Kamis, 02 Mei 2013

SMS untuk Bupati


Weekend kemarin, dengan penuh rasa rindu yang membuncah sampai ubun-ubun, akhirnya aku pulang juga, pulang ke rumah orang-orang yang sangat kusayangi, keluargaku, orang tuaku, kakakku, adiku dan keponakan-keponakanku yang menggemaskan.

Sesampainya di rumah sederhana nan penuh kasih sayang itu, Mamak ku bertanya, kenapa jarang pulang? Kaya TKW saja. Sambil tersenyum kujelaskan. Bukannya aku tak mau pulang mak, tapi jarak dan efektivitas dana untuk pengguna angkutan umum seperti aku sangat menyusahkan. Coba kalau ada jalan tol yang langsung tembus ke Gununghalu, atau paling tidak, coba kalau ada kreta api yang menjangkau kampung halaman kita, atau paling tidak, coba kalau jalan menuju Gununghalu-Rongga itu agak bagus, atau mungkin kalau angkutan menuju rumah kita itu sedikit lebih manusiawi? Mungkin aku tak harus berfikir lama-lama untuk pulang.

Mak, jika liburnya hanya sehari atau dua hari, sayang kalau pulang, karena di jalannya capek, banyak makan waktu, perjalanan Bandung-Rumah kita itu hampir 6 jam, sama dengan perjalanan ke pedalaman Tasik-Singaparna-Mangkubumi, padahal jelas-jelas kita masih Bandung ya mak ! yah walaupun Cuma kabupaten. Mamak ku pun mengangguk tanda setuju.

Itulah tadi sekelumit cerita ibu dan anak, yang terpaksa sulit bertemu karena jarak “jauh” memisahkan, yah, jalanan off road itu telah memisahkan cinta ibu dan anaknya. Kabupaten yang baru di mekarkan itu, menyimpan derita bagi rakyatnya, mulai dari angkutan umum, infrastruktur, kecepatan birokrasi dan layanan publik lainnya, terutama di daerahku.

Entah kemana perginya janji para petinggi pemerintahan itu, apakah mungkin mereka sudah lupa? Atau mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka, sehingga lupa mengurus kami? Atau mereka sekarang sudah bisu? Apa perlu kutunjukan video lima tahun silam saat mulutnya berbusa mengumbar janji? Ahh..sia-sia saja aku bertanya seperti itu. Toh, takan terjadi apa-apa jika ku ungkapkan. Janji-janji manis itu, kini sudah menjadi rutinitas bangsa ini setiap lima tahunan, dan tentu saja rakyat polos di negeri ini akan percaya dengan bualan gila itu. Kata-kata gombal yang dikemas oleh orang-orang berpendidikan itu bak hipnotis bagi rakyat seperti kami.

Aku heran, kemana perginya mahasiswa-mahasiswa yang menggulingkan rezim raksasa yang bernama orde baru dulu, orator-orator kampus nan ambisius itu dulu mau mengubah kondisi negeri yang carut-marut ini. Apa mungkin mereka sudah menjadi guru? Arsitek? PNS? Karyawan swasta? Bupati atau mungkin presiden? Dulu mereka sangat berjasa buat kami, dengan izin Allah, mereka membebaskan kami dari belenggu orde baru.

Tapi sekarang, mereka hilang. Yang ada hanya orang-orang egois di atas sana, mereka tidak peduli pada kami, justru sopir dan kondektur mobil elev butut itu yang lebih berjasa pada kami, mobil butut nan sesak itu telah berjasa mengantarkan kami menjemput cita-cita kami, walaupun mobil itu sesekali ada cicaknya, mungkin karena mobil itu sudah tua, bahkan jika hujan tiba, air hujan pun tak segan-segan masuk ke dalam mobil  reyod itu, tapi mobil itu akan terus melaju mengantar kami menuju kota impian kami, asap hitam yang muncul dari cerobongnya yang bernama knalpot semakin mempertegas bahwa mobil berusia tua itu gemar memakai solar oplosan, bahan bakar yang hanya bisa di dapat di daerah perkampungan seperti daerah kami. Aku tak peduli.

Entah apa nama mobil off road yang sangat berjasa itu, apakah elef, elep, elev, elf atau elv? Ah..tak ku temukan padanan kata tersebut dalam kamus bahasa Indonesia. Hanya saja aku menemukana kata “elf” dalam kamus bahasa inggris, kata itu berarti “JIN” ahhh pantas saja kami selalu menjadi tumbalnya. Tapi walaupun begitu, yang jelas, kami haturkan terimakasih kepada pak Sopir dan pak kondektur, walaupun mahal, walaupun ugal-ugalan, walaupun kami diturunkan sebelum sampai ke terminal, tapi dalam lubuk hati kami yang paling dalam, kami mengakui, apa jadinya kami bila tak ada kalian..(so sweet).

Ahh, aku baru sadar kalau aku terlalu lebay. Yah, wajar saja lah, bocah ingusan yang baru tahu makna hidup kemarin sore seperti aku, mungkin baru hanya bisa berangan-angan, seandainya aku hidup di zaman Ummar bin Khatab, pasti aku sangat mencintai pemimpinku, sebagaimana pemimpinku mencintaiku, sayang, itu hanya mimpi. Ternyata aku hidup di zaman Aceng Fikri. Suatu zaman yang tidak kalah kejam jika dibandingkan dengan zaman Byzantium Romawi.

Tapi walaupun begitu, seandainya aku tahu nomor Hp bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian di pucuk pemerintahan sana, ingin sekali kukirimkan sebuah short massage kepada mereka.

“wahai para petinggi pemerintah, tolong dengarkan kami, karena kami membayar pajak untuk kehidupan anda”*)

Terimakasih.



 *) Short Massage di ambil dari pidato Weilin Han, Metro Highlights. 27 April 2013)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar