pihak yang tidak suka jika masyarakat saat ini merasa butuh ilmu dari para ulama. Dibuatlah makar sedemikian rupa, agar masyarakat Indonesia kembali dipisahkan dari ulama, dengan cara apa? Tentu dengan cara yang sama yang dahulu pernah dilakukan. Dijauhkan dan terus dijauhkan.

 “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah justru menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya” (As Shaf (61): 8)

Mohon untuk diingat dan dicatat. Indonesia ini lahir berkat keringat dan darah para ulama. Karena Islam yang diyakini para ulama adalah Islam yang paripurna, bukan Islam yang dikotomi antara syari’at dan negara. Sosok pemimpin dalam Islam adalah bukan hanya digambarkan sebagai pewaris tahta kerajaan semata. Tapi pemimpin dalam Islam otomatis harus memiliki kecakapan fisik, mental dan spiritual sekaligus. Sebab itulah, tidak ada pemisahan Muhammad sebagai pemimpin dan Muhammad sebagai rasulullah. Semuanya satu paket. Jadi sangat wajar, jika ulama memiliki kesadaran bernegara yang benar lebih peka daripada masyarakatnya. 

Islam dalam masa kesultanan di Indonesia sejak abad 9 hingga awal abad 17. Adalah bukti nyata, bahwa para pemimpin Islam yang diberi gelar sultan, tidak hanya memerintah rakyat dibalik megahnya singgasana kesultanan. Tapi mereka juga mampu menjadi teladan bagi masyarakat, mereka cakap untuk menjadi imam shalat, menjadi panutan akhlak dan menjadi pusat komando dalam pemerintahan.

Seorang pemimpin dalam Islam adalah pasti ulama, dan seorang ulama tentu akan berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Telah banyak bukti yang menunjukan ulamalah pelopor kebangkitan di Indonesia, contohnya Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Din, H.O.S. Tjokraminoto, dll
Namun, akibat deislamisasi sejarah yang dilakukan penjajah Belanda dan sejumlah warga priyai kooperatif. Hal ini menjadikan peran ulama dikerdilkan, kontribusinya dihapus dan diklaim oleh tokoh lain yang dulunya justru getol menentang persatuan negara Indonesia karena pro-penjajah. Tapi kini, mereka dinobatkan menjadi pahlawan atau pelopor pemersatu dalam proses terbentuknya negara ini.

Semenjak saat itulah, masyarakat dibuat luntur kepercayaannya terhadap peran ulama. Dampaknya, hampir tidak ada yang bisa diharapkan dari generasi yang dididik dibawah kurikulum penjajah. Ketahuilah wahai generasi muda, ulamalah yang mati-matian berjuang menegakan berdirinya Indonesia sehingga kedaulatannya dikenal oleh dunia. Hitunglah berapa jumlah pahlawan nasional muslim yang ada di negeri ini. Tidakkan itu menyiratkan, bahwa hanya dengan ulama, kepentingan rakyat bisa diakomodir. Hanya dengan ulama, cita-cita persatuan dan kesejahteraan bangsa ini bisa tercapai.

Kini, saat masyarakat jengah dengan perilaku sejumlah pemimpin mereka yang tidak prorakyat. Masyarakat perlahan mulai sadar dan haus akan kebenaran, mulai rindu pada nasihat dan ajaran para ulama. Kembali, upaya penjauhan ini dilancarkan lagi, agar “kesuksesan sejarah” mereka di masa lampau terulang kembali. Terror dan pembunuhan mulai kembali digalakan. Dan kami ummat Islam, sepertinya sudah kenal dengan gaya konspirasi ini.

Sungguh ketegangan ini ‘diciptakan’ untuk menggertak dan hendak menciutkan nyali para pejuang Islam. Wahai ulama! Tabahlah, dalam membimbing dan menuntun kami. Teguhlah dalam menyadarkan ‘singa tidur’ ini.  Jangan mundur setapakpun!


Afaf Najihah
Jl. P.H.H. Mustofa No. 41 Bandung





Tidak ada komentar:

Posting Komentar